tirto.id - Temuan pagar laut misterius di Tangerang, Banten, lama-lama seperti opera sabun. Hingga kini tak jelas betul siapa yang bertanggung jawab atas pembangunan liar yang mengganggu mata pencaharian nelayan itu. Pemangku kebijakan sibuk lempar pernyataan dan berbantah apabila ditunjuk hidungnya. Penegak hukum setali tiga uang, tampak lesu dalam menindak perkara ini.
Ketidakjelasan dan lambatnya penanganan pemerintah dalam kasus pagar laut Tangerang membuat Zakiul Fikri gemas. Direktur Kajian Agraria Center of Economic and Law Studies (Celios) tersebut menilai, sudah banyak indikasi pelanggaran hukum dan administratif dalam kasus ini. Paling jelas, dokumen hak atas tanah diterbitkan dengan cara melanggar hukum.
Sebelumnya, pemerintah mengakui adanya temuan petak-petak hak guna bangunan (HGB) dan sertifikat hak milik (SHM) di sepanjang area pagar laut Tangerang. Wilayahnya masuk di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Tangerang, Banten. Sebagaimana disampaikan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid.
Aplikasi BHUMI milik ATR/BPN mencatat di area pagar laut seluas 30,16 kilometer persegi tersebut, diisi HGB dari 263 bidang tanah. Lebih rinci, HGB itu dikuasai PT Intan Agung Makmur 234 bidang, PT Cahaya Inti Sentosa 20 bidang tanah, dan 9 bidang lain milik perorangan. Selain itu, ada pula 17 bidang tanah yang telah memiliki SHM.
“Maka hak atas tanah tersebut mengandung cacat administratif. Konsekuensinya sertifikat itu dapat dibatalkan,” ucap Fikri kepada wartawan Tirto, Kamis (23/1/2025).
Nusron Wahid sendiri mengeklaim akan membatalkan izin 263 HGB yang berada di wilayah pagar laut pesisir Kabupaten Tangerang tersebut. Nusron mengatakan Kementerian ATR/BPN sudah melakukan peninjauan terhadap lokasi yang tercantum di sertifikat HGB tersebut melalui data geospasial.
Hasilnya, lokasi-lokasi tersebut terbukti menyalahi aturan karena berada di luar garis pantai. Nusron menambahkan penerbitan sertifikat HGB ini menyalahi aturan karena wilayah di luar garis pantai termasuk ke wilayah common property yang tidak bisa disertifikasi.
“Tidak boleh di dalam luar garis pantai itu menjadi private property. Karena yang namanya pantai adalah common land,” terang Nusron kepada awak media di Pos TNI AL Tanjung Pasir, Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Rabu (22/1/2025).
Zakiul Fikri paham dengan langkah yang diambil Kementerian ATR/BPN/. Dalam kasus pagar laut, terlihat jelas ada prosedur yang tidak dijalankan semestinya atau dimanipulasi. Sebab itu, kata dia, potensial terjadi dua bentuk tindak pidana dalam kasus pagar laut.
Pertama, kasus potensi suap untuk meloloskan agar HGB bisa diproses di atas air laut. Dan yang kedua, pemalsuan data-data pelengkap dokumen. Selain itu, pihak yang bertanggung jawab bisa dituntut secara perdata, jika terdapat korban yang merasa dirugikan oleh kasus ini.
“Bentuk atau kalkulasi kerugiannya dulu harus ditentukan, kalau itu sudah ditentukan, baru dapat dilihat apakah ini masuknya kerugian lingkungan atau apa, misalnya. Kalau kerugian lingkungan nanti masuk gugatan class action terhadap perizinan pemanfaatan ruang laut yang bodong,” ucap Fikri.
Kasus pagar laut Tangerang memang bisa dibilang janggal. Sukar dibayangkan, ada seluas 30 kilometer pagar laut terbangun di perairan, namun tidak ada satupun pemerintah pusat dan daerah yang menyatakan mengetahui keberadaannya. Padahal, seiring berjalan waktu didapati fakta bahwa di atas laut yang dipagari itu sudah terbit hak atas tanah berupa HGB.
Terbitnya HGB di wilayah perairan laut dinilai berpotensi membuka tabir baru perihal praktek mafia tanah dan kelautan. Sebab, setiap pemanfaatan atas ruang laut pada dasarnya harus memperoleh Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Namun, KKP menegaskan tak ada pemberian PKKPRL di wilayah pagar laut Tangerang.
Fikri menilai HGB hanya terbit di atas tanah negara atau tanah hak, bukan di perairan laut. UU Pokok Agraria 1960 tegas melarang kepemilikan individu atau perorangan serta badan hukum atas objek sumber daya air. Larangan ini bisa ditemukan pada Pasal 8 dalam UU PA.
Maka sejatinya laut teritorial merupakan kuasa langsung negara yang tak boleh diprivatisasi. Pemanfaatannya pun harus memperhatikan kepentingan umum dan daya dukung ekosistem lingkungan. Sebagaimana diatur Pasal 15 dalam PP 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.
Di sisi lain, Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 17 tahun 2016 sebagai peraturan pelaksana dari UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diubah menjadi UU Nomor 1 Tahun 2014, tak menyebut bahwa hak atas tanah seperti HGB, dapat diterbitkan diatas perairan laut.
“Jadi, dari aspek regulasi mana saja, tak ditemukan dalil yang dapat membenarkan terbitnya HGB di atas perairan laut utara Tangerang tersebut,” ucap Fikri.
Penegakan Hukum Buram
Meskipun sudah terang benderang temuan HGB serta korporasi dan individu di baliknya, tak menjamin penegakan hukum dalam kasus pagar laut berjalan cepat. Bahkan, sebelumnya kepolisian menyatakan belum menemukan pelanggaran dalam kasus pagar laut. Ditpolairud Polda Metro Jaya justru tampak pasif menunggu langkah KKP yang masih menyelidiki kasus ini.
"Ditpolairud Polda Metro Jaya memberikan bantuan penyidikan apabila ada permintaan dari KKP," kata Direktur Kepolisian Air dan Udara Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Joko Sadono dikutip Antara di Jakarta, Senin.
Penelusuran Tirto berdasarkan profil perseroan yang terdapat di Direktorat Jenderal (Ditjen) Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum, mayoritas saham PT Intan Agung Makmur dimiliki oleh Kusuma Anugrah Abadi dan Inti Indah Raya dengan kepemilikan masing-masing mencapai 2.500 lembar atau dengan nilai total Rp2,5 miliar. Sementara pemilik manfaat (beneficial owner) yang tercatat adalah Susanto Kusumo, Alexander Halim Kusuma dan Richard Halim Kusuma yang ketiganya merupakan pemilik sebenarnya dari dana atas kepemilikan saham perseroan.
Susanto Kusumo merupakan adik dari pemilik Agung Sedayu Group, Sugianto Kusuma alias Aguan. Sementara Alexander dan Richard Halim Kusuma adalah putra Aguan. Selain itu, jabatan Direktur PT Intan Agung Makmur diemban oleh Belly Djaliel.
Sedangkan jabatan komisaris diduduki oleh Freddy Numberi yang pernah menjabat sebagai Menteri Perhubungan periode 2009-2011, Menteri Kelautan Perikanan periode 2004-2009 dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara periode 1999-2000.
Sementara itu, PT Cahaya Inti Sentosa sekitar 99,33 persen dari total saham atau sebanyak 88.500 lembar saham (senilai Rp88,5 miliar) perusahaan tersebut dimiliki oleh PT Pantai Indah Kapuk Dua (PANI). Kemudian, 300 lembar saham di antaranya atau dengan nilai Rp300 juta dimiliki oleh PT Agung Sedayu dan sisanya dimiliki oleh PT Tunas Mekar Jaya.
PANI merupakan perusahaan properti hasil kongsi Agung Sedayu Group dan Salim Group yang dimiliki oleh Anthoni Salim. Kedua pengembang properti tersebut menjadi pengendali PANI melalui PT Multi Artha Pratama (MAP) dengan kepemilikan saham mencapai 90 persen.
Dengan informasi publik sejelas ini, tak masuk akal jika pemerintah dan aparat penegak hukum belum juga melakukan tindakan. TemuanTirto di lapangan, taipan Sugianto Kusuma alias Aguan – Chairman Agung Sedayu Group – disebut-sebut sebagai dalang pemasangan pagar laut yang membentang sepanjang 6 kecamatan di Kabupaten Tangerang-Kecamatan Kronjo, Kemiri, Mauk, Sukadiri, Pakuhaji, dan Kecamatan Teluknaga.
Namun, hal ini dibantah Kuasa Hukum Pengembang Proyek Strategis Nasional (PSN) PIK 2, Muannas Alaidid. Kata dia, segala tuduhan kepada Aguan terkait pagar laut adalah fitnah belaka yang dilontarkan pihak-pihak yang hanya ingin mencari sensasi. Selain itu, alih-alih bagian dari PSN PIK 2 yang ditangani Agung Sedayu, pagar laut diklaim dibangun swadaya masyarakat pesisir sebagai pemecah ombak, penghalang sampah, hingga pembatas lahan dari wilayah yang terkena abrasi.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, menilai dalam PP Nomor 18/2021 sudah tegas menyebut hak atas tanah berupa bangunan (HGB) hanya bisa terbit di wilayah pesisir pantai, bukan di laut. Kedua, aturan selanjutnya, di kawasan pesisir pantai sudah diatur bahwa hanya garis sempadan pantai yang boleh disertifikatkan dengan minimal jaraknya 100 meter dari titik surut. Dengan demikian, pagar alias bangunan di laut Tangerang jelas merupakan bentuk pelanggaran.
Dengan adanya HGB, Dwi menduga perusahaan dan Pemda merubah tata ruang darat dan laut, sehingga garis batas laut berubah. Otomatis sempadan pantai berubah. Juga terdapat indikasi kesengajaan pembelokan data dalam memberikan Risalah Panitia A terkait dengan permohonan HGB.
“Pasti ada pembelokan data mengenai riwayat tanah, kondisi tanah, batas tanah dan lain lain yang disebut dengan data fisik,” ucap Dewi kepada wartawan Tirto, Kamis.
Dengan begitu, terbitnya 263 bidang bersertifikat HBG serta 17 bidang SHM menunjukkan akrobatik hukum dan praktik mafia tanah yang terang dalam kasus pagar laut Tangerang. Pemecahan HGB menjadi bidang-bidang kecil sehinga banyak jumlah sertifikatnya, memang taktik penyelewengan hukum lain agar prosesnya cukup diurus di tingkat Kantor Pertanahan Tanggerang atau Kanwil Banten, tanpa perlu ke pusat atau Kementerian ATR/BPN.
Memagari laut yang berdampak pada nelayan merupakan bentuk pelanggaran hukum dan konstitusi. Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 menyatakan bahwa: bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maka, monopoli swasta atas sumber-sumber agraria tidak diperkenankan ada bumi pertiwi ini.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, memandang wajar apabila masyarakat terheran-heran soal minimnya peran dan ketegasan Polri dalam merespons kasus pagar laut. Bambang menilai Polri saat ini memang sangat minim inisiatif dalam menyelidiki kasus-kasus besar.
Bambang menilai, pemasangan pagar laut 30 kilometer di Tangerang sangat tidak mungkin tidak diketahui kepolisian yang memiliki yurisdiksi di situ. Ada perangkat Bhabinkamtibmas di semua desa sepanjang pantai. Ada Satlantas yang mengawasi jalanan di mana bambu tersebut diangkut. Ada Polairud yang bertugas menjaga pesisir. Jadi sangat tidak mungkin kepolisian tidak tahu soal pembangunan pagar laut.
“Terlepas dari ketidakpahaman soal izin, maupun sudah adanya HGB, indikasi pelanggaran terkait lingkungan hidup sudah ada sejak awal. Dan itu sudah cukup menggelitik naluri penyelidik kepolisian yang profesional seharusnya,” ucap Bambang kepada wartawan Tirto, Kamis.
Bambang menilai penyelidikan dan penuntasan kasus ini sebenarnya tidak sulit. Yang sulit adalah apakah Korps Bhayangkara mau menuntaskan atau tidak. Kepolisian sudah bisa langsung melakukan penyelidikan dan memanggil pihak-pihak yang diduga terlibat. Bukan hanya operator lapangan, tetapi juga otak maupun pemberi izin pembangunan pagar laut Tangerang. Problemnya pemerintah terkesan sudah tidak percaya pada kepolisian juga.
Pasal 75 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil juga mengatur soal pelanggaran ini. Menurut pasal itu, setiap orang yang memanfaatkan ruang dari sebagian perairan pesisir dan pemanfaatan pulau kecil tanpa izin bisa dipidana.
Begitupun pada Undang-Udang 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, termaktub di Pasal 98 ayat 1 bahwa: setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dapat dipidana.
Sayangnya, langkah pemerintah yang justru memerintahkan TNI AL mencabut pagar, dinilai Bambang bisa dibaca sebagai bentuk ketidakpercayaan pemerintah pada Polri. Padahal itu bisa menjadi blunder bagi sistem penegakan hukum kita.
“Dengan problem yang karut-marut ini, sebaiknya pemerintah membuat Tim Gabungan Pencari Fakta. Hal itu sekaligus untuk menyelamatkan wajah institusi Polri,” kata Bambang.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang