Menuju konten utama

Menguji Klaim MBG Bisa Naikkan Skill Matematika & Bahasa Inggris

Klaim program MBG berpotensi meningkatkan kemampuan matematika dan Bahasa Inggris siswa masih terlalu prematur.

Menguji Klaim MBG Bisa Naikkan Skill Matematika & Bahasa Inggris
Sejumlah siswa menyantap Makanan Bergizi Gratis (MBG) pemberian Kanwil Ditjen Imigrasi dan Kantor Imigrasi Kelas I TPI Palu di SD 1 Alkhairaat di Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (13/8/2025). ANTARA FOTO/Basri Marzuki/nz

tirto.id - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diklaim berpotensi meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris dan matematika siswa. Pernyataan ini disampaikan oleh Wakil Menteri Pendidikan, Sains, dan Teknologi (Wamendiktisaintek), Stella Christie, saat mengunjungi stan Badan Gizi Nasional (BGN) pada hari kedua Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia (KSTI) 2025 di Institut Teknologi Bandung, Jawa Barat.

Stella yang memiliki latar sebagai ilmuwan bidang cognitive science itu menyebut bahwa potensi MBG itu bisa maksimalkan bila dikemas dengan cara-cara kreatif, seperti belajar sambil makan di sekolah. Lebih lanjut, lulusan Harvard University itu menyebut bahwa MBG dapat memotivasi, mengasah daya ingat, sekaligus meningkatkan semangat belajar anak-anak.

"Setiap hari adalah kesempatan luar biasa bagi anak-anak untuk belajar. Dengan program MBG, anak-anak tidak hanya mendapatkan gizi yang baik, tetapi juga belajar menghitung dan mengenal Bahasa Inggris melalui jenis-jenis makanan," ujar Stella.

Pengarahan program Sekolah Garuda

Wamendiktisaintek Stella Christie memberikan keterangan terkait program Sekolah Garuda di Jakarta, Sabtu (17/5/2025).ANTARA FOTO/Ferlian Septa Wahyusa/rwa.

Sebelumnya, Kepala BGN, Dadan Hindayana, menyatakan bahwa tingkat kehadiran siswa di sekolah meningkat hingga 95 persen setelah program MBG berjalan.

"Sebelum ada MBG, kehadiran siswa di sekolah itu sekitar 70-80 persen. Sekarang, berkat MBG jadi 95 persen. Bahkan, ada cerita dari Papua, seorang cucu yang awalnya setiap pagi mesti dibangunkan dulu oleh neneknya untuk pergi ke sekolah, sekarang malah si cucu itu yang membangunkan neneknya pagi-pagi karena semangat mau dapat MBG," kata Dadan saat mengunjungi ANTARA Heritage Center, Jakarta Pusat, Rabu (6/8/2025).

Lantas, benarkah klaim Stella tersebut?

Belum Ada Temuan Penelitian yang Konsisten

Untuk memverifikasi pernyataan Wamendiktisaintek tersebut, Tirto menelusuri sejumlah penelitian dan publikasi ilmiah yang relevan.

Sejumlah studi kasus dari beberapa negara menunjukan bahwa program makan siang yang diberikan di sekolah berkorelasi positif dengan capaian akademik siswa, termasuk peningkatan fungsi kognitif dan motivasi belajar.

Studi berjudul “The Impact of School Meal Programs on Educational Outcomes in African Schoolchildren: A Systematic Review” (2022) yang dipublikasikan oleh National Library of Medicine (AS) menunjukkan adanya korelasi positif antara program pemberian makanan di sekolah dengan hasil pendidikan, seperti nilai ujian dan kehadiran.

Temuan riset itu mengindikasikan bahwa anak-anak yang tidak mengalami kelaparan cenderung lebih fokus dan produktif di ruang kelas. Studi ini juga mencatat adanya peningkatan fungsi memori jangka pendek yang didorong oleh konsumsi nutrisi sebelum proses pembelajaran dimulai.

Di Burkina Faso, misalnya, siswa yang mendapatkan program makan saat sekolah memiliki peningkatan proporsi jawaban benar pada pelajaran matematika hingga 9,6 persen. Sementara di Senegal, nilai agregat Bahasa Prancis dan Matematika meningkat masing-masing sebesar 4,9 hingga 6,1 poin pada siswa yang mendapatkan program makan di sekolah.

Penelitian serupa dilakukan di Pakistan dan hasilnya dipublikasikan dengan judul “School Feeding to Improve Cognitive Performance in Disadvantaged Children: A 3-Arm Parallel Controlled Trial in Northwest Pakistan” (2023).

Studi ini menunjukkan bahwa anak-anak yang menerima makan siang di sekolah, baik yang dilengkapi maupun yang tidak dilengkapi dengan suplemen mikronutrien, mengalami peningkatan kinerja kognitif yang signifikan setelah periode intervensi selama 12 bulan.

Dalam konteks Indonesia, penelitian yang dilakukan oleh Rahma Nida dan Dwi Darma Puspita Sari dalam artikel berjudul “School Meals Program and Its Impact Towards Student’s Cognitive Achievement” (2023) menunjukkan bahwa partisipasi dalam program makan sekolah berasosiasi positif dengan pencapaian kognitif siswa.

Dengan menggunakan data Indonesia Family Life Survey (IFLS) dan pendekatan Propensity Score Matching, penelitian ini menemukan bahwa siswa yang mengikuti program makan sekolah memiliki skor kognitif matematika 0,2 poin lebih tinggi dibandingkan siswa yang tidak mengikuti program serupa.

Namun, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa korelasi tidak selalu menunjukkan sebab-akibat.

Menanggapi klaim bahwa program MBG dapat meningkatkan kemampuan kognitif anak, termasuk dalam pelajaran seperti matematika dan Bahasa Inggris, Dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Narila Mutia Nasir, menyatakan bahwa temuan ilmiah di bidang ini menunjukkan hasil yang beragam.

Secara umum, berbagai studi memang menyimpulkan bahwa makanan bergizi yang diberikan di sekolah, seperti program MBG, memiliki efek positif terhadap kemampuan kognitif anak.

Target penerima manfaat program makan bergizi gratis

Siswa menyantap makanan bergizi gratis di SDN Pasirkaliki Mandiri 2, Kota Cimahi, Jawa Barat, Selasa (29/7/2025). ANTARA FOTO/Abdan Syakura/YU

Narila menjelaskan bahwa beberapa penelitian yang dilakukan di berbagai negara, seperti Tiongkok, Denmark, Finlandia, dan Norwegia menunjukkan intervensi gizi di sekolah dapat berdampak baik terhadap aspek kognitif siswa. Namun, Narila menekankan bahwa hasil dari studi-studi tersebut sangat bervariasi dan tidak selalu menghasilkan temuan yang konsisten.

“Dalam bukti ilmiah itu kan ada namanya systematic review yang kemudian dia melihat semua dari beberapa studi di negara-negara low middle income country. Memang itu program school lunch ini, makanan di sekolah, memang meningkatkan kehadiran siswa ke sekolah. Tetapi, ketika bicara skor kognitif atau tadi spesifik ke matematika dan Bahasa Inggris, itu hasilnya sangat bervariasi. Jadi, gak selalu hasil itu konsisten ya menunjukkan bahwa efeknya ada, ” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (12/8/2025).

Narila yang juga menjabat sebagai Ketua Pengurus Daerah Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Jakarta itu mencontohkan bahwa studi di Denmark tidak menemukan peningkatan signifikan dalam kemampuan matematika siswa. Namun, pemberian makan bergizi menunjukkan adanya peningkatan dalam kemampuan membaca yang terkait dengan aspek bahasa.

Sebaliknya, studi di wilayah lain, seperti Tiongkok, menemukan adanya peningkatan skor kognitif dalam bidang matematika.

Lebih lanjut, Narila menjelaskan bahwa otak secara biologis membutuhkan asupan energi yang cukup untuk dapat berfungsi optimal. Sekitar 20 persen dari total kalori harian yang dikonsumsi seseorang digunakan oleh otak untuk berkonsentrasi.

Oleh karena itu, ketika anak datang ke sekolah dalam keadaan lapar atau kurang gizi, kemampuan kognitif dan konsentrasinya dapat menurun secara drastis. Dalam konteks ini, pemberian MBG memang berpotensi mendukung peningkatan energi dan kapasitas kognitif anak selama proses belajar berlangsung.

“Pemberian makanan bergizi gratis ini tentu saja bisa memberikan efek untuk menaikkan cognitif ability atau kemampuan pembelajaran yang tentu saja nanti mungkin akan berefek ke prestasinya atau kemampuan matematika dan bahasa. Tapi, sekali lagi ada syarat dan ketentuan berlaku ada faktor lain yang juga harus didukung,” ujarnya.

Narila menekankan bahwa agar dampak MBG terhadap capaian akademik benar-benar terasa, tidak cukup hanya dengan sekadar menyediakan makanan. Dalam hal kemampuan kognitif, kualitas gizi makanan yang disediakan perlu diperhatikan, terutama dalam hal kandungan mikronutrien penting (zat besi, zinc, asam folat, vitamin B12, yodium, serta asam lemak esensial).

Narila menyimpulkan bahwa klaim mengenai dampak MBG terhadap prestasi akademik memang memiliki dasar ilmiah, tapi hasil-hasil penelitian soal itu tidak selalu konsisten. Hal ini disebabkan oleh sejumlah faktor, seperti lamanya durasi program, desain dan kualitas program, serta status sosial ekonomi penerima makanan tersebut.

“Klaim [Wamen Stella] bisa saja diterangkan bahwa bukti ilmiahnya ada tetapi catatan pentingnya adalah hasilnya tidak selalu konsisten. Karena, untuk mencapai hasil konsisten, tidak melulu bicara programnya, dalam hal ini bicara makanannya saja, tapi berapa lama intervensi itu dilakukan, desain programnya, dan ada beberapa syarat berlaku juga,” katanya.

Butuh Waktu dan Proses yang Panjang

Pakar pendidikan yang juga Dosen Program Studi Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, menilai bahwa klaim program MBG berpotensi meningkatkan kemampuan matematika dan bahasa Inggris siswa masih terlalu prematur.

Rakhmat menjelaskan bahwa sebuah kebijakan publik yang baru berjalan selama beberapa bulan, bahkan belum mencapai satu tahun pelaksanaan, tidak dapat langsung dievaluasi secara menyeluruh. Selain persoalan waktu pelaksanaan yang masih terlalu dini untuk dievaluasi secara konklusif, Rakmat juga menyoroti kondisi implementasi MBG di lapangan.

“Banyak kekisruhan yang terjadi di lapangan, dari mulai vendor, kemudian layanannya, kualitasnya, kasus-kasus keracunan di berbagai daerah, kemudian quality control yang bermasalah. Jadi, ketika ini dikatakan bahwa sudah meningkatkan prestasi akademik, sementara pelayanannya, kemudian kualitas standar gizinya itu bermasalah, maka sulit dikatakan bahwa ini akan meningkatkan prestasi,” ujar Rakhmat saat dihubungi Tirto, Selasa (12/8/2025).

Untuk memberikan perspektif perbandingan, Rakmat merujuk pada pengalamannya melakukan studi postdoktoral di Finlandia pada 2019. Dia mengamati bagaimana negara tersebut menerapkan reformasi pendidikan secara komprehensif sejak 1970, termasuk menyediakan makan siang gratis bagi seluruh siswa di sekolah.

“Sejak tahun 1970, Finlandia sudah menerapkan apa yang disebut sebagai free meals. Anak-anak makan siang di kantin bersama dengan standar kesehatan yang terbaik. Ikan, kemudian sayuran, kemudian ditambah dengan yoghurt, ditambah dengan keju, ditambah dengan susu, buah,” ujarnya.

Meski demikian, menurut Rakhmat, dampak signifikan dari kebijakan makan gratis itu baru mulai terlihat pada awal 2000-an. Saat itu, Finlandia diakui dunia internasional sebagai salah satu negara dengan sistem pendidikan terbaik. Skor PISA-nya tergolong sangat tinggi dalam bidang sains, matematika, dan literasi.

“[Dampak kebijakan pemberian makan gratis] itu baru dirasakan dampaknya itu berapa puluh tahun kemudian. Pada awal tahun 2000 dan itu diakui oleh dunia internasional,” ujar Rakhmat.

Realisasi anggaran program MBG semester-I 2025

Seorang guru bersiap membagikan makanan bergizi gratis kepada siswa di SD Negeri 10 Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Selasa (8/7/2025). ANTARA FOTO/Auliya Rahman/tom.

Meski demikian, dari sisi pedagogis, Rakhmat mengakui bahwa memang ada kaitan antara kualitas gizi dan pendidikan anak. Dia mengatakan bahwa asupan gizi memiliki pengaruh signifikan terhadap efektivitas proses pembelajaran. Ketika anak terbiasa mengonsumsi makanan bergizi, seperti yang dulu dikenal dengan jargon 4 sehat 5 sempurna, hal itu akan membentuk kondisi tubuh yang bugar dan prima.

“Jadi, pada dasarnya faktor eksternal, seperti asupan gizi terhadap efektivitas proses belajar itu, menurut saya punya relasi. Anak-anak bisa semangat, bisa punya antusias, motivasi belajar juga bagus,” ujarnya.

Lalu, apa yang harus dilakukan agar program MBG bisa memberikan dampak positif pada kualitas pembelajaran?

Saran untuk Pemerintah

Menurut Narila dari IAKMI, beberapa elemen penting perlu diintegrasikan dalam pelaksanaan MBG agar program ini memberikan dampak positif pada kualitas pembelajaran. Pertama, program MBG idealnya terintegrasi ke dalam kurikulum atau proses pembelajaran.

Misalnya, saat sesi makan atau setelah makan, bisa disisipkan aktivitas sederhana seperti storytelling, penambahan kosa kata terkait makanan, atau edukasi ringan mengenai manfaat gizi dari menu yang dikonsumsi.

“Misalnya, dijelasin bayam ternyata ini bagus untuk aku lebih konsentrasi. Menambah pengetahuan dengan cara langsung dari apa yang mereka konsumsi. Jadi gak cuman yaudah dibagiin selesai gitu ya dibagiin makan selesai jadi mereka tau esensinya itu bagian dari pembelajaran,” ujarnya.

Kedua, penting untuk memastikan standar nutrisi dalam makanan yang diberikan. Mikronutrien, seperti zat besi, zinc, asam folat, vitamin B12, yodium, dan asam lemak esensial, memiliki peran signifikan terhadap kemampuan kognitif dan konsentrasi belajar anak. Oleh karena itu, fortifikasi menjadi strategi penting yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan menu MBG.

Selanjutnya, Narila menekankan pentingnya monitoring dan evaluasi berbasis bukti. Untuk itu, sebaiknya dilakukan pengukuran awal (baseline) terkait nilai akademik, status gizi, hingga kehadiran siswa, yang kemudian diikuti dengan evaluasi berkala. Evaluasi ini bertujuan untuk melihat apakah benar terjadi peningkatan, misalnya dalam pelajaran matematika atau Bahasa Inggris.

“Kalo matematika, Bahasa Inggris, ya tinggal dilihat bener gak tuh ada before-after-nya secara berkala supaya kita bisa mengadaptasi atau kemudian melakukan perbaikan dengan intervensi yang ada sekarang. Nah, ini tentu saja artinya bekerja sama dengan mungkin akademisi,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait MAKAN BERGIZI GRATIS atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - News Plus
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi