Menuju konten utama
Mozaik

Kebakaran Israel: Tirai Pinus Menutupi Sejarah, Menuai Bencana

Bahan bakar yang melimpah bagi api di Israel hari ini salah satu faktornya adalah warisan dari pilihan-pilihan politik, ideologi, dan estetika di masa lalu.

Kebakaran Israel: Tirai Pinus Menutupi Sejarah, Menuai Bencana
Api melahap pepohonan selama kebakaran hutan di dekat kota Bet Shemesh di Israel tengah pada tanggal 30 April 2025. (Foto oleh Ahmad GHARABLI / AFP)

tirto.id - Akhir April hingga awal Mei 2025, Israel dilanda gelombang panas ekstrem. Suhu melonjak, kelembaban tinggi, dan angin kencang bertiup tanpa henti. Di tengah kondisi ini, api mulai berkobar di perbukitan sebelah barat Yerusalem, dekat Hutan Eshtaol, dan di sepanjang jalan raya yang menghubungkan Yerusalem dengan Tel Aviv.

Api menyebar dengan kecepatan yang mengerikan, membakar ribuan hektar lahan hutan. Langit Yerusalem berubah kelabu oleh asap tebal.

Pemerintah Israel segera menyatakan status darurat nasional. Ribuan warga dari belasan kota dan desa dievakuasi. Skala kebakaran yang begitu besar hingga beberapa pejabat dan media menyebutnya sebagai "yang terbesar sepanjang sejarah Israel".

Israel terpaksa meminta bantuan internasional. Peralatan pemadam kebakaran dari berbagai negara dikirim untuk membantu menjinakkan api.

Klaim bencana kebakaran "terbesar sepanjang sejarah" ini segera dibayangi oleh tragedi masa lalu. Ingatan masyarakat langsung memperingati kebakaran dahsyat di Gunung Karmel pada bulan Desember 2010.

Selama empat hari, api melalap sekitar 50 kilometer persegi (12.000 hektare) hutan, sebagian besar adalah hutan pinus Aleppo yang ditanami. Bencana Karmel merenggut 44 nyawa, menjadikan bencana sipil paling mematikan dalam sejarah Israel saat itu.

Penyebabnya? Kelalaian seorang remaja yang tidak mematikan bara arang nargila dengan benar. Selain itu, kebakaran hebat pada tahun 2016 juga membakar area yang bahkan lebih luas dari kebakaran Karmel, mencapai 130.000 dunam (32.000 hektare) di berbagai wilayah.

Fakta bahwa kebakaran besar seperti yang terjadi pada tahun 2025 ini selalu dibandingkan dengan bencana sebelumnya menunjukkan sebuah pola yang nyaris sama. Bencana besar seolah menjadi tolok ukur bagi bencana berikutnya, sebuah normalisasi katastrofe.

Apakah kebakaran hebat ini semata-mata akibat cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim? Atau kelalaian manusia dan potensi pembakaran sengaja yang sering terjadi dalam konteks konflik? Atau apakah ada akar persoalan yang lebih dalam, tersembunyi di balik pilihan lanskap dan jenis pepohonan yang telah mendominasi wilayah ini selama lebih dari satu abad?

Mimpi Hutan Eropa di Tanah Palestina

Narasi yang sering digaungkan oleh para pionir Zionis pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 adalah tentang sebuah tanah yang "terlantar" dan "kosong". Mereka menggambarkan Palestina sebagai wilayah yang gundul, berbatu, sebagian berawa, nyaris tanpa pepohonan, sebuah lanskap yang "menjijikkan dan suram" akibat pengabaian selama berabad-abad di bawah kekaisaran Utsmaniyah .

Kontras dengan gambaran ini adalah visi para pendiri gerakan Zionis: sebuah tanah air yang hijau, subur, dan produktif bagi bangsa Yahudi yang kembali.

Untuk mewujudkan visi ini, sebuah instrumen kunci didirikan pada Kongres Zionis ke-5 di Basel, Swiss, tahun 1901: Keren Kayemeth LeYisrael (KKL), yang kemudian dikenal dalam bahasa Inggris sebagai Jewish National Fund (JNF).

Misi utama JNF, sebagaimana digariskan sejak awal dan ditegaskan dalam anggaran dasar, adalah mengumpulkan dana dari komunitas Yahudi di seluruh dunia untuk membeli tanah di Palestina (saat itu bagian dari kekaisaran Utsmaniyah, kemudian Mandat Britania).

Tanah ini dimaksudkan untuk dimiliki sebagai "milik abadi bangsa Yahudi", bukan untuk dijual kembali, melainkan disewakan secara eksklusif untuk organisasi dan pengembangan Yahudi.

Pembelian tanah pertama dilakukan pada tahun 1903 di Hadera (sebidang lahan seluas 50 hektare hadiah dari Isaac Leib Goldberg), diikuti oleh akuisisi di dekat Danau Galilea dan Ben Shemen pada tahun-tahun berikutnya.

Sejak awal, aktivitas JNF tidak terbatas pada pembelian tanah. Aforestasi atau penanaman hutan dengan cepat menjadi komponen integral dari misinya. Dimulai dengan proyek penanaman kebun zaitun di Hulda untuk mengenang Theodor Herzl pada tahun 1905 dan pembentukan "Dana Pohon Zaitun", JNF segera memperluas program penghijauannya secara masif.

kebakaran hutan israel

Seorang petugas pemadam kebakaran Israel membantu memadamkan kebakaran hutan di dekat Biara Latrun di Israel tengah, pada 1 Mei 2025. Tim pemadam kebakaran Israel berjuang melawan kebakaran hutan di dekat Yerusalem untuk hari kedua pada 1 Mei, dengan polisi melaporkan pembukaan kembali beberapa jalan utama yang telah ditutup. (Foto oleh Menahem Kahana / AFP)

Pada tahun 1935, JNF telah menanam 1,7 juta pohon di lahan seluas 1.750 hektare. Tujuan aforestasi ini bersifat ganda. Secara praktis, ini adalah bagian dari upaya reklamasi lahan--mengeringkan rawa-rawa seperti di Lembah Hula untuk menjadikan lahan pertanian, mengelola sumber daya udara, dan menciptakan lanskap yang dianggap "produktif".

Namun yang tak kalah pentingnya adalah dimensi simbolis dan politisnya. Menanam pohon menjadi cara untuk menegaskan klaim kepemilikan dan kehadiran Yahudi di tanah tersebut, mengubah lanskap secara fisik sebagai tanda “penebusan” tanah dari keterabaian.

Di balik upaya penghijauan ini, terselip pula sebuah aspirasi, sebuah "mimpi Eropa". Para imigran Zionis awal yang sebagian besar berasal dari Eropa, mendambakan lanskap yang familier, yang mengingatkan mereka pada hutan-hutan di benua asal mereka.

Keinginan untuk membuat padang gurun berbunga bukan hanya soal ekologi,tetapi juga tentang menciptakan rasa "rumah" dan secara visual mengubah lingkungan yang terasa asing.

Pilihan jenis pohon di kemudian hari, terutama dominasi pinus Eropa, tampaknya juga dipengaruhi oleh keinginan untuk mereplikasi estetika lanskap Eropa ini, sekaligus secara implisit menghapus atau meminggirkan vegetasi asli Palestina yang mungkin dianggap kurang menarik atau kurang modern.

Dengan demikian, terlihat jelas hubungan simbiosis antara akuisisi tanah dan aforestasi dalam strategi JNF. Keduanya bukanlah aktivitas yang terpisah, melainkan saling memperkuat.

Penanaman berfungsi sebagai justifikasi dan konsolidasi atas pohon tanah yang dibeli, menandai transformasi fisik wilayah tersebut di bawah kendali baru, menyediakan lapangan kerja dan sumber daya bagi permukiman baru, dan, seperti yang akan dibahas lebih lanjut, menjadi alat untuk menutupi jejak sejarah yang tidak diinginkan setelah tahun 1948.

Narasi "penghijauan" dan "kepedulian lingkungan" yang dibangun JNF sering kali menyamarkan fungsi politis ini: aforestasi sebagai instrumen penting dalam proyek kolonisasi dan pembentukan negara.

Penanaman Pinus Secara Massal

Dalam proyek aforestasi skala besar yang dijalankan JNF, satu spesies pohon mendominasi lanskap Israel selama beberapa dekade, yaitu Pinus Aleppo, atau secara lokal sering disebut Pinus Yerusalem (Pinus halepensis).

Spesies ini menjadi pilihan utama karena dianggap memiliki sejumlah keunggulan: pertumbuhannya relatif cepat, mampu bertahan dalam kondisi kering--meskipun klaim ini perlu dikaji lebih kritis dalam konteks monokultur skala besar--, dan dianggap cocok untuk ditanam secara massal di lahan-lahan marginal atau berbatu yang tidak ideal untuk pertanian.

JNF menanam jutaan pohon pinus tersebut, mengubah secara drastis perbukitan gundul menjadi hamparan hutan konifera. Hingga kini, Pinus halepensis masih menjadi pohon paling umum di hutan-hutan yang dikelola KKL-JNF.

Peran hutan pinus JNF menjadi semakin signifikan dan kontroversial setelah Peristiwa Nakba (malapetaka) pada tahun 1948, yang merujuk pada pengusiran massal ratusan ribu warga Palestina dari rumah dan tanah mereka selama perang Arab-Israel pertama.

Sejak saat itu, penanaman pohon, terutama pinus yang cepat tumbuh, secara sistematis digunakan sebagai alat untuk menutupi lebih dari 500 desa Palestina yang dihancurkan dan dikosongkan.

Hutan-hutan ini berfungsi ganda: secara fisik menyembunyikan bukti keberadaan desa-desa tersebut dan hambatan atau menghalangi kembalinya para pengungsi Palestina ke tanah leluhur mereka.

Internasional Jewish Anti-Zionist Network (IJAN) melaporkan contoh nyata dari praktik ini adalah "British Park", yang didanai oleh cabang JNF Inggris pada tahun 1950-an dan ditanam di Desa Ajjur dan Zakariyya. Contoh lainnya adalah "Canada Park", yang sebagian besar terletak di wilayah Tepi Barat yang diduduki (di atasnya terdapat Desa Imwas, Yalo, dan Beit Nuba), namun dipromosikan oleh JNF Kanada sebagai taman di Israel.

Hutan-hutan tersebut menjadi semacam tirai hijau yang menyembunyikan sejarah kelam pengungsian dan pengusiran.

kebakaran hutan israel

Warga dievakuasi dari jalan raya saat terjadi kebakaran hutan di dekat kota Bet Shemesh di Israel tengah pada 30 April 2025. (Foto oleh Ahmad GHARABLI / AFP)

Praktik itu menjadikan kontras antara pohon pinus yang ditanam secara massal, dengan pohon zaitun vegetasi asli yang telah dibudidayakan di Palestina selama ribuan tahun.

Pohon zaitun bukan sekadar tanaman, ia adalah simbol mendalamnya identitas, ketahanan, warisan budaya, dan keabadian bangsa Palestina dengan tanahnya. Terdapat laporan bahwa dalam proses "penghijauan" ala JNF dan ekspansi permukiman, banyak pohon zaitun tua milik warga Palestina yang dicabut, dirusak, atau digantikan oleh pinus dan spesies lainnya.

Perbedaan antara kedua pohon ini tidak hanya bersifat simbolis, tetapi juga ekologis. Pinus Aleppo, meskipun kadang disebut asli, keberadaan alaminya sangat terbatas di Israel modern; dominasinya saat ini adalah hasil penanaman massal.

Sebaliknya, pohon zaitun adalah bagian integral dari ekosistem Mediterania asli. Ia dikenal lebih tahan api.

Sementara Pinus Aleppo sangat mudah terbakar karena kandungan resin yang tinggi dan akumulasi jarum kering di lantai hutan. Selain itu, pohon ini memiliki mekanisme serotiny—kerucutnya tetap tertutup hingga panas ekstrem dari kebakaran yang memicunya untuk membuka dan melepaskan benih.

Ketika api menyala, ia dapat menyebar dengan sangat cepat dan luas tanpa banyak hambatan. Selain risiko kebakaran, hutan monokultur juga lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit.

Jurnal CABI Digital Library menyebutkan wabah kutu sisik pinus Israel (Matsucoccus josephi) pernah menyerang hebat hutan Pinus Aleppo berusia 40 tahunan pada awal 1970-an. Wabah ini menyebabkan kematian pohon secara massal dan memaksa KKL-JNF untuk beralih menanam spesies pinus lain yang dianggap lebih resisten, seperti Pinus Turki (Pinus brutia) sebagai penggantinya.

Hutan monokultur juga secara inheren memiliki keanekaragaman hayati yang rendah, karena kurangnya variasi habitat dan sumber makanan bagi spesies lain.

Oleh karena itu, aforestasi JNF, khususnya dengan pinus, melakukan tindakan penghapusan ganda. Secara fisik, ia menutupi masa lalu Palestina. Secara ekologis, ia menggantikan lanskap asli Mediterania, termasuk kebun-kebun zaitun yang sarat makna, dengan hutan monokultur non-asli yang lebih sesuai dengan preferensi estetika dan kebutuhan praktis para pendatang baru.

Solusi jangka pendek untuk "menghijaukan" tanah ternyata menjadi bagian dari masalah jangka panjang.

Menuai Badai Api

Kiwari, benang merah antara masa lalu dan masa kini menjadi semakin jelas. Keputusan-keputusan yang diambil oleh JNF/KKL lebih dari seabad yang lalu, didorong oleh campuran motivasi politik (pembelian dan kontrol tanah), ideologis (Zionisme, "penebusan" tanah), dan estetika ("mimpi Eropa", lanskap hijau), secara langsung membentuk lanskap fisik Israel saat ini.

Menariknya, pemilihan pohon yang sarat makna ideologis di Israel tidak terbatas pada pinus. Penanaman pohon Gharqad (Nitraria retusa atau Lycium shawii), yang disebut dalam beberapa hadis Islam sebagai satu-satunya pohon yang akan melindungi orang Yahudi pada pertempuran akhir zaman, juga dilaporkan dilakukan oleh individu dan organisasi seperti JNF, meskipun dalam skala yang jauh lebih kecil.

Hal tersebut menunjukkan bahwa pertimbangan politis, ideologis, dan bahkan eskatologis berperan dalam pemilihan spesies tanaman di wilayah tersebut, melampaui pertimbangan ekologi murni.

Pada akhirnya, kerentanan lanskap Israel terhadap kebakaran besar bukanlah semata fenomena alam yang diperkuat oleh perubahan iklim. Ia adalah sebuah kerentanan yang dikonstruksi secara historis.

Ia dibangun lapis demi lapis selama lebih dari satu abad melalui keputusan-keputusan spesifik tentang penggunaan lahan dan pemilihan spesies pohon. Bahan bakar yang melimpah bagi api hari ini adalah warisan langsung dari pilihan-pilihan politik, ideologis, dan estetika di masa lalu.

Perubahan iklim dan sumber penyalaan api hanyalah pemicu yang bekerja pada struktur kerentanan yang sudah tertanam dalam lanskap itu sendiri. Ini membingkai ulang isu kebakaran hutan dari sekadar masalah lingkungan atau iklim menjadi isu yang berakar kuat dalam sejarah lingkungan dan ekologi politik wilayah.

Baca juga artikel terkait KEBAKARAN atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Mozaik
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi