tirto.id - Di tengah dominasi VOC di Nusantara, kelahiran media massa baru bagaikan sebuah paradoks.
Pada awal abad ke-18, kemunculan surat kabar dipantik oleh kontradiksi, antara kebutuhan akan informasi dagang cepat, semangat intelektual ala Zaman Pencerahan Eropa, dan paranoia kekuasaan VOC yang tak ingin ruang publik tumbuh.
Ia merupakan cermin kecil di hadapan kontradiksi besar dalam sistem kolonial, ketika wacana bebas tak pernah benar-benar punya tempat.
Namun, kebutuhan imperium dagang tak bisa diabaikan, terutama di Batavia. Sejak awal dikuasai VOC, kota yang di era pasca-penjajahan disebut Jakarta itu adalah pusat kendali imperium VOC di Asia. Dari situ, jaringan perdagangan global diatur, mulai dari Tanjung Harapan hingga Jepang.
Setiap hari, Batavia dibanjiri informasi: jadwal kapal, harga komoditas, peraturan dari Amsterdam, lelang, bahkan kabar soal mutasi pejabat. Komunitas Eropa di Batavia hidup dari arus data ini. Kebutuhan akan penyebaran informasi yang terstruktur sudah lama terasa.
VOC sebenarnya sudah punya sistem internal sejak awal abad ke-17: lembaran sederhana empat halaman kertas folio yang ditulis tangan bernama Memorie der Nouvelles. Isinya memuat informasi kedatangan dan keberangkatan kapal-kapal niaga serta kegiatan perdagangan di Batavia dan berbagai pos perdagangan Belanda di Nusantara.
Menurut Ahmat B. Adam (1995), Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen lalu mengadopsinya pada tahun 1615. Memorie der Nouvelles diedarkan terbatas di kalangan pejabat dan pegawai kompeni. Bahkan, pada 1644 dilaporkan bahwa pemerintah Ambon menerima berita secara teratur dari Batavia lewat lembaran tersebut.
Lahir dari Orang Dalam Kompeni
Yang memungkinkan lahirnya surat kabar "publik" baru ada dua hal: teknologi dan iklim intelektual. Sejak 1668, mesin cetak sudah hadir di Batavia. Meski awalnya untuk mencetak dokumen hukum dan keagamaan, keberadaannya membuka peluang baru, yakni produksi massal materi cetak, terutama untuk menggandakan laporan-laporan VOC terkait negeri jajahan.
Pada masa inilah Jan Erdman Jordens, pegawai VOC yang menjalankan bisnis kecil-kecilan di Hindia Belanda, mencetuskan gagasan brilian menerbitkan surat kabar modern yang jauh lebih maju dibanding Memorie sebelumnya. Ia bukan birokrat murni, melainkan saudagar dan penjelajah yang juga menjabat sebagai sekretaris Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff (1743-1750).
Posisi ganda tersebut memberinya akses ke kekuasaan sekaligus pemahaman tajam atas kebutuhan informasi komunitas bisnis. Ia tahu kebutuhan pasar, juga cara birokrasi bekerja. Kombinasi itu memberinya modal mewujudkan gagasan surat kabar "publik".
Meski pada dasarnya Batavia (VOC) berorientasi laba, komunitas Eropanya tetap membawa semangat Zaman Pencerahan kala itu, sebuah optimisme terhadap akal dan penyebaran pengetahuan. Ide-ide itu, meski terbatas, ikut membentuk atmosfer intelektual di kalangan elite Eropa di Batavia.

Tepat pada 7 Agustus 1744, surat kabar "publik" pertama itu lahir ke khalayak Eropa di Batavia, selain aristokrat Kompeni. Namanya penuh ambisi: Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen 'Berita Batavia dan Penalaran Politik'.
Seturut Taufik Rahzen dan Muhidin M. Dahlan dalam “Yang Pertama Dibreidel” di buku Seabad Pers Kebangsaan, 1907-2007 (2007:5), kata bataviase atau sering juga ditulis bataviasche merujuk pada sebutan identitas lokal. Istilah bataviase mengingatkan pada parisian untuk orang-orang Paris atau new yorker untuk orang-orang New York.
Adapun nouvelles, dipinjam dari bahasa Prancis, menyiratkan kebaruan. Namun, yang paling berani adalah penyematan politique raisonnementen, deklarasi bahwa surat kabar tersebut bukan hanya wadah iklan, tapi forum diskusi. Jordens tampaknya terpengaruh oleh semangat Pencerahan Eropa yang menempatkan akal sebagai fondasi wacana publik.
Namun, menurut Kasijanto (2008) yang mengutip catatan G.H. von Faber dalam A Short History of Journalism in The Dutch East-Indies (1930), debat atau diskusi politik itu tidak pernah terjadi dan tidak mungkin ada di kolom surat kabar tersebut.
“Mungkin Jordens juga ‘tahu diri’ dengan menghindari isu-isu yang tergolong sensitif seperti korupsi di kalangan pejabat VOC pada waktu itu,” terang Kasijanto.
Dalam waktu singkat, popularitas Bataviasche Nouvelles melonjak dan bahkan sampai mendapat sambutan hangat dari pembaca. Sementara itu, izin terbit (octrooi) dari van Imhoff terbatas hanya enam bulan.
Karena pamornya melejit, izinnya diperpanjang pada 9 Februari 1745 dengan durasi tiga tahun. Van Imhoff sadar, surat kabar bisa jadi ruang kritik. Bagi VOC, yang menganut pemerintahan absolut, ruang wacana di luar kendali adalah ancaman.
Maka, izin itu lebih mirip perjudian: antara manfaat penyebaran informasi dan risiko munculnya suara-suara yang tak bisa dikendalikan.
Konten, Target Pembaca, dan Sensor
Pada awalnya, beberapa bagian dalam surat kabar Bataviasche Nouvellesmasih ada yang ditulis tangan. Namun, tak lama sehabis itu, ia sepenuhnya beralih ke cetakan mesin, terdiri dari empat halaman folio dengan dua kolom per halaman.
Terbit setiap Senin, Bataviasche Nouvelles didistribusikan oleh Jan Abel, seorang penjilid buku VOC di Kastil Batavia. Namun, informasi jumlah eksemplar yang dicetak dan terjual sangat terbatas dalam berbagai sumber.
Meski informasi pasti tentang oplah tidak tersedia, dapat diperkirakan bahwa sirkulasinya relatif kecil, mengingat keterbatasan mesin cetak dan segmen pembaca di komunitas Eropa di Batavia.
Isinya terbagi antara konten pragmatis dan konten kritis. Iklan komersial dan berita lelang memenuhi halaman-halamannya, seperti menjual properti, barang dagangan, dan promosi produk.
Selain itu, ada informasi maritim, seperti jadwal kapal dan harga komoditas, pengumuman resmi VOC, berita kapal, pengangkatan dan pemberhentian pejabat, serta laporan kejadian di Pulau Jawa, Sumatra, Sri Lanka, Tanjung Harapan, dan negeri-negeri lain tempat VOC melakukan usaha dagang.
Konten hiburan di dalamnya menjadi daya tarik tersendiri, meliputi pesta-pesta, jamuan, obituari, dan doa-doa keselamatan bagi kapal yang akan berlayar jauh menyeberang ke negeri induk. Dalam beberapa edisinya, koran ini menambahkan kolom sejarah koloni Belanda di Hindia dan gerejanya, yang serupa dengan artikel feature dalam media modern saat ini.
Sebagaimana ide awal penerbitannya, pembaca Bataviasche Nouvelles memang terbatas, hanya kalangan Belanda dan Eropa yang terlibat dalam roda ekonomi VOC, seperti pegawai Kompeni, pedagang, dan segelintir ekspatriat. Distribusinya juga terpusat di perusahaan penjilidan VOC dalam Benteng Batavia. Tak ada bukti bahwa surat kabar ini menjangkau penduduk pribumi, Cina, atau kelompok non-Eropa lainnya.
Namun, seiring waktu, Bataviasche Nouvellesmulai memuat konten yang dianggap berpotensi membahayakan VOC. Beberapa sumber menyebut, konten yang dimaksud adalah pemberitaan tentang korupsi dan perbudakan. Porsi konten kritis ini kecil, tetapi mampu mengubah wajah Bataviasche Nouvelles dari buletin komersial menjadi ancaman politik.
Kabar itu pun sampai ke Amsterdam. Heeren XVII, dewan tertinggi VOC, bereaksi dengan curiga dan cemas. Baginya, media cetak yang beroperasi semi-otonom di koloni utama adalah anomali yang tak bisa dibiarkan. Kekhawatiran tersebut sebenarnya sudah pernah timbul pada 1712, jauh sebelum Bataviasche Nouvelles lahir, ketika ada usaha untuk menerbitkan surat kabar yang memuat kabar dalam negeri dan berita kapal, yang kemudian ditentang oleh VOC.
Alasan resmi pembredelan berkisar pada isu ekonomi dan keamanan. VOC khawatir informasi strategis, misalnya jadwal kapal, muatan dagang, kekuatan militer, bisa bocor ke pesaing seperti Inggris dan Prancis. Dalam iklim persaingan global, kekhawatiran itu terdengar masuk akal.
Ironisnya, informasi yang dipublikasikan dalam Bataviase Nouvelles sesungguhnya tidak kritis sama sekali dan sangat sedikit bernilai perdagangan. Menurut tesis di Universitas Leiden, keputusan itu menunjukkan sejauh mana VOC takut terhadap publikasi apa pun yang dapat memengaruhi monopoli kekuasaannya di Hindia Belanda.
Surat perintah pembredelan dikirim oleh Heeren XVII dari Amsterdam pada 20 November 1745.
“Karena pencetakan dan penerbitan surat kabar di Batavia, yang baru-baru ini dipraktikkan, telah menimbulkan dampak buruk di negeri ini, Yang Mulia akan segera melarang pencetakan dan penerbitan surat kabar ini setelah menerima pemberitahuan ini,” tulis Rimmer van der Meulen dalam bukunya De Courant: Geschiedkundig en Vergelijkend Overzicht der Nieuwsbladen van Alle Landen (1885:288).
Karena perjalanan laut memakan waktu berbulan-bulan, surat itu baru tiba di Batavia pada pertengahan 1746. Van Imhoff, yang tak punya ruang membantah, langsung melaksanakan perintah itu. Menurut Meulen, edisi terakhir Bataviasche Nouvelles terbit pada Senin, 20 Juni 1746, meskipun sebelumnya telah izin terbit selama tiga tahun.
Jejak Awal Sejarah Pers Indonesia
Meski hanya berumur dua tahun, Bataviasche Nouvelles meninggalkan jejak panjang dalam sejarah pers Indonesia. Ia bukan hanya surat kabar pertama yang terbit, tapi juga yang pertama dibredel.
Kegagalannya menjadi pelajaran pahit bagi VOC dan pemerintah Hindia Belanda. Pers yang relatif bebas dianggap sebagai kesalahan yang tak boleh diulang. Sejak itu, kontrol terhadap media cetak diperketat dan dilembagakan.
Tiga dekade setelah pembredelan, tepatnya pada 1776, barulah surat kabar lain lahir: Vendu Nieuws. Tak ada ambisi politik, hanya iklan lelang dan pengumuman komersial. VOC mengawasinya ketat.
Menurut Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (1779), surat kabar tersebut diterbitkan hingga masa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels dan masyarakat Melayu mengenalnya sebagai “Soerat Lelang”.
Ketika VOC runtuh dan Daendels mengambil alih, kontrol terhadap pers justru makin formal. Tahun 1810, ia menerbitkan Bataviasche Koloniale Courant, surat kabar resmi pemerintah. Redakturnya wajib bayar pajak dan mendahulukan kepentingan negara. Ini menandai pergeseran dari sensor reaktif ke kooptasi penuh: pers dijadikan alat negara, bukan ruang wacana.
Kegagalan Bataviasche Nouvelles menciptakan cetakan yang bertahan lebih dari seabad. Media harus tunduk, berfungsi sebagai fasilitator dagang dan corong pemerintah. Polanya jelas: eksperimen otonom, pembredelan, pembatasan fungsional, kooptasi.
Butuh waktu hingga awal abad ke-20, saat kesadaran nasional tumbuh dan pers bumiputera muncul. Dialah Medan Prijaji, yang benar-benar menantang dan membongkar model pers instrumental yang lahir dari abu Bataviasche Nouvelles.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Fadli Nasrudin
Masuk tirto.id


































