Menuju konten utama

Kasus eFishery & Dampak Berantai ke Industri Perikanan Nasional

Kasus fraud eFishery dikhawatirkan akan membuat investor tak lagi tertarik untuk berinvestasi di sektor perikanan.

Kasus eFishery & Dampak Berantai ke Industri Perikanan Nasional
PT Multidaya Teknologi Nusantara atau eFishery. (FOTO/dok. eFishery)

tirto.id - Perusahaan rintisan alias startup yang berfokus pada bisnis akuakultur, khususnya di sektor budidaya perikanan dan budidaya udang, yaitu eFishery masih menjadi sorotan imbas dugaan fraud yang terjadi di internal perusahaan tersebut.

Dilansir laman Deal Street Asia, eFishery yang bernaung di bawah PT Multidaya Teknologi Nusantara itu sebelumnya telah mencopot sang CEO (Chief Executive Officer) yaitu Gibran Huzaifah atas dugaan penyalahgunaan finansial yang terjadi di perusahaan itu. Selain Gibran, co-founder eFishery dan CPO (Chief Product Officer) Chrisna Aditya juga dicopot sementara dari jabatannya sebagai bagian dari proses investigasi.

Berdiri sejak 2013, eFishery yang diklaim merupakan startup aqua-tech pertama di Asia, sempat mencapai masa kejayaan saat mencapai status unicorn usai mendapatkan pendanaan seri D sebesar 108 juta dolar AS atau setara dengan Rp1,61 triliun (asumsi kurs Rp14.935 per dolar) pada 2023.

eFishery diketahui menghasilkan sejumlah produk seperti eFeeder yang merupakan teknologi pemberi pakan otomatis yang berfokus pada efisiensi pakan dan pengurangan limbah yang mampu mempercepat masa panen serta meningkatkan pendapatan pembudidaya.

Selain itu, eFishery juga menghadirkan aplikasi eFisheryKu yang dirancang untuk membantu pembudidaya ikan di Indonesia dalam memajukan bisnis dan budidayanya, serta eFarm, yaitu aplikasi pengelolaan tambak udang yang didesain khusus untuk membantu petambak udang meningkatkan produktivitas dan kualitas panen.

Kehadiran eFishery pun diklaim turut memberikan kontribusi terhadap industri akuakultur di Indonesia, seperti yang terangkum dalam hasil riset Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI (2023).

Survei yang dilakukan terhadap 535 petani pengguna produk eFishery yang tersebar di 14 kabupaten dalam pada 3 Desember 2022-1 Januari 2024 itu memaparkan beberapa temuan penting atas peranan eFishery. Mulai dari peningkatan pendapatan usaha dan keuntungan para petani melalui produk dan layanan digital, hingga peningkatan hasil budidaya panen melalui pengaplikasian teknologi yang lebih efektif dan efisien dalam sektor akuakultur di Indonesia.

Riset yang sama menyebut bahwa eFishery berkontribusi sebesar Rp3,4 triliun atau setara dengan 1,55 persen terhadap PDB sektor akuakultur Indonesia 2022. Selain itu, produk unggulan digital eFishery meningkatkan keuntungan petani sektor akuakultur sebesar 34,1 persen.

Lebih lanjut, berdasarkan klasifikasi jumlah tenaga kerja, rata-rata pendapatan usaha di sektor medium, large, dan small paling terpengaruh setelah bergabung dengan eFishery. Segmen medium dengan jumlah pekerja dari 20 hingga 100 orang tumbuh secara signifikan sebesar 88,7 persen.

eFishery juga diklaim berkontribusi terhadap peningkatan pendapatan individu sebesar 41,5 persen pada ekosistemnya, yang terdiri dari pembudidaya ikan sebesar 29,3 persen (Rp2,8 juta) setelah bergabung dengan eFishery dan petambak udang mengalami kenaikan yang sangat signifikan yaitu sebesar 90,6 persen atau hampir dua kali lipat (Rp25,9 juta) setiap bulannya.

Lalu, apa dampak kasus fraud e-Fishery terhadap industri perikanan nasional?

Berdampak Negatif ke Industri Perikanan Nasional

Pendiri Northstar Group, Patrick Sugito Walujo, menilai dampak kerusakan dalam eFishery akibat kasus fraud terhadap Indonesia, komunitas startup, dan kredibilitas Indonesia sangat lah besar. Northstar Group merupakan salah satu investor dari eFishery.

“Ini benar-benar memalukan dan memalukan bagi orang-orang yang telah menjalankan eFishery,” ujar Patrick dalam keterangan resminya, dikutip Jumat (16/1/2025).

Dari sisi internal perusahaan, Sekjen Serikat Pekerja Multidaya Nusantara (SPMTN), Icad, menjelaskan dampak kabar buruk itu berimbas terhadap citra para pekerja eFishery yang mayoritas memiliki integritas dan kapabilitas.

Selain dampak buruk fraud tersebut, Icad menuturkan kekhawatiran berkaitan dengan kabar perusahaan yang berencana melakukan PHK massal serta penutupan perusahaan pada Februari ini. Icad mengatakan, eFishery telah memberhentikan sebanyak 100 karyawan pada Januari 2025.

“Untuk gelombang pertama ini di Januari ada 100. Itu karyawan mayoritas kontrak. Dan ya, kami dengar kabar Februari ini akan ada yang lebih besar lagi gelombangnya gitu, yang mengarah ke penutupan perusahaan,” ujar Icad di Kantor Kemenaker, Jakarta, Jumat (31/01/2025).

Bahkan, Icad mengindikasi alasan di balik terjadinya PHK tersebut lantaran perusahaan menghindar untuk melakukan pembayaran THR kepada karyawannya.

“Indikasinya yang kami baca juga untuk menghindari pembayaran THR,” terangnya.

Lebih kompleks, masalah di perusahaan eFishery juga membuat banyak para pembudidaya kesulitan mendapat pakan. Mereka biasanya menemukan akses yang disediakan eFishery.

Menurut Icad, perusahaan ini bekerja sama dengan puluhan ribu pembudidaya ikan dan udang, sehingga para pembudidaya itu tidak lagi mengalami kesulitan dalam mengakses pakan.

Icad mewakili para pekerja eFishery menuntut agar operasional kembali berjalan normal demi keberlanjutan bisnis serta dampak terhadap pekerja, petambak, serta pembudidaya eFishery di masa depan.

“Kami punya mitra dan klien kami, atau farmer kami, petani-petani kami. Itu yang butuh bantuan di sektor industri itu. Jadi masih akan terus berjalan sih. Kami inginnya tetap kerja lanjut gitu. Dengan harapan operasional tetap akan segera dilanjutkan,” jelas Icad.

Mengutip laman resmi perusahaan, per 2023, produk eFishery diklaim telah dipakai oleh pembudidaya di 280 kota/kabupaten di Indonesia. Laporan yang sama juga memperkirakan komunitas pembudidaya eFishery telah bertumbuh dengan lebih dari 110.000 pembudidaya di 2023.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, menilai kasus fraud eFishery ini juga akan memiliki dampak berantai terhadap industri perikanan nasional. Pertama, dari sisi pekerja petambak, serta pembudidaya eFishery yang berpotensi terdampak fraud ini.

Ia mengkhawatirkan situasi ini akan berdampak pada hilangnya sumber penghidupan mereka. Lebih jauh, jika ribuan orang itu berhenti melakukan produksi, maka hal ini juga dinilai bisa memmpengaruhi target kebutuhan pangan laut nasional yang dicanangkan pemerintah.

“Kita menyayangkan kalau kemudian negara tidak turun tangan mengatasi masalah ini. Ini akan membuat banyak sekali pekerja, petambak serta pembudidaya kehilangan pekerjaan dan sumber kehidupan,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (3/2/2025).

Lebih lanjut, ia meminta pemerintah turut mengawal dan memastikan bahwa hak-hak dari mitra dan yang terdampak kasus ini bisa terselesaikan. Selain itu, ia memberikan solusi kepada para petambak dan pembudidaya untuk bersama-sama mendirikan koperasi agar mereka tetap bisa memproduksi di tengah permasalahan ini.

“Para petambak misalnya harus dikoordinir untuk bersama-sama gotong royong mendirikan koperasi. Demi memastikan bahwa mereka tetap bisa memproduksi ikan gitu, terlepas pada masalah yang hari ini mereka hadapi,” kata dia.

Sebaliknya, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Dani Setiawan, menilai fraud yang terjadi di eFishery tak akan berdampak banyak pada sektor perikanan secara luas.

Ia menilai, kasus fraud ini hanya berdampak pada sektor perikanan budidaya yang banyak bergantung dengan teknologi dan pembiayaan pihak ketiga. Sementara, untuk jenis perikanan tangkap skala kecil tidak akan berpengaruh banyak.

“Terutama perikanan tangkap skala kecil itu tidak banyak bergantung pada pembiayaan pihak lain atau dalam hal ini startup ya pembiayaan ya. Bahkan sebenarnya saya kira pembiayaan yang dilakukan oleh sektor perbankan juga relatif masih sedikit,” ujar Dani saat dihubungi Tirto, Selasa (3/2/2025)

Ia menilai kasus fraud eFishery tidak akan berpengaruh banyak pada aktivitas di lapangan. Karena sebagian besar aktivitas yang dilakukan nelayan tangkap dan pembudidaya ikan mayoritas masih bergantung pada modal dan teknologi sendiri.

“Atau kalaupun ada, itu ya berbasis korporasi perikanan atau pertambakan udang gitu. Nah, itu kan tidak banyak hubungannya dengan startup seperti eFishery,” kata dia.

Meski begitu, ia tak memungkiri dampak yang didapat oleh pembudidaya ikan yang berada di bawah eFishery dalam hal produksi hasil perikanan. Berbagai masalah diprediksi akan menimpa mereka seperti keterbatasan pasokan modal dan pangan, penurunan kualitas panen hingga potensi gagal panen yang menyebabkan kerugian.

“Kalau tidak diantisipasi ini juga akan menimbulkan satu persepsi yang negatif bahwa sektor perikanan ini memang tidak layak dibiayai kan begitu. Padahal sebenarnya aspek permodalan itu menjadi salah satu hal yang krusial dalam usaha perikanan,” ujarnya.

Sementara itu, Susan dari KIARA mengkhawatirkan kasus ini akan membuat investor tak lagi tertarik untuk berinvestasi di sektor perikanan. Ia menyebut, hadirnya teknologi seperti yang ditawarkan eFishery ke industri perikanan sebenarnya mempunyai dampak positif di antaranya untuk mendorong produksi hasil pangan perikanan.

Namun, dengan adanya kasus ini dikhawatirkan akan mematikan semangat anak-anak muda atau startup pendatang baru untuk bisa berkontribusi di bidang perikanan.

Fraud ini akan memberi efek luar biasa terhadap industri perikanan. Misalkan ada yang mempunyai gagasan untuk mendorong produksi pangan laut dengan inovasi dan teknologi dan membutuhkan support, tapi karena belajar dari kasus ini investor jadi takut,” kata dia.

Susan menambahkan diperlukan pengawasan yang lebih ketat terhadap industri perikanan dan startup teknologi agar kasus serupa tidak terulang kembali. “Karena selama ini startup-startup ini banyak kecolongannya gitu. Seperti enggak ada pengawasannya, akhirnya merugikan industri perikanan ini,” kata dia.

Hal senada diungkapkan Dani dari KNTI. Ia menilai masuknya teknologi adalah satu hal yang tak bisa dihindarkan bagi industri perikanan. Oleh karena itu, adanya kasus fraud ini dikhawatirkan akan turut menghambat perkembangan sektor industri perikanan di Indonesia.

Karena itu, ia meminta pemerintah untuk memberikan dukungan adopsi teknologi dalam sektor industri ke sektor perikanan di tengah permasalahan fraud eFishery.

“Jadi adaptasi terhadap teknologi itu harus keniscayaan bagi nelayan, pembudidaya, atau petambak,” katanya.

Pemerintah Jajaki Kerja Sama dengan Pihak Lain

Dari sisi pemerintah, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengaku tidak mengalami kerugian imbas kasus dugaan pemalsuan keuangan perusahaan rintisan eFishery yang mencuat beberapa waktu ini.

“Sejauh ini, program tambak budidaya nila salin di Karawang tetap berjalan dan tidak terdampak langsung oleh kondisi eFishery,” ujar Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan, Doni Ismanto Darwin, dikutip dari Antara, Jumat (31/1/2025)

Menukil laporan Antara, KKP menjadi salah satu mitra pemanfaatan teknologi eFeeder, yakni alat yang secara otomatis mampu memberikan pakan pada komoditas perikanan budi daya secara efisien. Pada modeling atau proyek percontohan budidaya nila salin di Karawang, Jawa Barat, KKP menyewa sebanyak 256 unit pada 2023.

Jumlah itu meningkat menjadi 422 unit pada 2024 dengan model kerja sama yang diterapkan yakni sewa per unit dengan biaya Rp339.000 per bulan.

“Model kerja sama ini menjadikan KKP tidak mengalami kerugian karena pembayaran dilakukan sesuai jumlah unit yang dioperasikan di Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Karawang, Jawa Barat,” kata dia.

Namun demikian, lanjut Doni, KKP mengantisipasi segala kemungkinan dengan mulai menjajaki kerja sama dengan mitra lain yang memiliki solusi serupa. Ke depan, KKP akan lebih memperkuat mitigasi risiko dalam setiap kerja sama dengan memastikan keberlanjutan operasional program serta mengembangkan ekosistem kemitraan yang lebih beragam. Harapannya, dampak terhadap program nasional dapat diminimalkan dan ketahanan pangan berbasis perikanan tetap terjaga.

Sebagai informasi, dikutip dari laman resmi perusahaan, eFishery juga mengeklaim telah melakukan kerja sama dengan 15 mitra pemerintah dari Aceh hingga Jawa Timur. Terdapat 450 eFeeder aktif yang digunakan sebagai hasil dari kerja sama eFishery dengan program pemerintah termasuk program di BLUPPB Karawang, Sumatera Utara, Jawa Barat, dan Jawa Timur.

Di bagian timur Indonesia, eFishery juga memiliki 15 mitra pemerintah di Sulawesi hingga Nusa Tenggara. Perusahaan juga mencatat telah bekerja sama dengan 10 institusi pemerintah seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Koperasi dan UKM, Otoritas Jasa Keuangan, dan lainnya.

Baca juga artikel terkait FRAUD atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - News
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Abdul Aziz