Menuju konten utama

Kontroversi Tiada Akhir Bhayangkara FC

Dari sejarah kelahiran hingga pencapaiannya sekarang, Bhayangkara FC tak putus dirundung kontroversi.

Kontroversi Tiada Akhir Bhayangkara FC
Pesepak bola Bhayangkara FC melakukan selebrasi dengan menjunjung pelatih mereka, Simon Mc Menemy usai mengalahkan Madura United dengan skor 1-3 dalam laga Gojek Traveloka Liga 1 di Stadion Gelora Bangkalan (SGB) Bangkalan, Rabu (8/11/2017). ANTARA FOTO/Saiful Bahri

tirto.id - “Indonesian Super Circus League. Zimzalabimmmmm…. Who’ll win????”, begitu ungkapan penyerang asing Bali United, Sylvano Comvalius, tak lama setelah Bhayangkara FC mengalahkan Madura United dengan skor 3-1 (8/11) lewat akun Instagram-nya.

Di tempat lain, dalam rentang waktu yang tak jauh berbeda, gelandang Persija Jakarta, Ramdani Lestaluhu, menulis hal yang sama-sama mempertanyaan kredibilitas kompetisi. Melalui akun Twitter-nya, ia berkata: “Kok aneh ya juaranya? Apa cuma perasaan aja?”.

Tak hanya Comvalius dan Ramdani, jika menelusuri satu per satu akun pribadi para pesepakbola Liga 1 Indonesia, semuanya cukup skeptis dengan kemenangan Bhayangkara FC malam itu. Mayoritas para pemain Liga 1 merasa dicurangi dengan keberhasilan Bhayangkara FC.

Atas kemenangan melawan Madura United, Bhayangkara FC selangkah lagi juara Liga 1 2017. Tapi prestasi tersebut mereka dapat dengan cara yang penuh dengan kontroversi. Bahkan menilik perjalanan klub berjuluk “The Guardian” tersebut sampai di titik ini, wajar banyak pihak skeptis.

Baca juga: Budaya Sepakbola Indonesia yang Terbaik di Asia Tenggara

Kontroversi Tiga Poin Gratis dari Komdis untuk Bhayangkara FC

Ketika publik sepakbola Indonesia menunggu putusan laga Persija Jakarta vs Persib Bandung (3/11) yang tersaji dengan sejumlah kontroversi, putusan Komdis PSSI yang sudah bocor pada Selasa (7/11) (seharusnya rilis Kamis) justru menimbulkan kontroversi anyar. Bhayangkara FC mendapatkan tiga poin secara gratis dari Komdis PSSI.

Tiga poin yang didapat Bhayangkara FC itu berkaitan dengan protes yang mereka ajukan pada Komdis beberapa hari sebelumnya. Saat menghadapi Mitra Kukar, di hari yang sama dengan laga Persija melawan Persib, Bhayangkara menuding lawannya itu memainkan pemain tidak sah, yakni Mohamed Sissoko.

Klaim Bhayangkara FC, Sissoko harusnya tidak boleh tampil melawan Bhayangkara karena gelandang Mitra Kukar tersebut sedang menjalani hukuman dua pertandingan atas kartu merah yang ia dapatkan pada laga melawan Borneo FC (23/10). Hukuman Sissoko ini sesuai dengan surat putusan Komdis bernomor 112/L1/SK/KD-PSSI/X/201 tertanggal 28 Oktober.

Baca juga: Bhayangkara FC Dapat 5 Poin dalam Sehari

Sejatinya memainkan Sissoko yang dijatuhi hukuman Komdis merupakan kesalahan yang sangat fatal untuk Mitra Kukar dan sangat layak dijatuhi hukuman. Tapi masalahnya, Mitra Kukar tak menerima putusan Komdis tersebut. Lebih jauh, pada hari pertandingan melawan Bhayangkara, tidak ada nama Sissoko dalam daftar pemain yang dilarang tampil (Nota Larangan Bermain). Bahkan tak ada teguran dari pengawas pertandingan meski Mitra Kukar menyertakan Sissoko dalam Daftar Susunan Pemain (DSP) dua jam sebelum laga.

“Kami sudah komunikasikan dengan match commissioner sebelum bertanding dengan menyerahkan daftar pemain. Sissoko kami masukkan juga dalam susunan itu dan tidak ada masalah. Karena tidak ada masalah makanya kami berani mainkan dia [Sissoko],” ujar Suwanto, Direktur Operasional Mitra Kukar pada Goal Indonesia. “Tapi kalau ada protes dari match commissioner ketika itu melarang Sissoko, pasti kami tidak akan memasangnya.”

Kenyataannya, dalam NLB atau daftar pemain yang dilarang bertanding pada laga Mitra Kukar vs Bhayangkara, seperti yang sudah beredar di media sosial, memang tidak ada nama Sissoko. Hanya ada dua pemain dalam daftar tersebut, yakni Herwin Tri Saputra (Mitra Kukar) dan Indra Kahfi (Bhayangkara). Tak ada nama Sissoko seperti yang dituturkan pihak Mitra Kukar.

Maka cukup jelas di sini bahwa Mitra Kukar, selain tidak merasa mendapatkan salinan putusan Komdis, merasa bahwa Sissoko adalah pemain yang sah di laga melawan Bhayangkara FC. Sissoko pun kemudian dimainkan selama 90 menit pada laga yang berakhir 1-1 tersebut.

Baca juga:

Tapi Komdis bergeming dengan putusannya. Meski Komdis masih menantikan banding, Mitra Kukar tetap dianggap secara sengaja memainkan Sissoko yang seharusnya menjalani hukuman dua pertandingan (melawan Bhayangkara dan Persiba Balikpapan). Kesebelasan berjuluk Naga Mekes itu pun dijatuhi hukuman kalah 0-3 (tiga poin gratis untuk Bhayangkara) dan denda 100 juta rupiah.

Putusan Komdis terhadap hukuman untuk Mitra Kukar ini diumumkan pada Selasa (7/9). Tak lama setelah pengumuman tersebut, klasemen Liga 1 pada web resmi langsung berubah. Bhayangkara FC yang awalnya menempati posisi kedua dengan 63 poin, langsung ke puncak klasemen dengan 65 poin (satu poin melawan Mitra Kukar diganti tiga poin). Meski poin mereka sama dengan Bali United, Bhayangkara unggul head-to-head karena dua kali skuat asuhan Simon McMenemy tersebut menjungkalkan Bali United musim ini.

Saat putusan dijatuhkan, kecurigaan langsung menyeruak. Pertama, putusan itu diumumkan satu hari setelah kemenangan Bali United melawan PSM Makassar (Rabu, surat resmi rilis Kamis), yang membuat Bali United berpeluang besar menjuarai Liga 1.

Putusan kalah 3-0 untuk Mitra Kukar itu sudah mencuat ketika Bhayangkara hendak menghadapi Madura United di hari yang sama. Bahkan setelah mengalahkan Madura United, para pemain Bhayangkara FC tampak melakukan perayaan kecil seolah mereka telah memastikan gelar juara.

Sementara itu, kedua, jika pun Mitra Kukar bersalah, hukuman kalah 3-0 patut dipertanyakan. Karena jika mengacu Football Association atau federasi sepakbola di Inggris, untuk masalah serupa hukuman yang ada justru pengurangan poin untuk klub yang melakukan kesalahan, bukan hukuman poin penuh untuk klub yang menjadi lawannya.

Baca juga: Budaya Membakar Loket dalam Sepakbola Indonesia

Hal ini pernah terjadi pada 2010 lalu. Di Divisi Championship (divisi dua), Hartlepool berhasil mengalahkan Brighton Albion dengan skor 2-0. Tapi ketika itu Hartlepool memainkan Gary Liddle, pemain yang seharusnya menjalani hukuman akumulasi kartu lantaran sudah mengoleksi 10 kartu kuning. Didakwa bersalah, poin Hartlepool dikurangi tiga, sementara Brighton tidak mendapatkan tiga poin seperti yang didapat Bhayangkara FC.

Dalam regulasi FA sendiri, seperti yang tertuang pada pasal 6 ayat 9, hukuman untuk klub yang memainkan pemain tidak sah adalah pengurangan poin maksimal 12 poin dan denda, tidak ada menyebut kalah 3-0. Bahkan dalam regulasi itu ada opsi tanding ulang.

Di beberapa kejadian lain sebenarnya terdapat hukuman kalah 3-0 (walk-out) untuk tim yang memainkan pemain tidak sah. Itu pernah dialami Real Madrid saat memainkan Denis Cheryshev di Copa del Rey 2015. Atau Bolivia yang memainkan pemain naturalisasi yang belum disahkan FIFA di ajang kualifikasi Piala Dunia. Tapi hukuman kalah 3-0 (walk-out) itu diberikan pada ajang cup, bukan liga seperti yang terjadi di Inggris.

Memicu Kontroversi Sejak 2010

Di luar kecurigaan dan kontroversi di atas, sepak terjang Bhayangkara FC di sepakbola Indonesia memang lekat dengan kontroversi.

Bhayangkara FC merupakan pendatang baru di kancah sepakbola Indonesia. Nama Bhayangkara FC baru berkompetisi pada Indonesia Soccer Championship 2016. Walau begitu, perjalanan mereka untuk nampang di kompetisi tertinggi Indonesia dimulai sejak 2010 lalu.

Cikal bakal Bhayangkara FC adalah dualisme Persebaya pada 2010, yang juga merupakan bagian dari perseteruan PSSI dan KPSI (Komisi Penyelamat Sepakbola Indonesia) pada 2012. Saat itu, Persebaya ada dua dan bermain di dua kompetisi berbeda, Persebaya 1927 dan Persebaya Surabaya yang promosi dari Divisi Utama.

Persebaya 1927 adalah Persebaya yang asli, yang sebelumnya bernama Persebaya, yang memutuskan bermain di Liga Prima Indonesia (LPI). Sementara itu Persebaya DU adalah Persikubar Kutai Barat, kesebelasan asal Timur Kalimantan, yang disulap menjadi Persebaya.

Ketika itu, Persikubar tidak mendapatkan hak untuk tampil di Divisi Utama karena kandang mereka, Stadion Swalas Gunaq, dinyatakan tidak layak oleh PSSI. Namun alih-alih pindah kandang, lewat surat sakti yang dikeluarkan La Nyalla Mataliti (Ketua Umum PSSI saat itu), Persikubar justru diubah menjadi Persebaya baru. Para pemain yang membela Persebaya baru pun mayoritas merupakan pemain Persikubar.

Baca juga: Mengurut Sengkarut Dualisme Persebaya

Infografik Asal Mula Bhayangkara FC Rev

Hal itu jelas membuat murka Bonek, pendukung Persebaya yang asli. Tidak hanya Bonek, pendukung Persikubar pun mulai khawatir Persikubar hanya tinggal nama. Ini dikarenakan dalam pemakaian hak Persikubar di kompetisi resmi, perjanjian awal yang hanya tiga tahun otomatis diperpanjang tiga tahun lagi jika Persebaya palsu itu berhasil promosi ke divisi teratas liga Indonesia, Indonesia Super League.

Dengan kekuatan finansial yang mumpuni dan dukungan dari pemegang otoritas tertinggi liga, perjalanan Persebaya bin Persikubar tersebut terbilang mulus dan berhasil sampai ke divisi teratas Liga Indonesia, Indonesia Super League, pada 2014. Di sisi lain, pasca dualisme PSSI terselesaikan, Persebaya 1927 atau Persebaya yang asli, tak berkompetisi di kompetisi mana pun (LPI tak dilanjutkan) karena PSSI lebih menganggap keabsahan Persebaya bin Persikubar.

Selama Persebaya palsu bergentayangan di sepakbola Indonesia, selama itu pula Bonek berjuang mengembalikan Persebaya asli ke habitat aslinya. Alhasil selama berkompetisi, Persebaya palsu tak punya pendukung yang banyak, meski mereka menyertakan Surabaya dalam nama mereka, salah satu kota besar di Indonesia dengan basis pendukung yang masif.

Di tahun yang sama, Pengadilan Niaga memenangkan PT Persebaya Indonesia yang menaungi Persebaya asli, dalam penggunaan nama, merek dan logo Persebaya Surabaya. Gugatan PT Mitra Muda Intri Berlian (MMIB) yang menaungi Persebaya bin Persikubar pun ditolak. Persebaya 1927 kembali menjadi Persebaya Surabaya.

Kemenangan Persebaya asli tak berarti Persebaya palsu bubar, mereka berganti nama untuk tetap bisa berkompetisi. Beberapa kali perubahan nama dilakukan saat mereka mengikuti kompetisi yang mengisi kekosongan liga karena Indonesia sempat dibekukan FIFA, dimulai dari Persebaya Surabaya United, Bonek FC hingga Surabaya United.

Baca juga:

Di Piala Bhayangkara 2016, muncul pendatang anyar bernama PS Polri, kesebelasan yang mewakili polisi sang penyelenggara turnamen. PS Polri ini merupakan bagian dari sejarah terbentuknya Bhayangkara FC. Karena di tahun yang sama, Indonesia Soccer Championship digelar, dan para pesertanya merupakan kesebelasan-kesebelasan yang sebelumnya di ISL 2015 yang terhenti.

Ketika itu, PS Polri yang ketagihan berkompetisi menggunakan hak tampil Surabaya United. Keduanya merger dan kemudian berganti nama menjadi Bhayangkara Surabaya United. Di tengah kompetisi namanya kembali berubah, yakni menjadi Bhayangkara FC yang masih dipertahankan hingga sekarang ketika tampil di Liga 1 2017.

Tapi yang menjadi kontroversi lainnya adalah, tak seperti PS TNI yang membeli lisensi Persiram Raja Ampat atau Madura United yang membeli hak Persipasi Bandung Raya, Bhayangkara FC tetap menggunakan hak tampil Surabaya United di Liga 1. Padahal, Persebaya Surabaya yang asli, yang namanya sempat dicatut Surabaya United, sudah kembali ke pangkuan PSSI meski harus merintis dari Liga 2. Dari situlah cap “Klub Siluman” melekat kepada Bhayangkara FC.

Noda yang Melumuri Pencapaian di Lapangan

Sebenarnya, Bhayangkara FC menunjukkan penampilan meyakinkan di lapangan. Dipimpin oleh mantan pelatih timnas Filipina, Simon McMenemy, juga diperkuat sederet pemain bintang seperti Evan Dimas, Otavio Dutra, hingga Firman Utina, penampilan “The Guardian” terbilang apik dan cukup layak berada di papan atas Liga 1 2017.

Hanya saja dengan sejumlah kontroversi, khususnya di akhir-akhir kompetisi, penampilan impresif Bhayangkara FC tersebut menjadi ternoda karena terkesan sedang diupayakan menjadi juara. Apalagi setelah kasus Mitra Kukar-Bhayangkara yang berbuah tiga poin untuk Bhayangkara FC dari Komdis.

Pada laga melawan Madura United, usai mengetahui gelar liga semakin mendekat, Bhayangkara pun tampil dominan dan percaya diri. Apalagi ketika pertandingan berlangsung, mereka unggul jumlah pemain. Selain ada tiga pemain Madura United dikartu merah pada laga tersebut, para pemain Madura United sendiri merasakan ada ancaman selama pertandingan, seperti yang dibeberkan salah seorang pemainnya dalam situs resmi mereka.

Selain itu, meski berstatus tim tamu, Bhayangkara seperti tampil di hadapan pendukungnya sendiri. Hal ini karena mereka didukung penuh oleh polisi-polisi yang “mendukung” penuh The Guardian dengan memenuhi tribun VVIP, meski laga tersebut sebenarnya tak boleh disaksikan oleh penonton. Tidak jelas juga di mana batasannya yang mana polisi dan mana suporter.

Yang pasti, suporter Madura United sendiri tidak bisa mendukung kesebelasan kesayangannya. Mereka bahkan gagal menggelan nonton bareng di halaman stadion karena dihalau aparat keamanan.

Semakin komplitlah kontroversi yang menyertai Bhayangkara FC.

Baca juga artikel terkait LIGA 1 2017 atau tulisan lainnya dari Ardy N Shufi

tirto.id - Olahraga
Reporter: Ardy N Shufi
Penulis: Ardy N Shufi
Editor: Zen RS