Menuju konten utama

Di Tengah Kasus Keracunan Berulang, Patutkah MBG Dilanjutkan?

Satu kejadian keracunan massal sudah bisa berarti kegagalan. Pemerintah perlu mengevaluasi dan indikator yang jelas jika ingin MBG berjalan dengan efektif.

Di Tengah Kasus Keracunan Berulang, Patutkah MBG Dilanjutkan?
Siswa menyantap makanan bergizi gratis di SDN Pasirkaliki Mandiri 2, Kota Cimahi, Jawa Barat, Selasa (29/7/2025). ANTARA FOTO/Abdan Syakura/YU

tirto.id - Dengan semakin bertambahnya target penerima Program Makan Bergizi Gratis (MBG), maka anggaran yang disiapkan pun makin melambung. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengungkap anggaran program unggulan Presiden Prabowo Subianto dan wakilnya, Gibran Rakabuming Raka itu, bakal mencapai Rp300 triliun pada 2026.

Tahun ini saja, pemerintah mencadangkan Rp100 triliun untuk mendukung jalannya program tersebut. Angka ini di luar anggaran yang telah dialokasikan sebesar Rp70 triliun oleh pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Kalau 82 juta [siswa sasaran program] akan mendapatkan itu, lebih dari Rp300 triliun [anggarannya],” kata Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dalam pidato di Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah, Rabu (13/8/2025).

Menurutnya, program ini memiliki potensi besar untuk melibatkan berbagai sektor, termasuk ekonomi syariah dan industri halal, mulai dari rantai pasok bahan pangan hingga distribusi ke sekolah-sekolah. “Value chain-nya kalau mau dibuat di-link-an dengan gerbang pesantri, value chain halal, kami sudah membuatkan programnya,” ujar Ani–panggilan Sri Mulyani.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu juga mengingatkan agar pengelolaan dana besar seperti program makan bergizi gratis tidak menimbulkan inefisiensi maupun moral hazard. “Kalau tidak menjaga amanah, Anda tidak hanya mencederai cita-cita Islam itu, tapi juga menzalimi orang yang paling perlu kita bela,” jelasnya.

Untuk tahun 2025, target awal MBG menyasar 17,9 juta penerima. Jumlah itu mencakup 15,5 juta anak sekolah dan 2,4 juta ibu hamil/menyusui serta balita. Alokasi dananya mencapai Rp71 triliun.

Namun, seiring dengan arahan Presiden Prabowo, penerima Program MBG ditargetkan mencapai 82,9 juta penerima yang dilayani oleh 32 ribu Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG)/dapur umum.

Masalahnya, keberlangsungan MBG ini diikuti dengan pemangkasan anggaran sana-sini. Pemerintah memotong anggaran kementerian/lembaga (K/L) sebesar Rp306,1 triliun untuk tahun 2025.

Akan tetapi, dengan anggaran gemuk dan upaya yang besar itu sayangnya belum mampu menjamin kualitas MBG.

Kasus keracunan akibat MBG tercatat terus berulang dan terbaru pada Agustus ini terjadi di Sleman. Sebanyak 178 siswa dari tiga sekolah di Kapanewon Mlati, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengalami gejala keracunan usai mengonsumsi MBG. Kabar terakhir jumlahnya bahkan tembus 212 siswa.

Ketiga sekolah yang siswanya mengalami gejala keracunan tersebut adalah SMP Muhammadiyah 1 Mlati (58 siswa), SMP Muhammadiyah 3 Mlati (90 siswa), dan SMP Pamungkas Mlati (30 siswa). Sementara tambahan datang dari SMP Negeri 3 Mlati.

Sementara pada Mei lalu, ratusan pelajar termasuk guru di Kota Bogor juga diduga keracunan makanan yang berasal dari program MBG, spesifiknya dari dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Bosowa Bina Insani.

Bernilai Jika Kesehatan Anak Terukur

Banyaknya kasus keracunan yang terekam buntut MBG yang disepelekan semakin menambah karut marut program ini. Saat sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (5/5/2025) misalnya, Prabowo menyatakan bahwa orang yang sakit karena MBG tidak mencapai 200 peserta.

Sementara, jumlah penerima MBG mencapai tiga juta orang. Artinya, menurut kepala negara, keberhasilan program MBG sudah mencapai 99,99 persen.

@officialtirtoid

Presiden Prabowo Subianto angkat soal kasus keracunan yang menimpa sejumlah pelajar usai mengonsumsi makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (5/5/2025). "Hari ini memang ada yang keracunan, yang keracunan sampai saat ini dari 3 koma sekian juta, kalau tidak salah di bawah 200 orang (yang keracunan)," ucap Prabowo. Prabowo mengungkapkan bahwa terdapat 5 pelajar keracunan yang sampai menjalani rawat inap. Ia menyebut persentase kasus keracunan makanan dari program MBG sekitar 0,005 persen. "Yang rawat inap hanya 5 orang. Jadi bisa dikatakan yang keracunan atau yang perutnya nggak enak sejumlah 200 orang, itu 200 dari 3 koma sekian juta kalau tidak salah adalah 0,005 persen. Berarti keberhasilannya adalah 99,99 persen," tuturnya. Prabowo menilai pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis secara keseluruhan berjalan dengan baik. Meski begitu, ia mengingatkan Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana, agar tidak merasa cepat puas dan tetap meningkatkan kualitas program. Prabowo juga mengapresiasi komitmen Kepala Badan Gizi Nasional dan seluruh jajaran yang menargetkan pelaksanaan program tanpa penyimpangan dan kesalahan. Ia menyadari, bahwa mencapai target tersebut bukanlah hal mudah, apalagi dalam kondisi operasional dapur yang melibatkan sekitar 50 orang pekerja di setiap titik. Penulis: Hasna Resq N Video editor: Muhammad Rilo Produser: Indana Zulfa #TirtoDaily#prabowo#makanbergizigratis#badangizinasional#presidenprabowo

♬ original sound - TirtoID - TirtoID

Padahal, kasus keracunan tidak bisa dan tidak boleh diabaikan. Peneliti Griffith University sekaligus Pengamat Kebijakan Kesehatan, Dicky Budiman, menjelaskan bahwa dalam kesehatan masyarakat, satu kejadian keracunan massal sudah berarti kegagalan sistem keamanan pangan atau food safety breach. Hal ini juga bisa menjadi indikasi lemahnya kontrol mutu.

“Di sisi lain catatan kritis saya adalah dalam konteks efisiensi fiskal. Artinya kalau Rp300 triliun itu, kalau saya tidak salah ya sekitar 10 persen dari APBN sektor kesehatan plus pendidikan–kurang lebih ya,” kata Dicky ketika dihubungi jurnalis Tirto, Kamis (14/8/2025).

"Dan nilainya akan worthy hanya jika outcome kesehatan anak itu terukur meningkat signifikan. Jadi bukan sekadar terserapnya anggaran,” tambah Dicky.

Ia mengatakan untuk melanjutkan MBG perlu ada evaluasi yang objektif. MBG tidak bisa hanya dilakukan dengan sekadar melanjutkan model yang sama.

Harus ada reformasi menyeluruh, yang meliputi mekanisme pengadaan, kontrol mutu dan pemantuan.

Artinya, tanpa tata kelola yang baik, anggaran besar tidak akan menjamin eksekusi MBG moncer. Berbasis pengalamannya, Dicky menilai, keberhasilan program berskala besar itu ditentukan oleh good governance. Hal itu berarti ada transparansi pengadaan, audit berkala, sampai pencegahan korupsi.

“Kemudian juga kapasitas distribusi. Cold chain-nya, waktu antar atau delivery time-nya. Juga rantai pasok bahan segar. Ini yang harus diperhatikan kalau bicara keberhasilan. Selain itu, standar dan penguasaan mutu dari produsen sampai penerima. Kemudian juga faktor keempat yang menentukan adalah kesiapan SDM. Ini yang masih jadi PR juga ya,” sambungnya.

Risiko anggaran besar tanpa kapasitas hanya akan berpotensi menimbulkan kebocoran, pemborosan, atau kualitas pangan dikompromikan demi kuantitas. Dicky menggarisbawahi soal semakin besar target penerima MBG, maka semakin kompleks pula risiko logistik dan pengawasan.

Perlu indikator yang jelas untuk ukur keberhasilan MBG

Program MBG memang sudah sepatutnya tak hanya berfokus pada target penerima dan penyerapan anggaran. Associate Professor Public Health Monash University Indonesia, Grace Wangge, mengatakan bahwa program pemberian makan siang di sekolah itu bukan program baru dan sudah tahunan dilakukan di negara lain.

“Program ini juga bukan program hanya dengan target jumlah penerima dan membagikan makanan, namun harus mencakup peningkatan status gizi dan kesehatan,” tutur Grace kepada Tirto, Kamis (14/8/2025).

Dengan mempertimbangkan nilai itu, indikator MBG bukan hanya jumlah yang menerima, tapi sampai ke ukuran yang jelas bagaimana makanan itu disiapkan, dibuat, dimakan, dan bermanfaat untuk kesehatan. Jangn lupa juga soal peningkatan status gizi.

Pada poin ini, menurut Grace, krusial untuk melakukan refleksi dan berhenti sejenak untuk menganalisis masukan dari para ahli. Pemerintah juga perlu rendah hati menerima bahwa program ini perlu ditinjau ulang sebelum dilaksanakan kembali.

Realisasi APBN untuk program MBG

Siswa menunjukkan menu makanan bergizi gratis (MBG) di SDN Kunciran 2, Pinang, Kota Tangerang, Banten, Rabu (13/8/2025). ANTARA FOTO/Putra M. Akbar/nz

Hal paling penting lainnya yakni menentukan dengan jelas apa yang menjadi indikator dan jangan menggunakan tolok ukur yang superfisial.

“Kita perlu menanyakan ke pemerintah, apa yang mereka jadikan indikator bahwa sebuah program perlu dilanjutkan. Dari situ kita bisa menilai apakan MBG ini perlu dilanjutkan," ujar dia.

"Kalau soal keracunan bukan jadi salah satu indikator yang digunakan pemerintah, maka dapat dipahami bahwa secara ketentuan atau logika pengelolaan, tidak akan nyambung soal worth it atau tidaknya dengan kasus keracunan. Apa indikator yang digunakan itu? Kita tidak pernah tahu,” tambah Grace.

Mengelola MBG Agar Manfaat Lebih Besar Ketimbang Biaya dan Risiko

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, beranggapan kalau masalah MBG bukan perkara “setuju atau tidak”, melainkan bagaimana MBG dikelola agar manfaatnya melebihi semua biaya dan risiko.

Ia menegaskan MBG layak—asal diposisikan sebagai investasi sumber daya manusia, bukan sekadar program bagi-bagi porsi. Tanpa desain yang disiplin, program ini hanya berpotensi menjadi belanja besar dengan hasil tipis.

Apalagi, kita sedang berhadapan dengan tiga simpul. Menurut Achmad, pertama, skala fiskal, di mana ratusan triliun untuk satu program sosial berarti opportunity cost terhadap sektor lain.

Kedua, kualitas pelaksanaan, di mana keracunan menandakan manajemen risiko pangan belum matang. Dan ketiga, prioritas layanan dasar: pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur tetap menuntut porsi memadai.

“Rencana skala MBG setara beberapa persen dari total belanja negara—angka yang nyaris mendekati setahun belanja infrastruktur suatu periode, dan hampir separuh belanja kesehatan pada tahun ramai,” tutur Achmad saat dihubungi lewat aplikasi perpesanan, Kamis (14/8/2025).

"Artinya, pengawasan dan transparansi MBG harus setara proyek strategis: harga satuan terbuka, kontrak terbagi kecil untuk menjaga kompetisi, serta pelibatan auditor sejak awal," tambah Achmad

Di saat yang sama, dia bilang, MBG jangan sampai mengkanibali layanan esensial lain seperti gizi ibu hamil, puskesmas, renovasi sekolah, air bersih, dan jaringan logistik pangan. Semua unsur itu harus tetap wajib dibiayai.

“Secara makro, MBG mendorong konsumsi rumah tangga dan berpotensi memantik multiplier effect lokal bila bahan pangan diserap dari petani, peternak, dan UMKM sekitar sekolah,” kata Achmad.

Akan tetapi, penting diingat, desain yang dirangkai lewat dapur bersama/SSPG bakal efektif apabila belanja mayoritas mengalir ke bahan baku lokal, dilakukan dengan distribusi yang ringkas, dan menggunakan standar gizi yang jelas.

Perluasan MBG perlu punya fokus wilayah

Achmad menekankan pemerintah bisa melanjutkan MBG tapi mesti “naik kelas”. Upaya itu bisa dilakukan dengan memperluas program MBG secara bertahap dan berbasis kebutuhan.

MBG bisa memprioritaskan wilayah stunting tinggi, kantong kemiskinan, dan daerah 3T sebagai gelombang pertama. Kemudian kapasitas diperbesar mengikuti kesiapan dapur yang lulus sertifikasi higienitas, bukan semata ambisi target.

“Jadikan MBG mesin ekonomi lokal. Tetapkan porsi minimal bahan baku dari produsen dalam radius tertentu. Libatkan koperasi atau BUMDes sebagai jangkar pengadaan, dengan dashboard keterlacakan, asal bahan, waktu masak, hingga suhu distribusi,” sambungnya.

BGN tegaskan tidak ada kebijakan penyaluran bahan baku

Petugas menyiapkan paket makanan bergizi gratis di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Pamerah, Jakarta, Rabu (25/6/2025). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/foc.

Achmad berpendapat, MBG adalah ide baik untuk menyehatkan anak, memperkuat hasil belajar, dan menggerakkan ekonomi lokal. Namun, ide baik butuh eksekusi unggul. Dengan desain bertahap, pengadaan pro-lokal, standar keamanan pangan yang ketat, serta anggaran berbasis kinerja, maka MBG berubah dari beban menjadi investasi SDM.

“Itulah cara memastikan setiap rupiah bukan hanya mengisi perut hari ini, melainkan mengangkat produktivitas bangsa di masa depan, tanpa mengabaikan amanat pembiayaan pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang sama pentingnya,” tutup Achmad.

Baca juga artikel terkait MAKAN BERGIZI GRATIS atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News Plus
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Alfons Yoshio Hartanto