Menuju konten utama

Bagaimana Skandal eFishery Merugikan Pembudidaya Ikan dan Udang

Skandal eFishery membuat pembudidaya terpuruk. Misi yang dibawa Gibran Huzaifah lenyap seketika imbas kecurangan dalam "strategi bertahan".

Bagaimana Skandal eFishery Merugikan Pembudidaya Ikan dan Udang
eFeeder, alat pemberi pakan otomatis eFishery, teronggok di tambak udang milik Ajat di Tasikmalaya, Jawa Barat.. tirto.id/ Hendra Friana

tirto.id - Imad Rahmatillah terpaksa mengubur mimpinya untuk meningkatkan perekonomian warga desa lewat budidaya ikan nila. Harapannya runtuh setelah mendengar kabar buruk tentang eFishery, unicorn akuakultur yang dilaporkan mengalami masalah serius pada November 2024 dan menghentikan operasionalnya sebulan kemudian.

Padahal, sejak usaha ikan nila bernama "Sumbangan" yang ia kelola bergabung ke dalam ekosistem eFishery, Imad bersama dua pegawai lapangan dari perusahaan tersebut telah menyusun rencana matang untuk meningkatkan produksi ikan di Cikalong, Tasikmalaya, Jawa Barat. Target mereka bukan lagi sebatas pasar lokal, tetapi juga menembus ekspor untuk komoditas bernama latin Oreochromis niloticus itu.

Rencana yang mereka susun sejak 2022 semakin matang seiring meningkatnya produksi ikan nila milik Imad dan 13 mitra petaninya. Pria berusia 42 tahun itu bercerita, sebelum bergabung dengan eFishery, ia hanya berani menebar sekitar 2.000 hingga 3.000 benih nila per kolam. Dari jumlah itu, pendapatan yang ia peroleh per kolam hanya berkisar Rp2 juta hingga Rp3 juta. Namun setelah bergabung dalam ekosistem eFishery, ia dan rekan rekannya mulai berani menanam hingga 5.000 benih per kolam.

Hasilnya pun terasa saat panen tiba—yakni dua hingga tiga bulan setelah benih ditebar—di mana pendapatan dari satu kolam bisa meningkat hingga Rp5 juta sampai Rp6 juta. Tak heran, jika lima kolam nila yang ia kelola kini mampu menghasilkan penjualan hingga Rp25 juta setiap tiga bulan, naik signifikan dibanding sebelumnya yang hanya sekitar Rp10 juta dalam periode yang sama.

“Sekarang eFishery-nya lagi nggak jalan, saya kembali lagi ke dulu, ke semula. Cuma nanam 2.000-3.000 (benih), paling banyak 3.000 per kolam. Dan peningkatan penurunan ekonomi petani juga. (Pendapatan) teman-teman saya juga lagi menurun sekarang. Biasanya per kolam sampai ke Rp6-5 juta penghasilan, kalau sekarang Rp2-3 juta, itu susah,” keluh Imad kepada Tirto, saat ditemui di saungnya, Jumat (23/5/2025).

lipsus eFishery

Lokasi budidaya nila mitra eFishery di Cikalong, Tasikmalaya, Jawa Barat.. tirto.id/Eggi Hadian

Menurut Imad, petani yang sudah menggeluti budidaya ikan nila sejak 2013, salah satu faktor utama yang menentukan tingginya produktivitas nila adalah ketersediaan pakan. Sebagai perusahaan rintisan atau startup, eFishery menawarkan sistem kredit pakan ikan, termasuk pakan nila, kepada para petani.

Harga pakan yang ditawarkan eFishery memang tidak jauh berbeda dengan harga pakan pabrikan yang sebelumnya digunakan Imad dan rekan-rekannya, yaitu sekitar Rp360-370 ribu per sak. Namun, berbeda dengan pabrikan yang menjual secara kontan, para petani bisa membayar biaya pembelian pakan setelah masa panen tiba. Uang pakan akan dipotong langsung dari hasil penjualan nila kepada ‘bakul’ eFishery.

“Bisa dibayar di akhir. Kalau dari orang sini, saya nggak mau ngambil 5 kuintal, harus taruh uang dulu Rp1 juta, baru bisa ngambil. (Kalau eFishery) nanti pun juga di akhir lah. Kalau sudah beres panen, tutup (buku) semuanya, baru dipotong,” tutur Imad.

Sistem ini memungkinkan para petani membeli pakan dalam jumlah lebih banyak tanpa khawatir biaya modal membengkak. Karenanya, ketika ketersediaan pakan terpenuhi, produksi nila para petani juga meningkat secara signifikan.

“Masalahnya di pakan yang terjadi sekarang. Memang peningkatan pembudidaya di sini hampir, awalnya di sini berapa kolam ya? Cuma 2 kolam, yang itu tuh 1 kolam. Sekarang kalau udah dihitung 2 kolam, ya baru awal dulu, sekarang hampir 20 kolam,” kata Imad sambil menunjuk kolam-kolam nila yang berdampingan dengan areal persawahan di belakangnya.

Meski padi masih menjadi komoditas utama, budidaya nila sesungguhnya memiliki potensi besar di Tasikmalaya. Namun, dengan tutupnya eFishery, rencana Imad untuk mengembangkan budidaya nila secara besar-besaran harus ia tunda tanpa batas waktu yang jelas. “Banyak orang mau jalan, mau mengembangkan banyak-banyak, gedean-gedean. Iya, mau meningkatkan ekonomi yang ada di sini. Alhamdulillah kemarinnya udah kelihatan peningkatan penghasilan warga di sini yang pembudidaya ada. Kalau sekarang sukar lah. Gagal,” tuturnya dengan nada kecewa.

Berbeda dengan Imad, pembudidaya udang vaname di Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya, Jawa Barat, Ajad Sudrajad merasa seperti kehilangan orang tua asuh ketika mendengar kabar eFishery akan berhenti beroperasi pada November 2024. Melalui kerja sama yang telah berjalan sejak 2018, Ajad mendapat kepastian ketersediaan pakan, benih udang alias benur, hingga akses pasar.

Tak hanya itu, Ajad juga salah satu petani udang yang memanfaatkan teknologi pemberi pakan otomatis, eFeeder, milik eFishery untuk memenuhi kebutuhan pakan di enam kolam udangnya. “Jadi, udang itu makan kontinu, 24 jam. Kalau misalkan targetnya 24 jam, atau targetnya misalkan 18 jam makan, jadi pakan itu nggak sekaligus. Dia drop sedikit-sedikit. Pakan jauh lebih efektif dan ke airnya juga lebih bagus,” jelas Ajad saat berbincang dengan Tirto, Jumat (23/5/2025).

Jika pemberian pakan dilakukan secara manual, pelet dan sejenisnya harus ditebar secara berkala setiap satu jam sekali—oleh tiga pegawai Ajad yang bertugas memberi makan udang. Namun, dengan eFeeder, para pekerja di tambaknya hanya perlu memasukkan pakan ke dalam tabung dan mengatur jadwal pemberian pakan melalui aplikasi. Pakan kemudian akan tersebar otomatis di enam kolam udang secara berkala, misalnya setiap 60 detik sekali.

“Dari sisi teknis ya, baik untuk penyerapan pakan maupun untuk kualitas air, itu jauh lebih bagus. Ke serapan pakan, karena pakan lebih fresh, kan. Pakan baru ditebar. Terus, ke kualitas air juga akan lebih bagus, karena pelepasan nitrogen yang di pakan itu kan cepat. Begitu ditebar, keserap. Beda dengan misalkan tebar sekaligus,” imbuhnya.

Pada awal kerja sama, pria 54 tahun ini mendapat pinjaman tiga unit eFeeder dari eFishery dan kemudian membeli tiga unit lagi. Seiring waktu, kerja sama Ajad dengan eFishery semakin bertambah, termasuk fasilitas pinjaman modal pakan melalui program Kabayan (Kasih Bayar Nanti) pada 2022.

Sama seperti budidaya nila, keberhasilan panen udang juga sangat bergantung pada ketersediaan pakan, kesehatan udang, dan harga jual di pasar. Dengan akses pembiayaan pakan yang terbuka dan stok pakan yang memadai, Ajad bahkan pernah mencatat rekor panen 22 ton udang dari enam kolam pada 2021.

“Kalau sehat ya, progresnya sehat. Enggak ada gangguan apa-apa, antara 90-120 hari. Yang menentukan kita panen itu salah satunya, kesehatan udang. Dua, kemampuan finansial kita untuk support pakan itu, yang ketiganya, harga. Di antara itulah yang menentukan apakah panen. Kalau harga drop, ya sudah panen. Misalkan udang kita enggak sanggup beli makan, panen. Terus ada penyakit, panen,” terang dia.

Selain itu, Ajad juga bekerja sama dengan bakul eFishery untuk memasarkan udang hasil panennya setelah sekitar tiga bulan menebar benih. Meski banyak bakul berminat menampung udang vaname, terutama karena potensi ekspornya yang besar, kerja sama ini membuat Ajad tidak perlu pusing mencari pembeli baru.

“Jadi kita fokus aja budidaya. Jadi seolah-olah ada bapak angkat lah gitu. Untuk petani petani seperti kita, petani kecil kan, enak kita nggak mikirin modal. Pakan itu kan 60 persen, kalau misalkan per kolam Rp100 juta, pakan itu udah 60 juta per kolam. Belum benur. Benur misalkan, katakanlah 150 (ekor), udah di Rp9 juta, (total) Rp70 jutaan,” tambah mantan supir angkot itu.

Tapi, kerja sama yang semula berjalan lancar, tiba-tiba harus berhenti total karena skandal keuangan yang menjerat eFishery. Pada awal Januari 2025, eFishery yang sempat menjanjikan masa depan cerah bagi para petani dan pembudidaya seperti Imad dan Ajad, tiba-tiba seperti lenyap ditelan jagat.

Ajad sempat kelabakan mencari pemasok pakan dan benur, meski tak lama kemudian dapat dipenuhi lagi oleh pemasok-pemasok lama yang telah bekerja sama dengannya. eFeeder yang sebenarnya masih berfungsi dengan normal pun terpaksa harus dimuseumkan karena aplikasi untuk mengoperasikan alat tersebut juga tak bisa diakses. Akibatnya, Ajad harus memberi makan ratusan ribu udangnya per kolam dengan cara manual.

Terkuaknya “Borok” eFishery

Kekhawatiran para mitra eFishery sebenarnya telah muncul sejak kabar Gibran Huzaifah, pendiri sekaligus CEO eFishery, bersama wakilnya Chrisna Aditya, diberhentikan dan manajemen perusahaan beralih ke Adhy Wibisono sebagai CEO sementara dan Albertus Sasmitra sebagai Chief Financial Officer (CFO) sementara—atas keputusan investor.

Langkah pemberhentian itu berhulu pada masuknya sebuah pesan whistleblower, yang mengungkap dugaan fraud di eFishery, ke investor pada 19 November 2024. Mengendus gelagat tak beres, investor lalu menindaklanjuti aduan tersebut dan mengkonfirmasi temuannya kepada Gibran.

Pada 11 Desember, Gibran untuk pertama kalinya mengakui semua "borok" yang selama ini ia tutupi. Dalam panggilan Zoom selama 30 menit kepada Katie Novogratz, salah satu investor pertama dan anggota dewan eFishery, ia membenarkan kabar yang diterima investor dari sang pembisik. Beberapa hari kemudian, tepatnya 13 Desember, Gibran dipanggil oleh Steering Committee dewan dan diberitahu bahwa dirinya ditangguhkan dari jabatan. Pengelolaan perusahaan, termasuk akses rekening bank, diambil alih oleh CEO dan CFO interim.

Belakangan, laporan audit forensik dari FTI Consulting lembaga yang ditunjuk untuk menginvestigasi keuangan dan proses bisnis eFishery mengungkap praktik lancung yang dilakukan GIbran selama bertahun-tahun.

Selama ini, eFishery ternyata memiliki dua laporan keuangan. Publik akhirnya tahu: di balik laporan eksternal yang menggambarkan kinerja gemilang, internal eFishery sebenarnya mencatat kerugian besar. Sepanjang Januari hingga Septermber 2024, misalnya, perusahaan mengklaim mengantongi laba sebelum pajak 562 juta dolar AS padahal angka riilnya justru rugi 578 juta dolar AS.

Ironisnya, praktik manipulasi ini ternyata telah berlangsung sejak 2018. Dalam wawancara di kantor Tirto, Gibran mengakui hal tersebut dan menceritakan bagaimana kondisi ini bermula.

Tujuh tahun lalu, eFishery yang tengah melakukan fundraising dalam pendanaan Seri A menghadapi masalah karena beberapa investor tiba-tiba membatalkan komitmen investasinya. Ini membuat runway—periode waktu yang dimiliki startup sebelum kehabisan dana—kian sempit dan hanya tersisa 1,5 bulan.

Saat putaran pendanaan itu, baru sebesar 1,5 juta dolar AS dari Aqua-Spark yang masuk jauh di bawah target awal sebesar 4 juta dolar AS. Kondisi ini membuat eFishery terjepit. Sebab, untuk memperpanjang runway saat itu, mereka beroperasi dengan bridge loan dari investor yang berisiko berubah menjadi utang jika target investasi gagal diraih.

Di tengah jalan buntu itu, ia mendatangi beberapa founder startup di lingkarannya, dan meminta nasihat. Salah seorang rekannya dari sirkel itu lalu memberi sinyal soal bagaimana ia mendulang dana segar dengan mengelembungkan Gross Merchandise Value (GMV), dan membuat laporan perusahaan lebih menarik bagi investor. Gibran akhirnya melakukan praktik itu mendekati injury time.

Cara yang diambil: menjalin kerja sama operasional (KSO) dengan para agen dan pemasok ikan serta pakan. Transaksi para mitra itu dialirkan melalui sistem eFishery, lalu dicatat sebagai bagian dari pendapatan perusahaan. Namun, selisih keuntungan (margin kotor) dari transaksi tersebut justru dikembalikan lagi kepada mitra dalam bentuk biaya manajemen. Praktik ini, secara sederhana, bisa dianalogikan seperti bisnis konter pulsa yang bermitra dengan agen utama—transaksi besar, tapi nilainya tak sepenuhnya milik eFishery.

“Dengan kerja sama sama agen-agen ikan, agen-agen pakan, untuk mereka transaksi lewat eFishery, lewat sistem eFishery. Kita ambil transaksinya seolah itu jadi transaksinya kita. Itu yang enggak organik,” jelas Gibran.

Strategi ini berhasil membuka pintu pendanaan dari Aqua-Spark dan Wavemaker Partners. Dengan modal tersebut, eFishery tumbuh agresif. Mereka memperluas layanan lewat eFishery Feed dan eFishery Fund, termasuk meluncurkan program pay later bertajuk eFishery Kabayan (Kasih, Bayar Nanti) pada 2019.

Tapi kebiasaan ‘menyulap angka’ itu tak lantas berhenti. Bahkan ketika pendanaan Seri B dari Northstar Group dan Go-Ventures masuk pada 2020, praktik manipulatif itu tetap dipertahankan. Gibran mengaku bahwa eFishery sebetulnya tak lagi dalam posisi mendesak mencari modal. Namun, godaan datang dari investor kelas dunia. CEO Temasek, Dilhan Pillay, secara pribadi menghubunginya untuk menawarkan pendanaan Seri C, di mana SoftBank Vision Fund dan Sequoia Capital India (kini Peak XV) pun ikut bergabung.

"Apakah kami sebenarnya butuh? Sebenarnya tidak terlalu butuh," kata Gibran. "Tapi karena kami melihat ini sebagai once-in-a-lifetime opportunity, saya berpikir kalau kami punya resources yang lebih besar, akan ada banyak hal yang bisa kami lakukan untuk memberi impact."

Namun kini, dampaknya justru berbalik arah. Praktik yang semula dianggap sebagai “strategi bertahan” berubah menjadi jerat, dan satu penyimpangan demi penyimpangan saling menumpuk, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus. Pada akhirnya, bukan hanya eFishery harus menanggung harga dari keputusan yang dulu terasa masuk akal dalam keterpaksaan, tapi juga ekosistem akuakultur di Indonesia.

Awal-mula Kekacauan

Firasat akan kejatuhan eFishery sudah lebih dulu dirasakan Ginanjar Mulyana, jauh sebelum perusahaan akuakultur itu benar-benar limbung. Mitra eFishery dari Garut tersebut membaca tanda-tandanya sejak Oktober 2024, ketika salah satu hub pengiriman ikan eFishery di Jatiasih, Bekasi—tempat ia biasa “menyetor” hasil panen lele dari mitra petani—mulai tak beroperasi normal. Beberapa pekerja bersikap asal-asalan. Ada yang beralasan mesin rusak, ada pula yang menghilang entah ke mana. Tak lama kemudian, tempat itu benar-benar tutup.

Bagi Gin, begitu ia disapa, ini lebih dari sekadar gangguan logistik. Ia paham betul kondisi di lapangan sebab, sebelum terhubung dengan sistem ekosistem eFishery, pembudidaya inti sekaligus plasma itu sudah mempelajari masalah hulu hingga hilir perikanan sejak 2012–membuatnya punya intuisi lebih tajam jika ada perkara tak beres.

“Pas bulan Oktober, desas-desusnya sudah ada. Tapi waktu itu kita masih kirim (ikan) ke sana. Cuma ya udah enggak ada hub lagi. Katanya trouble,” ujarnya ketika ditemui Tirto di perikanan lele Teras Gunung Guntur, Kamis (22/5/2025).

Keputusan Gin bergabung dengan eFishery bukan tanpa pertimbangan. Ia melihat adanya kesamaan visi: memberdayakan petani kecil melalui sistem pembiayaan dan pendampingan. Sebelum eFishery masuk, Gin sudah membina sekitar 10 petani mitra, menyediakan benih dan pakan sambil menjadi pembeli hasil panen mereka di bawah jenama Jarzet25. Ketika eFishery datang dan menawarkan sistem plasma-inti lele yang lebih terintegrasi pada 2022, jumlah petani mitranya pun meningkat—hingga mencapai 18 orang.

Peran Gin pun berkembang. Dari hanya menjadi penyedia benih, ia beralih fokus ke unit pendederan—yakni membesarkan benih menjadi ukuran siap tebar. Setelah itu, benih-benih tersebut disalurkan ke petani mitra untuk pembesaran. Pada Maret 2024, seiring dengan bertambahnya jumlah mitra dan meningkatnya tonase panen lele, Gin pun merambah menjadi bakul atau pengepul yang menampung ikan-ikan dari para mitra, sebelum dikirimkan ke hub-hub eFishery di Jatiasih, Ujungberung, atau Bojongsari.

“Karena saya sudah lengkap ada armada, ada tim, kita yang panen. Dari situ, saya tanya kirim ke mana? Ikan banyak, kan, sedangkan kebutuhan lokal (Garut) cuma satu ton per minggu. Ini tiba-tiba tonase sampai banyak. Tapi mereka yakinkan ‘tenang Pak Gin, kita punya Hub’,” jelasnya.

lipsus eFishery

Ginanjar Mulyana, pembudidaya inti dan plasma lele, mitra eFishery di Garut, Jawa Barat.. tirto.id/Eggi Hadian

Selama eFishery berjaya, sistem ini berjalan lancar. Produksi bertambah seiring dengan ketersediaan akses benih dan pakan yang lebih stabil. Dalam seminggu, Gin bisa mengirim satu sampai tiga ton lele ke hub-hub eFishery. Tapi selang tujuh bulan berjalan, begitu hub mulai ditutup, semuanya berubah.

Pegawai lapangan eFishery sempat mencoba mencarikan pasar alternatif. Bahkan Gibran Huzaifah, sang CEO, sempat datang langsung ke Garut untuk memberi harapan. “Pak Gin, kita enggak ke hub lagi. Tapi kita carikan end-user, yang bisa beli langsung. Bisa ke rumah tangga, warung-warung kecil. Enggak perlu lagi lewat bakul lokal,” kata Gin, menirukan janji Gibran.

Gin mencoba bertahan. Ia dan para mitra tetap memproduksi, tetap mengirim ke pasar-pasar tradisional, berharap sistem baru yang ditawarkan Gibran bisa menjadi penyelamat. Tapi kenyataan jauh dari harapan. Tak semua pembeli amanah. Beberapa bandar tak kunjung membayar. Di Bandung saja, dua tempat masih nunggak sekitar Rp15 juta. Di Bekasi, utangnya lebih besar—sekitar Rp20–35 juta.

Total kerugian yang ditanggung Gin dan para mitra akibat bangkrutnya eFishery mencapai Rp70–80 juta. Itu belum termasuk kerugian tak kasatmata: kepercayaan yang luntur dari para mitra pembudidaya, semangat yang kendur, dan keberlangsungan usaha yang terguncang.

“Bukan cuma karena uangnya hilang. Tapi karena selama kita menunggu kejelasan, kita tetap ngasih pakan. Ada yang ikannya mati. Ada yang buyer-nya enggak bayar,” ucapnya, pasrah.

Gin akhirnya memutuskan menutup sementara operasional Jarzet25 sejak awal Maret hingga April. Kini, ia mencoba bangkit pelan-pelan dengan modal yang tersisa.

Yang paling terasa bagi Gin bukan cuma kerugian finansial, melainkan hilangnya satu-satunya ekosistem bisnis akuakultur yang selama ini mampu menjembatani petani dengan akses pakan, benih, pembinaan, hingga pasar. Tanpa eFishery, semuanya kembali ke titik awal. Pemerintah, meski hadir melalui Dinas Perikanan, menurutnya tak cukup tanggap terhadap kebutuhan konkret petani.

“Kalau Dinas Perikanan mah jalan sendiri. eFishery jalan di sektor bisnisnya. Pemerintah ya sebatas pemberdayaan,” katanya.

Ginanjar paham, sistem akuakultur di Indonesia belum sepenuhnya berpihak pada petani kecil. Padahal mereka bukan cuma butuh pelatihan, tapi juga akses modal, pakan murah, benih unggul, dan pasar yang jelas. Tanpa itu semua, produksi tidak akan tumbuh, dan petani akan terus merugi di tengah sistem yang timpang.

“Kami sih siap kalau ada perbaikan. Kalau sistem yang kayak eFishery bisa muncul lagi, ya kami siap mulai lagi,” kata Gin. “Soalnya waktu itu, kita udah enak. Petani enggak usah mikir jual ke mana, beli pakan ke mana, benih dari mana. Tinggal mikir gimana ikannya gede.”

Gibran Huzaifah pun mengakui, dampak yang ditimbulkan dari tutupnya perusahaan yang dirintisnya cukup besar terhadap ekosistem budidaya perikanan cukup besar. Pasalnya, ada sebanyak 27 ribu pembudidaya ikan yang bergantung pada eFishery, mulai dari ketersediaan modal, bibit, pakan, hingga pasar.

“Karena dengan kondisi yang kayak gini, ya mereka terkena dampaknya. Sambil ya, melihat kondisinya seperti apa, apa dampaknya. Dan itu yang paling sedih lah. Karena ada yang memang bisnisnya tutup, yang mereka rugi ratusan juta. Mereka nggak bisa jual hasil panen lagi. Mereka ikannya selama dua bulan gak dikasih makan karena nggak punya modal,” akunya kepada Tirto, Jumat (9/5/2025).

lipsus eFishery

Ajad Sudrajad, pembudidaya udang mitra eFsihery di Cikalong, Tasikmalaya, Jawa Barat.. tirto.id/Eggi Hadian

Selain itu, seiring dengan kehadiran eFishery, agen-agen pakan yang ada di sepanjang Garut, Tasikmalaya, Banjar, dan beberapa daerah lainnya di Jawa Barat sudah tak ada lagi. Banyak yang tutup karena beralih sebagai suplier pakan untuk eFishery.

eFishery yang dibangun untuk meningkatkan produksi perikanan budidaya justru menimbulkan disrupsi besar di ekosistem budidaya perikanan. Ketika dampak positifnya mulai terlihat, apa yang telah terbangun hancur seketika karena skandal keuangan yang diperbuat Gibran.

“Misinya secara pelan-pelan sudah terwujud. Sedikit demi sedikit. Tapi hilang, hancur dalam waktu sebegitu singkatnya, 2-3 bulan terus langsung hancur, hilang semuanya. Dan itu yang menurut saya paling terpukul lah saya dari situ,” sambung Gibran.

Sementara itu, jika dibanding jumlah pembudidaya ikan yang sampai saat ini hanya mencapai 2 juta orang, kebangkrutan eFishery hanya menimbulkan dampak mikro kepada ekosistem budidaya perikanan di Indonesia. Menurut Pakar Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Suhana, 27 ribu mitra eFishery lah yang akan terdampak masalah perusahaan.

Jika tidak segera diatasi, mitra-mitra eFishery akan mengalami keterlambatan panen, sehingga menimbulkan keterbatasan modal. “Ketika hal itu terjadi, eFishery berhenti, otomatis semua aktivitas petani (mitra eFishery) akan berhenti. Dan ini akan mengganggu aktivitas produksi,” katanya, saat dihubungi Tirto, Selasa (27/5/2025).

Meski begitu, dampak tersebut bisa membuat iklim investasi di sektor perikanan budidaya dapat mengalami kemunduran. Para petani berpotensi mengurangi jumlah tebar benih atau bahkan ekspansi kolam, sehingga pada akhirnya produksi ikan budidaya lah yang dipertaruhkan.

“Jadi dampaknya tidak hanya kepada si pembudidaya. Akan tetapi juga kepada penampung atau pembeli daripada aksi produksi dari para pembudidaya. Sehingga, perlu memang perhatian dalam jangka pendek terutama,” imbuhnya.

Untuk mengatasi dampak jangka pendek ini, menurut Suhana, pemerintah pusat maupun daerah perlu hadir dan mengambil inisiatif. Membantu menjembatani bagaimana petani dapat memenuhi pasokan permodalan sampai pakan, sehingga bisa tetap berproduksi.

Sedangkan untuk jangka menengah dan panjang, pemerintah nampaknya perlu memberikan edukasi secara luas kepada para pembudidaya agar tidak menggantungkan jalannya budidaya perikanan hanya kepada satu platform. Sebab, ketika platform tersebut berhenti beroperasi, pembudidaya mitra platform jelas akan terdampak.

“Harus banyak bermitra dengan berbagai macam mitra. Pemerintah itu kan bisa menyediakan berbagai macam mitra yang bisa diakses oleh para pembudidaya,” saran Suhana.

Hal ini dapat dilakukan sembari pemerintah memperbaiki ekosistem perikanan budidaya sekaligus rantai pasoknya. Suhana mengakui, eFishery merupakan platform akuakultur pertama di Indonesia yang menyediakan ekosistem cukup apik, sehingga mampu menarik para pembudidaya untuk bermitra dengannya. Sayang, salah kelola membuatnya kehilangan kepercayaan dan usaha eFishery berakhir sia-sia.

“Inovasi teknologi itu sangat luar biasa, terobosan yang dilakukan oleh eFishery ini. Dalam hal berusaha ternyata kan tidak hanya masalah teknologi, tapi trust, kejujuran dan segala macam itu menjadi penting,” tuturnya.

Karenanya, bagi swasta yang nantinya ingin turut membangun kembali ekosistem perikanan budidaya yang tertata, perlu menjaga kepercayaan, baik itu investor maupun pembudidaya ikan. Pasalnya, kepercayaan inilah yang akan sangat berpengaruh pada iklim investasi budidaya perikanan.

“Nah, swasta juga penting untuk menjaga kepercayaan karena dampaknya ini tidak hanya buat swasta itu sendiri, terutama iklim investasinya ini yang perlu diantisipasi. Karena dampak rambatannya cukup besar,” pungkas Suhana.

Baca juga artikel terkait PERIKANAN atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Insider
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Hendra Friana