tirto.id - Tirto Adhi Soerjo boleh tersenyum bangga lantaran berhasil menorehkan sejarah emas pada 1909 itu. Poetri Hindia menjadi surat kabar pertama yang mendapatkan apresiasi sekaligus hadiah dari Ratu Emma, permaisuri almarhum Raja Willem III atau ibunda penguasa Kerajaan Belanda, Sri Ratu Wilhelmina.
Moment berkesan ini diberitakan oleh hampir seluruh surat kabar yang ada di Hindia (Indonesia) kala itu. Medan Prijaji, surat kabar utama yang dikelola Tirto, secara khusus memuat artikel ihwal prestasi yang diraih Poetri Hindia:
“Redaksi Poetri Hindia sudah beruntung dapat hadiah uang dari Sri Baginda Ratu Permaisuri Emma, Ibunda Sri Baginda Ratu kita di Nederland, sebagai tanda cinta dan suka akan maksudnya surat kabar istri tersebut yaitu memajukan perempuan Hindia,” demikian tertulis dalam artikel Medan Prijaji, Tahun ke-3, 1909.
Poetri Hindia terbit perdana tanggal 1 Juni 1908 di Batavia. Penggagas sekaligus pendiri koran pertama di Indonesia yang khusus ditujukan untuk kaum perempuan ini adalah Tirto Adhi Soerjo dengan dukungan R.T.A. Tirtokoesoemo, Bupati Karanganyar yang turut menyokong berdirinya Boedi Oetomo (BO).
Bagi Tirto Adhi Soerjo, Poetri Hindia seolah menjadi penyempurna jejak-langkahnya di bumi manusia, khususnya di ranah jurnalistik tanah air pada awal abad ke-20 itu. Sebelumnya, Tirto telah menerbitkan Medan Prijaji selaku media utamanya dan Soeloeh Keadilan sebagai wujud jurnalisme advokasi untuk membela kaum tertindas.
Sang Pemula Emansipasi
Hingga 1908—yang kerap dianggap sebagai tonggak awal era pergerakan nasional seiring lahirnya Boedi Oetomo—masih belum ada gerakan massa untuk emansipasi yang dilakukan atas prakarsa kaum wanita itu sendiri, termasuk dari sektor jurnalistik yang murni dimiliki oleh perempuan bumiputra.
Dalam catatan penyusun buku Karya-Karya Tirto Adhi Soerjo: Pers Pergerakan dan Kebangsaan (2008) suntingan Muhidin M. Dahlan dan Iswara N. Raditya tertulis, meskipun waktu itu sudah ada sekitar 12 orang istri bupati di Jawa yang mahir menulis dan bicara Belanda, mendukung berdirinya sekolah wanita, serta menulis artikel di koran, tapi itu belum bisa disebut memprakarsai lahirnya gerakan perempuan (hlm. 24).
Nyatanya, sang pemula yang mengawali langkah nyata untuk menghimpun maksud tersebut adalah Tirto Adhi Soerjo, perintis pers bumiputra sekaligus motor pergerakan nasional. Hanya beberapa hari setelah BO dicetuskan di STOVIA, Batavia, pada 20 Mei 1908, Tirto menerbitkan koran khusus untuk perempuan yang digawangi oleh jajaran srikandi terkemuka: Poetri Hindia.
Beberapa warsa sebelumnya, Tirto sejatinya sudah mengawali upaya memajukan kaum perempuan Hindia melalui Soenda Berita yang terbit perdana pada 7 Februari 1903. Soenda Berita tercatat sebagai surat kabar pertama di Indonesia yang dimodali dan diisi tenaga-tenaga bumiputra sendiri, bukan lagi menjadi bawahan bangsa lain.
Soenda Berita barangkali menjadi surat kabar milik bumiputra pertama yang memberikan ruang untuk perempuan. Sebelumnya, memang sudah ada koran yang juga menerapkan kebijakan serupa, yakni Insulinde. Akan tetapi, dalam konteks ini, terdapat sedikit perbedaan antara Insulinde dengan Soenda Berita besutan Tirto Adhi Soerjo.
Ahmaddani G. Martha melalui buku Pemuda Indonesia dalam Dimensi Sejarah Perjuangan Bangsa (1989) mencatat, Majalah Insulinde diluncurkan pada 1901 di Padang (hlm. 11). Namun, lantaran memakai bahasa Belanda dan belum diterbitkan atas modal orang bumiputra sendiri, Insulinde dianggap bacaan bagi kaum wanita dari kalangan tertentu saja.
Dipaparkan dalam buku Seabad Pers Kebangsaan: 1907-2007 (2008) yang ditulis Agung Dwi Hartanto dan kawan-kawan, Soenda Berita kala itu sudah menghadirkan artikel-artikel khusus tentang dunia keluarga dan perempuan, seperti tulisan tentang memasak, fashion, keterampilan, dan sejenisnya (hlm. 38).
Setelah Soenda Berita gulung tikar, Tirto sempat menghilang dari peredaran. Rupanya, ia sedang mengunjungi negeri-negeri di luar Jawa sampai ke Maluku demi menggalang dana yang rencananya akan digunakan untuk menerbitkan beberapa surat kabar baru, salah satunya adalah Poetri Hindia.
Barisan Srikandi Pers
Penyediaan ruang khusus wanita di lembar-lembar Soenda Berita yang berlanjut dengan penerbitan Poetri Hindia menjadi bukti bahwa ada relasi tegas antara kiprah jurnalistik Tirto Adhi Soerjo dengan riwayat emansipasi perempuan yang terangkum perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Tulisan Reni Nuryanti dengan judul “Poetri Hindia: Perintis Pers Perempuan Indonesia” yang terhimpun dalam buku Seabad Pers Perempuan: Bahasa Ibu, Bahasa Bangsa (2008) suntingan Rhoma Dwi Aria Yuliantri menyimpulkan, Poetri Hindia menjadi wadah para jurnalis perempuan generasi awal (permulaan abad ke-20) untuk menempa diri.
Simpulan ini bukan tanpa alasan karena, sekali lagi, Poetri Hindia merupakan surat kabar pertama yang diperuntukkan bagi kaum perempuan, bahkan juga dikelola langsung oleh para wanita hebat.
Dalam susunan redaksi, tercantum dalam Poetri Hindia Nomor 1 Tahun ke-3, 1910, berjajar srikandi penyokong koran ini yang berasal dari berbagai daerah, antara lain: R.A. Tjokroadikoesoemo (Cianjur), R.A. Hendraningrat (Tangerang), Raden Fatimah (Bogor), Siti Habiba (Bogor), S.N. Norhar Salim (Bukittinggi), juga R.A. Mangkoedimedjo (Yogyakarta).
Ada pula barisan redaktur dan jurnalis perempuan Poetri Hindia, yakni R.A. Arsad (Batavia), Raden Sinta Mariana (Cilegon), M. Loro Nasiah Rogoatmodjo (Bogor), R.A. Soetanandika (Ciamis), R.A. Pringgowinoto (Rembang), R.A. Tirtoadiwinoto (Ponorogo), Soeida (Makassar), dan Toean Poetri Radja Fatimah (Maluku).
Tirto Adhi Soerjo sendiri bertindak sebagai direktur. Poetri Hindia memang bernaung di bawah perusahaan media yang dimiliki Tirto, yakni N.V. Javasche Boekhandel en Drukkerij en Handel in Schrijfbohoeften “Medan Prijaji”.
Bumi Perempuan Poetri Hindia
Kehadiran Poetri Hindia tak pelak menjadi kejutan di tengah mulai maraknya pers bumiputra yang didominasi oleh media-media bercorak maskulin. Apresiasi ketakjuban tidak hanya muncul dari tanah air, dari luar negeri pun turut menyambut lahirnya koran pertama yang muncul dari, oleh, dan untuk perempuan Indonesia ini.
Salah satunya adalah Nieuw Controul, surat kabar terbitan ’s-Gravenhage, Belanda, yang beberapa kali memuat laporan dan informasi tentang Poetri Hindia. Pada edisi tutup tahun 1909, misalnya, seperti dikutip dari buku Sang Pemula (2004: 113) karya Pramoedya Ananta Toer, Nieuw Controul menulis:
“Berkala tengah-bulanan ini bukan asing lagi bagi pembaca kita, sudah beberapa kali kita memberitakan tentangnya. Ia dibaca dari Sabang sampai Merauke. Pembaca wanitanya tidak hanya di Jawa dan Madura, juga di Sumatera, Borneo, Celebes, dan Maluku, bahkan di Kesultanan Johor dan negeri-negeri Melayu di Semenanjung Malaka.”
Poetri Hindia bahkan membuka perwakilan di Belanda. Sebagaimana disebutkan dalam Majalah Pertiwi (1990) terbitan Yayasan Gema Pratasa, kantor Poetri Hindia di Belanda dipimpin oleh J.J. Meijer, mantan asisten residen di Jawa, yang juga bertindak sebagai redaktur (hlm. 23).
Terbit berkala dua kali dalam sebulan atau dua mingguan, Poetri Hindia hadir dengan jumlah halaman antara 10-15 lembar tiap edisinya. Koran perempuan sudah ini menerapkan strategi marketing yang menyebar ke berbagai daerah untuk mempermudah akses para pembacanya.
Sebagian besar isi Poetri Hindia mengangkat hal-ihwal yang berkaitan dengan kebutuhan kaum perempuan, baik remaja putri maupun kalangan ibu-ibu, seperti rubrik “Perempuan Hindia”, “Perawatan Kecantikan”, “Pemeliharaan Anak”, juga banyak artikel seputar tips dan etika dalam berkeluarga. Selain itu, ada pula rubrik cerita pendek, hikayat, serta artikel-artikel lain yang bersifat hiburan.
Meski Poetri Hindia belum banyak berbicara kesadaran perempuan sebagai subjek dan sebagai pelaku pergerakan, keberadaan para perempuan dalam media ini menunjukkan mereka punya peran publik: sebagai pewarta.
Keistimewaan Poetri Hindia lainnya adalah, ungkap M. Rodhi As’ad lewat tulisan bertajuk “Tirto Adhi Soerjo: Pengguncang Lelap Bumiputera” dalam buku 7 Bapak Bangsa (2008) suntingan Iswara N. Raditya, surat kabar ini sudah menggunakan bahasa Melayu pasar alias lingua franca, atau yang oleh Tirto Adhi Soerjo disebut sebagai bahasa “bangsa-bangsa terprentah” (hlm. 50).
Tulisan dalam bahasa Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, serta bahasa-bahasa daerah, memang boleh dikirimkan, namun redaksi akan menerjemahkannya ke dalam bahasa Melayu. Kendati begitu, atas saran Tirto Adhi Soerjo, ada beberapa tulisan yang tetap tampil dalam Bahasa Belanda. Tirto tampaknya menginginkan agar pesan yang dibawa Poetri Hindia juga bisa sampai kepada orang-orang Belanda.
Berkat manajemen yang baik, jaringan yang luas, juga uang hadiah dari Ratu Emma, Poetri Hindia mampu bertahan cukup lama di belantika pers tanah air. Namun, nafas surat kabar ini akhirnya terhenti pada perjalanan tahun 1912.
Matinya Poetri Hindia disebabkan karena Tirto Adhi Soerjo selaku pemilik perusahaan yang memayungi media perempuan ini, terjerat beberapa kasus akibat tulisan-tulisannya yang kerapkali menyerang kalangan pejabat kolonial maupun pejabat pribumi. Tirto diajukan ke meja hijau pada akhir 1913 lantas diasingkan ke Maluku.
Seiring menghilangnya Tirto Adhi Soerjo, Poetri Hindia berikut seluruh surat kabar di bawah naungan N.V. "Medan Prijaji", berhenti terbit dan tidak sanggup bangkit kembali hingga sang pemula wafat dalam kenestapaan pada 7 Desember 1918.
==========
Dalam rangka satu abad meninggalnya Tirto Adhi Soerjo pada 7 Desember 1918, kami menayangkan serial khusus mengenai riwayat dan kehidupannya dalam dunia pers. Serial ini terdiri dari 4 artikel, ditayangkan setiap hari mulai Jumat (7/12/2018) hingga Senin (10/12/2018). Tulisan ini merupakan artikel ketiga.
Tirto Adhi Soerjo adalah pelopor pers modern yang digerakkan kaum bumiputra. Sebagai pengakuan atas peran besarnya, pemerintah RI menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional pada 2006. Nama dan perjuangannya juga memberi inspirasi bagi media ini, Tirto.id.
Editor: Maulida Sri Handayani