tirto.id - Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) melaporkan temuan mengejutkan terkait produk udang beku asal Indonesia. Produk yang diproses oleh PT Bahari Makmur Sejati (BMS Foods) itu disebut terkontaminasi zat radioaktif Cesium-137 (Cs-137). Laporan resmi FDA mencatat produk ini sebagian besar dipasarkan dengan merek Great Value yang dijual di jaringan ritel Walmart di sejumlah negara bagian Amerika Serikat (AS).
Laporan resmi FDA mengungkapkan bahwa produk yang terkontaminasi Cs-137 adalah Great Value Frozen Raw Shrimp dengan kode lot 8005540-1, 8005538-1, dan 8005539-1, dengan tanggal kedaluwarsa 15 Maret 2027.
Produk tersebut didistribusikan di Alabama, Arkansas, Florida, Georgia, Kentucky, Louisiana, Missouri, Mississippi, Ohio, Oklahoma, Pennsylvania, Texas, dan West Virginia.
Laporan FDA juga mengungkapkan bahwa Southwind Foods LLC telah melakukan penarikan (recall) terhadap berbagai produk udang beku mentah dan matang yang berasal dari Indonesia. Penarikan ini juga mencakup distribusi ke sejumlah negara bagian lain, di antaranya Arizona, California, Massachusetts, Minnesota, Utah, Virginia, dan Washington.
Menurut FDA, tidak ada produk dengan hasil uji positif Cs-137 yang masuk ke pasar AS hingga saat ini. Namun, investigasi menunjukkan adanya indikasi kuat bahwa produk dari BMS Foods diproses atau disimpan dalam kondisi yang tidak higienis sehingga menimbulkan potensi kontaminasi.
“Produk dari PT Bahari Makmur Sejati dinilai melanggar Federal Food, Drug, and Cosmetic Act karena diduga telah disiapkan, dikemas, atau disimpan dalam kondisi tidak layak sehingga dapat terkontaminasi Cs-137 dan berpotensi menimbulkan masalah kesehatan,” tulis FDA dalam laporan resminya, dikutip Jumat (22/8/2025).
Lebih jauh, FDA telah memasukkan BMS Foods ke daftar peringatan impor terbaru untuk kontaminasi kimia. Hal ini membuat produk dari perusahaan tersebut ditolak masuk ke AS hingga perusahaan mampu memperbaiki kondisi yang menjadi sumber pelanggaran.
Dalam laporan yang sama, FDA juga menjelaskan bahwa kadar Cs-137 yang ditemukan mencapai 68 Bq/kg. Angka ini jauh di bawah tingkat intervensi turunan atau derived intervention level FDA, yakni 1.200 Bq/kg. Meski tidak menimbulkan bahaya akut, paparan Cs-137 secara terus-menerus melalui makanan dapat meningkatkan risiko kanker karena merusak DNA sel.
“Menghindari produk yang terdeteksi Cs-137 meskipun pada kadar rendah adalah langkah pencegahan untuk mengurangi risiko paparan radiasi jangka panjang,” tulis FDA.
Saat ini, FDA telah Koordinasi dengan otoritas kepabeanan AS (CBP) untuk mencegah peredaran produk terkontaminasi itu lebih lanjut. Investigasi masih berlangsung, termasuk pelacakan rantai pasok dan kerja sama dengan otoritas pangan Indonesia.
Bagaimana Respons Pemerintah Indonesia?
Temuan FDA ini segera mendapat atensi dari Pemerintah Indonesia. Kementerian Perdagangan (Kemendag) memastikan telah berkoordinasi dengan berbagai lembaga terkait untuk melakukan investigasi menyeluruh.
Menteri Perdagangan, Budi Santoso, menegaskan pihaknya telah menggandeng Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) guna memeriksa kasus dugaan kontaminasi radioaktif di produk udang ini.
Budi menambahkan bahwa standar keamanan pangan internasional sangatlah tinggi sehingga Indonesia harus mempersiapkan diri agar kasus serupa tidak berulang.
“Ini bagian dari produk pangan. Memang pangan itu biasanya standarnya sangat tinggi ya. Jadi, kita harus mempersiapkan dengan baik biar ke depan tidak ada lagi masalah-masalah seperti ini,” kata Budi saat ditemui di Kantor Kemendag, Rabu (20/8/2025).

Meski begitu, Kemendag belum mengambil langkah pembatasan ekspor bagi BMS Foods. Pemerintah disebut masih memerlukan verifikasi lebih lanjut terkait temuan FDA tersebut. Kemendag juga memastikan bahwa sampel produk BMS Foods sedang diteliti lebih jauh oleh Bapeten.
“Kami harus memastikan semua bahwa itu benar atau tidak biar semua menjadi valid,” jelasnya.
Tak hanya Kemendag, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) juga mengambil langkah antisipasi. Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, mengatakan kementeriannya telah mendapat instruksi langsung dari Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, untuk membentuk tim khusus.
“Sudah ada arahan dari Pak Menteri untuk membentuk tim itu dan bekerja sama dengan kementerian lembaga lain,” ucap Febri saat ditemui di Kantor PT Sumi Asih, Bekasi, Jumat (22/8/2025).
Tim lintas kementerian ini nantinya akan melibatkan KKP dan Bapeten. Langkah ini dianggap penting untuk memastikan investigasi dilakukan secara menyeluruh, baik di tingkat produksi, distribusi, maupun rantai pasok.
Bagaimana Mengembalikan Kepercayaan Pasar Global?
Dosen Teknologi Hasil Perikanan Universitas Gadjah Mada (UGM), Indun Dewi Puspita, menilai temuan FDA itu tidak bisa dianggap sepele. Menurutnya, kasus ini bukan hanya soal keamanan pangan, melainkan juga menyangkut reputasi Indonesia di mata dunia.
Indun menjelaskan bahwa penolakan produk ekspor bisa menimbulkan dampak ekonomi yang signifikan. Produk yang sudah dikirim tidak bisa dimanfaatkan sehingga biaya produksi, distribusi, hingga citra eksportir di pasar internasional ikut terpengaruh.
“Kerugiannya sangat besar dan di sisi lain perdagangan produk perikanan Indonesia menjadi catatan di perdagangan global. Sehingga, jaminan mutu harus benar-benar diperhatikan,” ujar Indun, dikutip dari portal resmi UGM pada Jumat (22/8/2025).
Lebih jauh, dia menekankan pentingnya menjaga kepercayaan pasar global. Negara importir memiliki standar keamanan yang ketat dan tidak akan mengambil risiko sedikit pun terkait keselamatan konsumen.

Indun juga menyoroti pentingnya sistem traceability atau pelacakan produk. Dengan sistem yang transparan, akar masalah bisa segera diidentifikasi dan ditangani.
“Respons yang cepat dan transparan menjadi hal yang sangat penting untuk mengembalikan citra dan kepercayaan dari pasar global,” jelasnya.
Menurut Indun, zat Cs-137 tidak terbentuk secara alami, melainkan berasal dari aktivitas manusia—seperti uji coba senjata nuklir atau kebocoran reaktor. Siklus ekologis memungkinkan zat ini masuk ke dalam rantai pangan melalui air atau tambak.
Meski kadar yang ditemukan FDA masih di bawah batas intervensi, otoritas AS tetap menolak produk sebagai langkah kehati-hatian. Indun menilai hal ini menegaskan betapa pentingnya penerapan standar mutu yang ketat.
“Kalau sistem jaminan mutu dan penelusuran berjalan baik, potensi bahaya menjadi sangat minim,” tegasnya.
Sementara itu, ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, menilai bahwa isu ini berpotensi mengganggu rantai pasok ekspor Indonesia, terutama karena AS merupakan pasar utama bagi produk udang nasional.
Tahun lalu, Tauhid menyebut nilai ekspor udang Indonesia ke AS mencapai 17-18 persen dari total ekspor nasional. Dengan porsi sebesar itu, dia menilai dampaknya terhadap neraca perdagangan akan signifikan jika ekspor terganggu pada tahun ini maupun tahun depan.
“Rantainya sebenarnya pendek, tapi yang harus diperhatikan adalah kontribusinya. Ekspor udang Indonesia ke Amerika itu termasuk yang paling besar, sekitar 17–18 persen tahun lalu dari total ekspor kita,” kata Tauhid kepada Tirto, Jumat (22/8/2025).
Tauhid menekankan bahwa langkah awal yang harus dilakukan pemerintah adalah menyelidiki sumber masalah secara akurat. Penelusuran harus mencakup wilayah asal udang, apakah dari perairan timur, barat, atau tengah Indonesia, serta memastikan titik rawan kontaminasi berada di level mana
Tauhid mengingatkan bahwa jika kasus serupa terjadi berulang, AS bisa saja mencari alternatif pasokan dari negara lain. Walaupun begitu, proses peralihan negara eksportir itu dikatakan tidak akan berjalan mudah. Dengan kata lain, Indonesia sebenarnya masih memiliki ruang untuk memperbaiki situasi sebelum kehilangan pangsa pasar strategisnya.
“Ketergantungan Amerika terhadap udang Indonesia itu besar, di atas 50 persen. Jadi, mencari pengganti tidak bisa cepat, butuh waktu yang panjang,” kata Tauhid.
Menurut Tauhid, kunci utama adalah transparansi dan kecepatan investigasi. Selama pemerintah mampu menunjukkan komitmen untuk mengunci sumber masalah dan memperbaiki standar produksi, peluang untuk memulihkan kepercayaan pasar masih terbuka lebar.

Di sisi lain, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, memberikan perspektif berbeda. Dia mengingatkan bahwa masalah udang bukan hal baru di industri perikanan Indonesia. Menurutnya, penyakit udang sudah lama menjadi kendala, tapi kali ini situasinya menjadi janggal karena menyangkut zat radioaktif.
Susan mempertanyakan apakah kasus ini benar-benar murni persoalan kontaminasi atau justru bagian dari politik dagang.
“Kalau misalkan yang ditemukan itu adalah penyakit udang, itu mungkin masuk akal. Tapi, kalau kemudian terpapar seperti Cesium-137, yang kita tahu bahwa itu juga zat radioaktif, itu agak mencurigakan,” ujarnya saat dihubungi Tirto pada Jumat (22/8/2025).
Susan menjelaskan bahwa rantai produksi udang sangat panjang, mulai dari proses pemberian pakan yang berasal dari ikan tangkapan kapal besar, proses budi daya, panen, pengupasan, dan pengemasan sebelum akhirnya diekspor.
Sepanjang pengalamannya mendampingi buruh pabrik pengolahan udang, Susan menilai standar kebersihan di pabrik justru cukup ketat. Oleh karena itu, dia merasa perlu adanya kajian akademik yang lebih mendalam untuk memastikan titik rawan kontaminasi.
Susan juga menekankan bahwa Indonesia tidak memiliki fasilitas nuklir atau sumber daya radioaktif yang besar sehingga keberadaan Cs-137 dalam udang menimbulkan pertanyaan besar.
“Aku enggak terlalu yakin bahwa memang ada kontaminasi yang berasal dari kitanya gitu. Tapi, memang kita butuh akademisi untuk melihat lagi, sebenarnya dalam rantai produksi udang ini di aspek mana yang kemudian menyebabkan terkontaminasi,” kata Susan.
Lebih jauh, dia mengingatkan bahwa udang adalah komoditas unggulan Indonesia dengan pasar utama AS, Eropa, dan Jepang. Dia mengkhawatirkan temuan ini dapat mengganggu daya saing Indonesia di pasar global.
Penulis: Naufal Majid
Editor: Fadrik Aziz Firdausi
Masuk tirto.id


































