tirto.id - Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) serta Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memiliki slogan yang patut direnungkan pada kondisi saat ini: “Jika tidak aman, itu bukan makanan”. Muncul paradigma, asupan sehat bermula dari pangan yang aman. Maka saat pangan yang disajikan menimbulkan efek keracunan massal atau berdampak pada kesehatan, itu bukan makanan. Lebih-lebih tak pantas disebut makanan bergizi.
Hal ini menjadi penting dikemukakan di tengah berulangnya kasus-kasus dugaan keracunan massal dalam pelaksanaan program andalan pemerintah, Makan Bergizi Gratis (MBG). Tak berlebihan, sebab hingga saat ini respons yang dikemukakan pemerintah cenderung bersifat defensif dan menyepelekan kasus dugaan keracunan imbas program MBG.
Masalahnya, kasus dugaan keracunan makanan program MBG terus terjadi. Teranyar, pada Senin 5 Mei 2025, sebanyak 121 siswa di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Sumatra Selatan, diduga mengalami keracunan usai menyantap program MBG. Sejumlah siswa yang mengalami gejala keracunan dirawat di RSUD Talang Ubi dan Puskesmas PALI.
Sebelumnya kasus dugaan siswa keracunan massal setelah menyantap makanan program MBG juga terjadi di beberapa wilayah seperti: 40 siswa di SD Negeri Dukuh 03, Kabupaten Sukoharjo; delapan siswa SD di Kabupaten Empat Lawang; 60 siswa dari sejumlah sekolah di Kabupaten Batang; 78 siswa dari MAN 1 Cianjur dan SMP PGRI 1 Cianjur; 342 siswa di SMP Negeri 35 Kota Bandung; dan 25 pelajar SD dan SMP di Kabupaten Tasikmalaya.
Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini juga mengomentari soal dugaan siswa sakit akibat keracunan makanan dalam program MBG. Saat sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (5/5/2025), Prabowo menyatakan bahwa orang yang sakit karena MBG tidak mencapai 200 peserta. Sementara, jumlah penerima MBG mencapai tiga juta orang. Artinya, menurut kepala negara, keberhasilan program MBG sudah mencapai 99,99 persen.
“Di mana ada usaha manusia, di mana di bidang pekerjaan apapun, kalau 99,99 persen keberhasilan, oke dong?” ungkap Prabowo.
Prabowo sempat menyinggung bahwa pihak katering makanan yang mahal saja bisa berpotensi membuat makanan beracun. Oleh karena itu, ia mewajarkan sejumlah siswa ada yang diduga keracunan usai menikmati program MBG. Presiden menduga kasus keracunan MBG karena siswa tidak menggunakan sendok ketika menyantap makanan. Selain itu, siswa diduga belum mencuci tangan dengan bersih ketika makan.
Pernyataan presiden tentu amat disayangkan di tengah berulangnya kasus dugaan keracunan imbas program MBG. Padahal, kesehatan warga negara sudah dijamin oleh konstitusi lewat Pasal 28 H ayat (1) dalam Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 (UUD 1945).
Dinyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan negara wajib untuk menyediakannya.
Pengamat kesehatan masyarakat sekaligus pengurus di Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Iqbal Mochtar, menilai pernyataan presiden dalam rapat kabinet yang menyoroti bahwa kasus keracunan akibat program makanan bergizi (MBG) jumlahnya kecil dibandingkan dengan total penerima manfaat dapat dianggap defensif dan kurang empati.
“Meskipun secara statistik kasusnya mungkin kecil, keselamatan dan kesehatan publik seharusnya tetap menjadi prioritas utama, terutama ketika menyangkut program yang menyasar anak-anak atau kelompok rentan,” kata Iqbal kepada wartawan Tirto, Rabu (7/5/2025).
Klaim bahwa program MBG sukses 99,99 persen justru berpotensi menimbulkan persepsi bahwa pemerintah menyepelekan kejadian dugaan keracunan imbas MBG. Apalagi, kata dia, belum terlihat upaya transparan untuk mengevaluasi dan memperbaiki sistem distribusi, pengawasan, atau kualitas makanan program MBG.
Dalam situasi seperti ini, masyarakat sejatinya mengharapkan sikap reflektif dan akuntabel dari pejabat publik. Seperti mengatakan bahwa meskipun mayoritas program berjalan baik, insiden kecil tetap menjadi pelajaran serius untuk pembenahan ke depan.
Maka terang, ini bukan soal programnya. Makan bergizi gratis untuk anak sekolah tentu ide yang baik, dan bahkan mulia. Namun ide yang baik, jika dieksekusi secara sembrono, bisa berpotensi menjadi pelanggaran hak kesehatan publik. Terutama, jika mengacu pada tugas dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Pada Pasal 146 dalam UU Kesehatan ditegaskan, bahwa: setiap orang yang memproduksi, mengolah, mendistribusikan, dan mengonsumsi makanan dan minuman wajib memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, mutu, dan gizi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam Pasal 148 UU Kesehatan, disebut bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab mengatur dan mengawasi produksi, pengolahan, dan pendistribusian makanan dan minuman. Maka jika makanan mengandung kandungan atau bahan berbahaya yang menyebabkan keracunan, maka pelaku produksi atau distribusi (termasuk instansi pemerintah atau pihak ketiga yang ditunjuk) ditengarai melanggar kewajiban ini.
Sudah ditegaskan pula pada Pasal 64 ayat (3) UU Kesehatan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menjaga bahan makanan agar memenuhi standar mutu gizi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Aspek keamanan pangan (food safety) dan standar mutu pangan sebaiknya tidak diabaikan, sebab telah ditetapkan dalam sejumlah regulasi. Untuk program MBG misal, pada 8 Januari 2025, Kementerian Kesehatan merilis Surat Edaran (SE) tentang Dukungan Pelaksanaan, Pembinaan, dan Pengawasan Keamanan Pangan Olahan Siap Saji.
Di sisi lain, aturan keamanan dalam produksi pangan sudah tercantum juga pada Peraturan BPOM Nomor 10 Tahun 2023 tentang Penerapan Program Manajemen Risiko Keamanan Pangan di Sarana Produksi Pangan Olahan. Aturan ini diteken Maret 2023, serta mengatur penerapan Program Manajemen Risiko (PMR) di sarana produksi pangan olahan.
Selain dinaungi regulasi pemerintah, pengolahan pangan seyogianya mengikuti standar prosedur internasional yang wajib dimiliki oleh pengelola produksi pangan. Misalnya Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) dan Good Manufacturing Practices (GMP), yang menjadi pedoman dasar industri pangan untuk menjamin keamanan dan mutu produk.
Apakah Korban MBG Bisa Menuntut?
Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, menilai bahwa korban dugaan keracunan program MBG sangat mungkin untuk menuntut pemerintah. Sebab, kata dia, mandat pada dimensi hak atas kesehatan, termasuk hak atas pangan layak, punya prinsip to reach the highest attainable standards.
Artinya, mengejar standar yang tertinggi yang mungkin dicapai dalam pelaksanaan program. MBG tidak boleh stagnan di satu titik tertentu. Namun, kasus dugaan keracunan justru terus berlangsung.
Terlebih, Pasal 60 angka 5 dalam UU Cipta Kerja beserta penjelasannya mengatur bahwa makanan dan minuman yang dipergunakan untuk masyarakat harus didasarkan pada standar dan/atau persyaratan kesehatan. Kewajiban memenuhi standar makanan yang aman ini juga berlaku bagi setiap orang yang memproduksi dan memperdagangkan pangan.
Termasuk di dalamnya pangan untuk tujuan hibah, bantuan, program pemerintah, dan/atau keperluan penelitian, sebagaimana diatur dalam Pasal 86 ayat (2) UU Pangan dan Pasal 28 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan.
Dalam Pasal 64 angka 19 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 140 ayat (1) UU Pangan diatur bahwa setiap orang yang memproduksi dan memperdagangkan pangan yang dengan sengaja tidak memenuhi standar keamanan pangan yang mengakibatkan timbulnya korban gangguan kesehatan manusia, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp4 miliar.
Julius menambahkan, pelaksanaan program MBG bersifat taktis dengan nuansa reaktif dan karitatif. Maksudnya, belum terdapat regulasi jelas terkait standarisasi dan pengawasan pelaksanaan program MBG. Alhasil, Badan Gizi Nasional (BGN) yang seharusnya menjadi garda terdepan pelaksanaan program sering kali bersifat gagap dan formalitas ketika ada penemuan kasus dugaan keracunan.
Program MBG masih terasa kental sebagai program politik Presiden semata. Padahal, MBG sangat menjanjikan jika dibenahi secara struktural dan regulasi untuk mendorong persiapan generasi Indonesia Emas 2045. Apalagi, salah satu misinya ingin mengentaskan stunting.
Dengan begitu, Julius menilai keracunan massal dan kekacauan pelaksanaan MBG sudah dapat diprediksi sebetulnya. Saat ini, pemangku kebijakan tidak cukup hanya menyatakan penyesalan dan berjanji melakukan evaluasi program tanpa ada target dan transparansi yang jelas terhadap program MBG.
“Jadi dari aspek regulasinya, implementasi tata kelola yang baik, pengadaan tender, tata kelola fasilitas infrastruktur, tata kelola lintas instansi, tata kelola hak atas pangan dengan standar kualitas gizinya, ini semua harus ada,” ucap Julius.
Associate Professor Public Health Monash University Indonesia, Grace Wangge, menilai bahwa klaim keberhasilan program MBG seharusnya diukur jelas menggunakan variabel yang sahih dan ditentukan. Grace merasa pemerintah sempat menyatakan program MBG bertujuan menurunkan stunting dan meningkatkan presentasi siswa. Maka, jangan asal menjadikan keracunan siswa sebagai tolok ukur keberhasilan program.
Tolok ukur keberhasilan program MBG juga harus mendapat masukan dari masyarakat dan ahli. Komunikasi risiko dan manajemen pascakejadian persoalan MBG, kata Grace, belum dilakukan dengan baik.
Sementara itu, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, menyatakan pihaknya akan melatih penjamah makanan secara intensif untuk mencegah dugaan kasus keracunan MBG yang dialami siswa di berbagai daerah tidak berulang. Selama ini, menurutnya, Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG) terlena dengan distribusi yang baik-baik saja sehingga evaluasi secara menyeluruh perlu dilakukan.
Selain melatih penjamah makanan, BGN memperketat pengawasan dengan membatasi waktu memasak dan distribusi. Mengingat dalam beberapa kejadian dugaan keracunan, disinyalir berawal dari proses memasak yang terlalu awal.
“Kalau bisa memang kami sudah targetkan tidak lebih dari 30 menit, mungkin sekarang harus lebih singkat lagi. Begitu sampai di sekolah distribusinya, juga harus kita evaluasi tambahan, jangan pula misalnya sampai di sekolah jam 09.00, baru dimakan jam 12.00,” kata Dadan seperti dilansir Antara, Selasa (6/5/2025).
Founder dan CEO Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Diah Satyani Saminarsih, menegaskan bahwa keberhasilan program makan bergizi gratis (MBG) tidak bisa diukur dari jumlah anak penerima MBG yang tidak keracunan. Berhasil atau tidaknya program ini semestinya menggunakan tolok ukur outcome kesehatan dan gizi yang tercantum dalam RPJMN 2025-2029.
Selain itu, kata Diah, dalam Policy Paper terbaru CISDI menunjukkan program MBG tidak terbuka terhadap studi terhadap penilaian dampak dan analisis biaya manfaat; tidak transparan terhadap informasi perihal satuan harga rata-rata dan kelompok sasaran. Selain itu, minim melibatkan masyarakat sipil, termasuk ahli, akademisi, hingga masyarakat lokal.
Pemerintah, kata Diah, bertanggung jawab memastikan perawatan dan kesehatan penerima manfaat yang menjadi korban keracunan. Dalam petunjuk teknis MBG disebutkan bahwa sekolah dapat berkontak ke puskesmas terdekat untuk memanggil dokter untuk melakukan monitoring dan perawatan pada korban.
Dalam negara hukum yang sehat, satu piring makanan beracun tak boleh dianggap wajar. Etika tata negara mengajarkan bahwa kekuasaan publik hanya sah bila dijalankan untuk melindungi dan menyejahterakan rakyat. Beginilah wajah negara ketika kewajiban konstitusional dilibas ambisi politik.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang
Masuk tirto.id


































