Menuju konten utama

Kandungan Surat An-Nisa Ayat 59 dan Makna Istilah "Ulil Amri"

Surat An-Nisa ayat 59, kandungan dan makna "Ulil Amri" dalam surat An-Nisa: 59.

Kandungan Surat An-Nisa Ayat 59 dan Makna Istilah
Ilustrasi Al Quran. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Kandungan surat An-Nisa ayat 59 yang paling banyak digunakan atau diterapkan dalam kehidupan seorang muslim adalah istilah “Ulil Amri”.

Secara makna, kalimat tersebut kerap diterjemahkan sebagai ‘pemimpin’ atau ‘pemegang kekuasaan’. Selengkapnya bunyi dari QS. An-Nisa: 59 adalah seperti berikut ini:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَطِيۡـعُوا اللّٰهَ وَاَطِيۡـعُوا الرَّسُوۡلَ وَاُولِى الۡاَمۡرِ مِنۡكُمۡ‌ۚ فَاِنۡ تَنَازَعۡتُمۡ فِىۡ شَىۡءٍ فَرُدُّوۡهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوۡلِ اِنۡ كُنۡـتُمۡ تُؤۡمِنُوۡنَ بِاللّٰهِ وَالۡيَـوۡمِ الۡاٰخِرِ‌ ؕ ذٰ لِكَ خَيۡرٌ وَّاَحۡسَنُ تَاۡوِيۡلًا

Yaaa ayyuhal ladziina aamanuuu athii'ul laaha wa athii'ur Rasuula wa ulil amri minkum fa in tanaaza'tum fii syai'in farudduuhu ilal laahi war Rasuuli in kuntum tu'minuuna billaahi wal yawmil Aakhir; dzaalika khairunw wa ahsanu taawiilaa

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."

Merujuk laman NU Online, istilah Ulil Amri dalam kitab Tafsir at-Thabari, tulisan ulama besar Abu Jafar Muhammad bin Jarir at-Thabari diartikan berbeda oleh beberapa kelompok ahli ta’wil.

Satu kelompok ulama menafsirkan Ulil Amri sama dengan umara. Sebagian lain menafsirkan bahwa yang dimaksud ulil amri adalah ahlul ilmi wal fiqh atau orang yang memiliki ilmu dan pengetahuan akan fiqih.

Tafsir dari ulama lain menyebut Ulil Amri adalah sahabat-sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam.

Ada pula yang mengatakan bahwa yang disebut Ulil Amri dalam surah An-Nisa ayat 59 adalah Abu Bakar dan Umar (dalam Tafsir at-Thabari, juz 5, h. 147-149).

Di sisi lain, seorang ulama bernama Imam al-Mawardi dalam kitab tafsir (Tafsir al-Mawardi, jilid 1, h. 499-500) menjabarkan bahwa Ulil Amri memiliki 4 makna yaitu:

1. Umara atau pemimpin yang konotasinya untuk pemimpin keduniaan. Ini merujuk pada pendapat Ibn Abbas, as-Sady, dan Abu Hurairah serta Ibn Zaid dengan melihat asbabun-nuzul (sebab turunnya ayat).

2. Ulama dan fuqaha, ini merujuk pada pendapat dari Jabir bin Abdullah, al-Hasan, Atha, dan Abi al-Aliyah.

3. Sahabat-sahabat Rasulullah SAW yang ini adalah pendapat atau tafsir dari Mujahid.

4. Sahabat Rasulullah SAW 2 orang yaitu Abu Bakar dan Umar. Ini adalah tafsir yang berasal dari Ikrimah.

Dalam kitab ahkam al-Quran, Ibn al-arabi berkata: “yang benar dalam pandangan saya adalah ulil amri itu umara dan ulama semuanya”. (Ahkam al-Quran, juz 1, h. 452).

Masih banyak tafsiran lain dari kalimat Ulil Amri yang menjadi pendapat ulama.

Akan tetapi secara garis besar para ulama menyebutkan, makna dari QS An-Nisa: 59 Ulil Amri adalah untuk pemimpin (raja, sultan, presiden, khalifah, qadhi, hakim) atau orang yang memiliki wewenang untuk mengatur umat, dipercaya umat, orang yang memberikan fatwa dalam hukum syara’, imam atau pemimpin yang ma’shum dan mengajarkan agama Islam, ahlul ilmi atau cendekiawan.

Perintah taat yang diserukan oleh Allah Subhanahu wata’ala kepada umat muslim kepada Ulil Amri, dalam penulisannya tidak digandeng dengan pada perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Hal itu menunjukkan perbedaan derajat taat yang harus diberikan.

Jika Ulil Amri memberikan perintah yang bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Allah SWT dan Rasulullah SAW, maka umat tidak wajib taat pada Ulil Amri.

Istilah yang kerap dipakai adalah “La tha’at li makhluqin fi ma’shiyat al-Khaliq“ yang maknanya adalah “Tidak ada ketaatan kepada seorang makhluk dalam kemaksiatan kepada Khaliq (Allah).”

Merujuk laman Ibnu Katsir Online, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, ia berkata telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Ubaidillah, telah menceritakan kepada kami Nafi', dari Abdullah ibnu Umar, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda:

“Tunduk dan patuh diperbolehkan bagi seorang muslim dalam semua hal yang disukainya dan yang dibencinya, selagi ia tidak diperintahkan untuk maksiat. Apabila diperintahkan untuk maksiat, maka tidak boleh tunduk dan tidak boleh patuh."

Baca juga artikel terkait SURAH AL-QURAN atau tulisan lainnya dari Cicik Novita

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Cicik Novita
Penulis: Cicik Novita
Editor: Dhita Koesno