tirto.id - Keputusan pemerintah merelaksasi impor food tray sebagai bagian dari langkah deregulasi tahap pertama menuai kritik dari pelaku usaha. Kebijakan yang bertujuan mendukung program Makan Bergizi Gratis (MBG) itu dinilai berpotensi mematikan industri dalam negeri.
Asosiasi Produsen Wadah Makan Indonesia (APMAKI) dan Asosiasi Produsen Alat Dapur dan Makan (Aspradam)—dua wadah industri yang menaungi pelaku usaha food tray—meminta pemerintah meninjau kembali kebijakan tersebut.
Sekretaris Jenderal APMAKI, Alie Cendrawan, mengatakan salah satu alasan penolakan adalah kapasitas pabrik di dalam negeri masih memiliki ruang ekspansi. Dari seluruh pabrik yang ada, tingkat utilisasinya baru mencapai sekitar 12 persen. Menurutnya, kapasitas terpasang di anggota APMAKI dan Aspradam saat ini bisa mencapai 8 juta unit per tahun.
Meski angka tersebut masih jauh dari kebutuhan MBG yang menurut Menteri Perdagangan Budi Santoso mencapai 82,9 juta unit, Alie optimistis bahwa jumlah tersebut masih bisa dipasok dari dalam negeri. Asalkan, kata dia, pemerintah mau memberikan kesempatan dan berdiskusi bersama para pengusaha yang telah memiliki pabrik di berabgai daerah.
"Mampu lah. Kalau duduk sama-sama, komunikasi dua arah, apa yang dibutuhkan bisa terpenuhi. Kalau permintaan bertambah, kapasitas bisa ditingkatkan," ujarnya kepada Tirto.
Alie menjelaskan, sebagian besar anggota asosiasi memiliki mold cadangan yang memungkinkan peningkatan kapasitas produksi dalam waktu relatif singkat. Terlebih, banyak pabrik yang bertransformasi dari industri lain, seperti produsen tabung gas melon atau komponen otomotif, sehingga proses adaptasi untuk memproduksi food tray tidak memerlukan investasi dari nol. "Tinggal modifikasi saja," katanya.
Karena itu lah, meski mendukung kebijakan pemerintah untuk menyediakan sarana makan dalam program MBG, pelaku usaha mengaku kecewa karena tidak dilibatkan dalam penyusunan aturan impor ini.
Padahal, dalam pembahasan awal pembentukan Badan Gizi Nasional, APMAKI dan Aspradam sempat dilibatkan dalam membahas kebutuhan food tray untuk MBG. Sementara untuk regulasi perdagangan dan perindustrian yang berlaku sekarang, pemerintah tidak mengajak asosiasi berdialog.
"Memang itu kewenangan pemerintah. Tapi seharusnya, sebagai asosiasi, kami diajak berdiskusi untuk menyampaikan suka-dukanya. Dasarnya kami mendukung penuh kebijakan pemerintah, namun yang disayangkan adalah kami tidak diajak. Kalau diajak, kan kita bisa memberi solusi," ujarnya.
Ketiadaan komunikasi itu, kata Alie, membuat kebijakan berjalan tanpa mempertimbangkan kondisi riil industri dalam negeri. Sedangkan di saat yang bersamaan, industri lokal telah menyiapkan kapasitas tambahan. "Kalau mau dibuka (impornya) kemarin (awal 2025), waktu kami belum mampu. Tapi sekarang kapasitas sudah siap," katanya.
Selain soal kapasitas, asosiasi juga menyoroti risiko masuknya food tray impor yang tak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). Pada periode Januari-Juli 2025, berdasarkan pantauan anggota asosiasi, banyak barang ilegal beredar di pasaran tanpa memenuhi persyaratan mutu dan keselamatan pengguna.
"Barang yang tidak standar bisa mengandung mangan tinggi, berpotensi menimbulkan penyakit. Ketahanannya juga renda, cepat rusak. Padahal, food tray ini sering digunakan untuk menyimpan makanan di sekolah selama 2-4 jam sebelum dimakan. Kalau tidak memenuhi standar, risiko kontaminasi tinggi," paparnya.
Rendahnya kualitas tesrebut diketahui melalui uji sederhana terhadap sejumlah wadah MBG bekas pakai. Hasilnya: produk yang beredar justru banyak menggunakan material stainless steel 201 (SUS 201), yang mudah bereaksi jika terkena asam seperti HCl.
"Kalau dikasih HCL, itu langsung hitam. Itu kelihatan dari permukaannya, dari ketebalannya," jelas Alie, sembari menambahkan bahwa ukuran wadah pada produk nonstandar itu kerap hanya setinggi 4 cm, di bawah ketentuan SNI, dan sempat diuji bersama dengan Kementerian UMKM.
Terkait hal ini, Menteri Perdagangan Budi Santoso menegaskan bahwa pihaknya memastikan bahwa nampan produksi luar negeri tak perlu dipermasalahkan selama memenuhi standar. Sebab, menuturnya, kebutuhan saat ini memang tak cukup hanya diambil dari industri domestik. “Kalau misalnya di dalam negeri ada kan, kan kita juga tidak melarang menggunakan produksi dalam negeri. Tetapi impor juga boleh karena kebutuhan kita sangat besar,” ujarnya.
Dalam kesempatan terspisah, ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengungkapkan bahwa relaksasi impor foodtray berpotensi mematikan industri domestik jika tak dipertimbangkan dengan matang.
Menurutnya, berdasarkan data impor food tray kode HS 392410, HS 392690, HS 732393, dan HS 732399, kata dia, banyak wadah makan tersebut yang berasal dari Cina. Padahal, ada alternatif lain selain produk impor, yakni yang berasal dari UMKM.
Ia juga mengingatkan, jika pasar dalam negeri dibanjiri produk impor yang lebih murah tapi tidak memenuhi standar, industri lokal akan kesulitan bersaing. "Ada potensi barang lain pengganti food tray impor, misalkan dari anyaman bambu ataupun buatan dalam negeri," ungkapnya.
Industri food tray lokal memang memiliki keterkaitan erat dengan penyerapan tenaga kerja. Satu lini produksi melibatkan banyak pekerja, ditambah sektor penunjang seperti industri kemasan (packaging).
Merunut keterangan Alie dalam kesempatan terpisah, pabrik yang dimiliki para anggota Aspradam sendiri bisa menyerap lebih dari 100 ribu pekerja. Jumlah itu bisa bertambah signifikan jika kapasitas produksi ditingkatkan. "Kalau kapasitas naik, tenaga kerja pasti bertambah," ujarnya.
Kebijakan impor food tray tanpa koordinasi, menurut Alie, berpotensi menekan utilisasi pabrik domestik, yang pada gilirannya akan mengancam kelangsungan kerja para buruh di sektor ini.
Lantaran itu, APMAKI dan Aspradam mendesak pemerintah meninjau ulang kebijakan ini dan memastikan komunikasi yang lebih baik dengan industri. Menurut mereka, program MBG seharusnya menjadi momentum memperkuat rantai pasok dalam negeri, bukan membuka keran impor yang justru melemahkan produsen lokal.
"Kalau duduk bersama, kita bisa bahas apa yang dibutuhkan, apa kendalanya, dan bagaimana komitmen masing-masing pihak. Industri kita siap memenuhi kebutuhan MBG dengan standar yang aman," kata Alie. "Kapasitas ada, kemauan ada, tenaga kerja ada. Tinggal kemauan pemerintah untuk memanfaatkan potensi itu," sambungnya
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Erwin Taufan menilai rencana pemerintah untuk membuka kran impor food tray perlu disikapi lebih bijaksana oleh semua pihak.
“Impor merupakan salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan itu untuk tahap awal agar program pemerintah bisa berjalan lebih efisien,” kata Taufan, dalam keterangan resminya. Pun demikian, ia turut menekankan pentingnya perlindungan terhadap industri atau UMKM dalam negeri. "Ini juga harus dilakukan ke depannya jika produk tersebut sudah bisa disiapkan sepenuhnya di dalam negeri,” imbuhnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Dwi Aditya Putra
Masuk tirto.id







































