Menuju konten utama
Seabad Tirto Adhi Soerjo Wafat

Sejarah Hidup Tirto Adhi Soerjo, Sang Pemula Pers Bumiputra

Medan Prijaji dan Soeloeh Keadilan menjadi senjata jurnalisme advokasi bagi Tirto Adhi Soerjo untuk menghadapi kesewenang-wenangan.

Sejarah Hidup Tirto Adhi Soerjo, Sang Pemula Pers Bumiputra
Tirto Adhi Soerjo, sang pemula pers bumiputra. tirto.id/Lugas

tirto.id - “Tuan T.A.S. adalah induk jurnalis bumiputera di ini tanah Jawa. Tajam sekali beliau punya pena. Banyak pembesar yang kena kritiknya jadi muntah darah dan sebagian besar memperbaiki kelakuannya yang kurang senonoh,” tulis Mas Marcodikromo dalam artikel bertajuk “Mangkat” yang dimuat surat kabar Djawi Hisworo edisi 13 Desember 1918.

Tuan T.A.S. yang dimaksud tidak lain adalah Tirto Adhi Soerjo, perintis pers bumiputera yang oleh Marco sudah dianggap sebagai mentor atau guru jurnalistiknya. Marco—yang kemudian menonjol sebagai salah seorang aktivis pergerakan sekaligus jurnalis pribumi paling pemberani di dekade kedua abad ke-20—pernah menimba ilmu kepada Tirto saat berkarier di surat kabar Medan Prijaji pada 1907.

Marco menulis “Mangkat” tidak lama setelah Tirto wafat. Hanya saja, sang pemula meninggal dunia dalam kesunyian dan keterpurukan lantaran mengalami depresi akut akibat perlakuan pemerintah kolonial terhadapnya.

Jejak Langkah Jurnalis Perintis

Djokomono dilahirkan di Blora, Jawa Tengah, pada 1880, dengan menyandang gelar raden mas. Setelah beranjak dewasa, putra Raden Ngabehi Hadji Moehammad Chan Tirtodhipoero ini lebih dikenal dengan nama Tirto Adhi Soerjo.

M. Rodhi As’ad melalui tulisan “Tirto Adhi Soerjo: Pengguncang Lelap Bumiputera” yang terhimpun dalam buku 7 Bapak Bangsa (2008) suntingan Iswara N. Raditya, memaparkan, Djokomono tentu berasal dari keluarga bangsawan terkemuka. Dalam sistem keluarga raja-raja Jawa, perubahan nama anak menjelang dewasa sudah menjadi kelaziman, entah pemberian ayah atau kakeknya (hlm. 22).

Gelar raden mas menandakan bahwa Djokomono adalah putra atau cucu bupati dan masih terhitung keturunan raja-raja di Jawa. Kakeknya, R.M.T. Tirtonoto, menjabat Bupati Bojonegoro dan penerima Ridder Nederlandsche Leeuw, bintang tertinggi sipil dari Kerajaan Belanda. Sedangkan dari pihak nenek, ia mewarisi darah Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyawa dari Surakarta.

Djokomono hanya beberapa tahun saja tinggal bersama ayah-ibunya di Blora. Masa kecilnya lebih banyak dihabiskan dengan kerabatnya yang lain. Ia pernah tinggal bersama kakek-neneknya di Bojonegoro; sepupunya, R.M.A. Brotodiningrat (Bupati Madiun); hingga kakaknya, Jaksa Kepala di Rembang, Raden Mas Tirto Adhi Koesoemo.

Setelah menuntaskan pendidikan dasar di Rembang, Djokomono alias Tirto Adhi Soerjo merantau ke Betawi untuk melanjutkan sekolah di Hogere Burger School (HBS). Lulus HBS, ia diterima di sekolah dokter bumiputra, yakni School tot Opleiding van Inlandsche Artshen (STOVIA), di Batavia.

Sebagai putra dari kalangan ningrat, sebenarnya Tirto bisa dengan mudah menatap masa depan yang cerah jika mau menjadi abdi pemerintah. Namun, ungkap Benny G. Setiono di buku Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008), ia menolak masuk pangreh praja (hlm. 341). Tirto kala itu rupanya sedang tertarik mencicipi dunia kedokteran.

Hanya saja, Tirto tak sempat menamatkan sekolah dokternya lantaran jatuh cinta dengan dunia tulis-menulis. Tirto mulai menulis sejak awal masuk STOVIA dengan mengirimkan tulisan ke berbagai surat kabar terkemuka saat itu, sebut saja Bintang Betawi, Chabar Hindia Olanda, Pewarta Priangan, Bromartani, juga Pembrita Betawi.

Tirto sempat menetap di Bandung saat bekerja untuk Pewarta Priangan. Ia kembali ke Batavia setelah surat kabar itu bangkrut, kemudian bergabung dengan Pembrita Betawi sebagai redaktur. Kariernya di koran ini melesat cepat. Pada 1901, ia sudah menjadi redaktur kepala, dan setahun berselang, ia dipercaya menjabat sebagai pemimpin redaksi.

Semasa di Pembrita Betawi, Tirto belajar dari Karel Wijbrands, jurnalis senior yang juga pemimpin redaksi Niews van den Dag. Pramoedya Ananta Toer dalam Sang Pemula (2003) mengungkapkan hubungan ini amat intensif walaupun hanya berlangsung beberapa bulan. Tirto mengambil banyak pelajaran dan pengetahuan dari Wijbrands.

Tirto mendapat bimbingan bagaimana harus mengelola penerbitan, dan ditunjukkan jalan untuk kelak bisa memiliki terbitan sendiri. Wijbrands menyarankan pula kepada Tirto agar mempelajari hukum untuk mengetahui batas-batas kekuasaan pemerintah kolonial, beserta hak dan kewajibannya.

Wijbrands, papar Pramoedya, juga mengajarkan Tirto tentang harga diri menurut standar Eropa dan teknik menghantam aparat kolonial; bukan pemerintah yang diserang, tapi aparatnya lantaran hasilnya sama saja (hlm. 46).

Tirto diminta memperdalam tata pemerintahan supaya lebih jeli dalam menilai kekuasaan. Dan, juga atas saran Wijbrands, untuk mengenal bangsa bumiputra yang mayoritas Muslim, Tirto mendalami ajaran Islam berikut hukum-hukumnya.

Berkat segenap saran Wijbrands, Tirto kemudian menerbitkan Soenda Berita pada 1903. Inilah salah satu surat kabar pertama di Indonesia yang diterbitkan, dikelola, dan dimodali sendiri oleh orang bumiputra, siapa lagi kalau bukan Tirto Adhi Soerjo.

Petarung di Medan Media

Tanggal 7 Februari 1903, meluncurlah Soenda Berita yang menjadi tonggak sejarah pers nasional. Dalam pengantar buku Karya-Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo: Pers Pergerakan dan Kebangsaan (2008) yang disusun Muhidin M. Dahlan & Iswara N. Raditya tercatat, Soenda Berita adalah koran pertama Indonesia yang dimodali dan diisi tenaga-tenaga bumiputra sendiri, tak lagi menjadi bawahan bangsa lain (hlm. 17).

Surat kabar ini merupakan embrio yang menjadi pertaruhan sekaligus petunjuk pertama ke mana arah ayun kecendekiaan Tirto dalam upaya menyuluh bangsanya secara nasional. Bersama Soenda Berita, Tirto ingin mencapai cita-cita perjuangan demi memajukan bangsanya.

Sebagai strategi untuk menarik minat dan menyadarkan pembaca yang memang ditujukan kepada rakyat kebanyakan, Soenda Berita oleh Tirto Adhi Soerjo disematkan label: “kepoenjaan kami pribumi”.

Sayangnya, Soenda Berita lantas mengalami krisis finansial. Antara 1905-1906, Tirto melakukan perjalanan panjang ke luar Jawa untuk menggalang dana, namun justru berdampak fatal terhadap korannya tersebut. Soenda Berita seperti kehilangan induk dan akhirnya berhenti terbit.

Tirto kemudian meluncurkan Medan Prijaji. Ahmat Adam dalam The Vernacular Press and the Emergence of Modern Indonesian Consciousness 1855-1913 (1995) menyebutkan, Medan Prijaji terbit perdana pada 1 Januari 1907 (hlm. 111). Selain sebagai penggagas, Tirto juga bertindak selaku editor sekaligus administrator mingguan ini.

Penerbitan Medan Prijaji memperoleh bantuan dari bangsawan lokal dan saudagar anak negeri. Pada 10 Desember 1908, NV Javasche Boekhandel en Drukkerij en Handel in Schrijfbohoeften “Medan Prijaji” resmi berbadan hukum. NV (Naamloze Vennootschap atau perseroan terbatas alias PT) ini tidak hanya menerbitkan Medan Prijaji, melainkan juga beberapa media lainnya, termasuk Soeloeh Keadilan.

Kali ini tak main-main. Medan Prijaji dan Soeloeh Keadilan menjadikan Tirto sebagai orang Indonesia pertama yang menyuluh rasa kesadaran berbangsa bumiputra melalui kuasa media. Dalam konteks ini, ia memperkenalkan apa yang sekarang disebut sebagai jurnalisme advokasi. Tak jarang, Tirto membela kaum tertindas lewat surat kabarnya.

Infografik Tirto Adhi Soerjo

Medan Prijaji dan Soeloeh Keadilan ibarat kendaraan perang bagi Tirto untuk bertempur di medan jurnalistik. Bahkan sejak era Pembrita Betawi dan Soenda Berita, cukup banyak pejabat, baik dari kalangan kolonial maupun pribumi, yang—dalam istilah Marco—muntah darah akibat tulisan-tulisan tajam karyanya.

Andi Suwirta dalam Suara dari Dua Kota: Revolusi Indonesia dalam Pandangan Surat Kabar Merdeka (Jakarta) dan Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta) 1945-1947 (2000) menuliskan, tulisan dan pandangan yang dikemukakan Tirto membeberkan tentang kesewenang-wenangan para pejabat. Sepak-terjang macam ini ternyata berakibat buruk baginya.

Tirto terjerat perkara delik pers dan diajukan ke meja hijau. Pada pengujung 1912, ia diputuskan harus menjalani hukuman pengasingan di Maluku. Sepulang dari pembuangan dan kembali ke Batavia, pengaruhnya sudah melemah, harta dan asetnya ludes disita negara, teman-temannya pun beranjak menjauh.

Depresi akut menjangkiti Tirto di tahun-tahun pamungkasnya. Hingga akhirnya, pada 7 Desember 1918, tepat hari ini 100 tahun lalu, Tirto Adhi Soerjo, sang pemula pers bumiputera yang telah berjuang mati-matian demi menyadarkan bangsanya itu, mengembuskan napas penghabisan. Pramoedya menyematkan gelar Bapak Pers Nasional kepadanya.

==========

Dalam rangka satu abad meninggalnya Tirto Adhi Soerjo pada 7 Desember 1918, kami menayangkan serial khusus mengenai riwayat dan kehidupannya dalam dunia pers. Serial ini terdiri dari 4 artikel, ditayangkan setiap hari mulai Jumat (7/12/2018) hingga Senin (10/12/2018). Tulisan ini merupakan artikel pertama.

Tirto Adhi Soerjo adalah pelopor pers modern yang digerakkan kaum bumiputra. Sebagai pengakuan atas peran besarnya, pemerintah RI menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional pada 2006. Nama dan perjuangannya juga memberi inspirasi bagi media ini, Tirto.id.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan