tirto.id - "Hadirlah Meikarta yang nantinya akan jadi kota terpenting di seluruh Indonesia. Di Koridor ini, kini sudah jadi pusat industri seluruh Indonesia," ujar James Riady, salah satu konglomerat besar di Indonesia, pemilik Lippo Group yang mengumumkan megaproyek properti baru Meikarta dalam satu pertemuan di salah satu hotel miliknya bernama Aryaduta di Jakarta, 4 Mei 2017.
"Lebih dari 1 juta mobil, lebih dari 10 juta motor, lalu kulkas, AC. Semua produksi di sana. Di koridor ini sudah menjadi pusat industri seluruh Indonesia, daerah itu adalah 'Shenzhen'-nya Indonesia," katanya, lagi.
Inilah kali pertama bos Lippo tersebut meresmikan proyek pembangunan Meikarta ke depan publik.
Berlokasi di timur Cikarang, Kabupaten Bekasi, megaproyek Meikarta digadang-gadang sebagai "sebuah kota baru Jakarta". Perannya diniatkan oleh bos Lippo itu bak Kota Shenzhen, salah satu kota bisnis terpenting Cina yang menopang Hong Kong. Dikembangkan di atas lahan seluas 500-an hektare, estimasi investasi Meikarta mencapai 20 miliar dolar AS atau Rp278 triliun.
Proyek Meikarta dipegang oleh PT Mahkota Sentosa Utama, anak usaha PT Lippo Cikarang Tbk. PT Mahkota sengaja dibuat Lippo pada 2015 untuk menggarap proyek ini. Meskipun belum resmi digarap, proyek promosinya sudah gencar dijalankan Lippo sejak Januari 2016.
Namun, sejak megaproyek ini dikerjakan tahun lalu di tengah jorjoran iklan di media, bak gelembung pecah di udara, sesungguhnya hanya menunggu waktu "Shenzhen-nya Indonesia" ini bakal terbentur perkara.
Sebelum Komisi Pemberantasan Korupsi membongkar kasus suap Meikarta, yang melibatkan Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro dan Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin, redaksi Tirto pada Agustus 2017 sudah mengingatkan mengenai tudingan Lippo menjual produk ilegal Meikarta karena baron properti ini belum mengelarkan izin peruntukan lahan dan konstruksi. Kasus suap ini pun memicu sejumlah bank menghentikan kucuran kredit pada proyek Meikarta—mereka adalah Bank Muamalat, BNI, BRI, Mandiri, dan CIMB Niaga.
Komposisi Pemilik Saham Perusahaan Pengembang Meikarta
Dalam pusaran kasus Meikarta, penting bagi publik untuk mengetahui juga bagaimana gergasi properti Lippo ini membangun skema pembiayaan atau investasi dalam proyek tersebut. Kami menengarai investasi Meikarta melibatkan perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Singapura, Cina, hingga negara suaka pajak British Virgin Islands, wilayah luar negeri Britania Raya di kawasan Karibia, sebelah timur Puerto Riko.
Tepat dua bulan sebelum megaproyek Meikarta diresmikan oleh Riady pada Mei 2017, komposisi kepemilikan saham PT Mahkota Sentosa Utama telah berubah, sebagaimana terbaca dalam Laporan Tahunan 2017 PT Lippo Cikarang Tbk.
Sampai 31 Januari 2017, saham PT Mahkota dimiliki PT Megakreasi Cikarang Damai dan PT Great Jakarta Inti Development. Dua perusahaan ini masih anak perusahaan Lippo.
Lalu, per 1 Februari 2017, sebuah perusahaan yang terdaftar di Singapura bernama Peak Asia Investment Pte Ltd menguasai separuh saham PT Mahkota. Peak Asia diklaim Lippo adalah miliknya.
Per 10 Maret 2017, kepemilikan Lippo di Peak Asia tergerus dengan kehadiran Hasdeen Holdings Ltd. Seluruh saham Lippo dikontrol oleh Hasdeen.
Hasdeen adalah perusahaan cangkang yang terdaftar di British Virgin Islands. Berdasarkan basis data International Consortium of Investigative Journalist, konsorsium wartawan yang membongkar Panama Papers dan Paradise Papers, alamat yang tercantum dalam tautan Hasdeen adalah PO Box 957, Offshore Incorporations Centre, Road Town, Tortola; sama dengan 155 perusahaan cangkang lain yang muncul dalam bocoran dokumen Offshore Leaks.
Temuan lain muncul ketika kita membedah dokumen kepemilikan saham di internal Peak Asia. Perusahaan yang dibentuk pada 20 Januari 2017 ini memiliki 50 persen saham di PT Mahkota.
Dan tahukah Anda berapa nominal angka yang dibutuhkan Hasdeen untuk memiliki 100 persen saham Peak Asia? Tercatat uang yang dikeluarkan teramat sangat murah: hanya satu dolar AS atau sekitar Rp15 ribu.
Sebenarnya pihak Lippo tidak menutupi kehadiran Hasdeen. Nama Hasdeen kali pertama dimunculkan dalam laporan keuangan triwulan III 2017 oleh PT Lippo Cikarang Tbk.
"Berdasarkan perjanjian jual beli bersyarat tanggal 10 Maret 2017, perusahaan menyetujui keterlibatan Hasdeen Holdings Ltd, sebuah perusahaan yang didirikan di British Virgin Islands, dalam proyek baru PT Mahkota Sentosa Utama melalui penempatan investasi saham pada PEAK yang akan diterbitkan kemudian," tulis laporan internal perusahaan pada halaman 71.
Masih dari laporan yang sama, meskipun nilai saham Peak Asia hanya satu dolar AS, pada proses akuisisi Hasdeen ternyata diwajibkan menyetor uang sekitar Rp4 triliun. "Partisipasi tidak langsung Hasdeen melalui PEAK sebesar USD300.000.000 akan diangsur, terhitung sejak ditandatanganinya perjanjian ini sampai tanggal 31 Desember 2018," tulis laporan tersebut.
Jadi, pertanyaan: siapa korporasi di belakang Hasdeen?
Merujuk laporan keuangan triwulan I 2018 pada 31 Maret, Lippo masih menguasai 100 persen saham Peak Asia.
Klaim ini tentu janggal sebab, seperti yang tertera dalam dokumen kepemilikan saham, investor utama Peak Asia adalah Hasdeen, bukan Lippo. Jika Lippo masih mengklaim di belakang Peak Asia, lantas apakah Lippo sendiri di belakang Hasdeen?
Redaksi Tirto menghubungi Gea Ban Peng, yang namanya tercantum sebagai Direktur Peak Asia, untuk menjelaskan duduk perkara tersebut. Sayangnya, pertanyaan yang kami ajukan viasurel dan pesan WhatsApp hanya ia baca tanpa merespons satu pun pertanyaan kami.
Masih merujuk laporan keuangan triwulan I 2018, kepemilikan 100 persen saham PT Mahkota di bawah kendali Lippo. Jika mengaitkan hierarki antara PT Mahkota, Peak Asia, dan Hasdeen, klaim ini mengindikasikan Lippo-lah di balik perusahaan cangkang Hasdeen Holdings.
Jadi, informasi dalam laporan keuangan ini bertolak belakang dengan pernyataan James Riady sendiri. Ketika disodorkan pertanyaan komposisi pemilik Meikarta, ia menyebut: "Hampir 50 persen adalah investor asing."
Selain itu ia menyebut PT Mahkota menerima Rp2,5 triliun dari "investor eksternal" dari total Rp4 triliun sebagai uang muka pembelian saham. Total investasi ini sesuai perjanjian antara Hasdeen dan Peak Asia.
Klaim itu cocok dengan laporan investigasi Caixin, media yang berbasis di Beijing, pada awal Oktober lalu. Salah seorang direksi Meikarta kepada Caixin mengakui kepemilikan Lippo di Meikarta tak lebih dari 51 persen. Sisanya dikuasai oleh perusahaan-perusahaan Cina.
Pada 2016, pihak Lippo mengakui megaproyek Meikarta akan didanai Shenzhen Yantian Port Group Co. Ltd dan Country Garden Holdings Co. Ltd. Informan Caixin menyebut dua perusahaan di atas masih investor di Meikarta.
Meski begitu, saat redaksi Tirto mengontak staf komunikasi Coutry Garden mengenai proyek luar negerinya, ia berkata kerja sama itu sudah berakhir. Ia mengatakan para direksi semula sepakat berinvestasi di Meikarta tapi, setelah menemukan pelbagai masalah, rencana itu urung dilakukan.
"Kami tidak pernah menandatangani perjanjian apa pun. Jadi tak pernah ada divestasi karena memang tak ada investasi," katanya.
Selain dua perusahaan di atas, Lippo mengklaim menjalin kerja sama dengan China State Construction Engineering Corp. Ltd., perusahaan BUMN Cina yang memegang pelaksana megaproyek Meikarta.
"Kami akan bekerja keras untuk membangun Meikarta dengan cepat dan berkualitas," ucap manajer operasinya Chen Chaojin, yang hadir dalam perayaan progres pembangunan Meikarta pada 26 Mei 2018, seperti dikutip dari BeritaSatu.
Namun, apakah relasi ini hanya kerja sama tender konstruksi atau investasi yang dikonversi jadi saham?
Kami mencoba mengklarifikasi perihal ini kepada Direktur Komunikasi Publik Lippo Group Danang Kemayan Jati, tapi ia sama sekali tak merespons.
Begitu juga saat kami menyodorkan relasi antara Lippo, PT Mahkota, Peak Asia, dan perusahaan cangkang Hasdeen Holdings, Danang hanya membaca pesan WhatsApp tanpa membalas.
Jika memang betul perusahaan Cina di balik Hasdeen, mengapa investasi ini mesti disembunyikan lewat perusahaan cangkang?
Meski begitu, jika melihat konfigurasi kepemilikan saham di atas, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo lebih yakin Lippo-lah di balik Hasdeen Holdings. Ia menyebut skema macam ini adalah bagian dari trik Lippo mengaburkan kepemilikan perusahaan di belakang Meikarta.
"Dari sisi bisnis ini bagian dari manajemen risiko. Kalau kelak Meikarta berhasil, nanti Lippo akan muncul lagi," kata Prastowo.
"Skema ini membuat Lippo lebih aman jika ada masalah hukum. Karena secara formal, hanya indirect atau bahkan tidak ada hubungan sama sekali sampai beberapa layer di atas," tambahnya, merujuk keberadaan perusahaan cangkang tersebut bakal jadi keuntungan tersendiri dalam kasus korupsi suap Meikarta.
Salah satu modus utama pengusaha membentuk perusahaan cangkang biasanya untuk menghindari pajak.
Dalam promosi publik megaproyek Meikarta, yang digelar PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK) di Hotel Aryaduta pada 5 Juni 2018, seorang pemilik saham individu bernama Edo mengajukan pertanyaan ini: "Hasdeen Holdings Ltd memiliki saham 100% di Peak. Peak punya 50% saham di MSU (Meikarta). Apakah profit tersebut akan diakui sebagian di LPCK?"
Pihak Lippo menjawab singkat: "Sesuai peraturan Penyataan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku, maka besar profit berdasarkan besarnya kepemilikan saham masing-masing."
Jika merujuk dokumen kepemilikan saham PT Mahkota, jawaban Lippo di atas otomatis mengindikasikan hampir 50 persen keuntungan Meikarta akan lari ke perusahaan cangkang Hasdeen Holdings. Mungkinkah kehadiran Hasdeen bagian dari Lippo untuk mengakali pajak?
"[Saat ini] mungkin tidak langsung ke pajak, ya. Masih terlalu jauh karena belum beroperasi. British Virgin Islands itu lebih fleksibel. Bisa buat pajak, restrukturisasi, utang, dan lain-lain," ujar Prastowo.
=======
Tambahan:
Saat artikel ini dibuat (22/10) pihak PT Lippo Cikarang Tbk belum merilis laporan keuangan 2018 triwulan II. Dalam laporan terbaru yang keluar pertengahan pekan ini muncul temuan menarik lain.
Dari laporan triwulan II tercatat Lippo sudah tak lagi menguasai Peak Asia, pemilik separuh saham PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) yang menggarap Meikarta: "Perusahaan melepas seluruh kepemilikan saham di PEAK kepada Hasdeen Holdings Limited, pihak ketiga, dengan harga pengalihan sebesar SGD 1." (Baca halaman 8.)
Selain itu, dikutip dari Koran Kontan, Lippo mengaku telah menghilangkan konsolidasi proyek Meikarta. Klaim ini terlihat dari laporan keuangan terbarunya. Pada nilai aset PT Mahkota ada pengurangan aset yang semula Rp6,636 triliun pada 31 Desember 2017 menjadi nol rupiah pada 30 Juni 2018.
Jadi saat ini status Lippo tak lagi jadi pemilik mayoritas PT Mahkota. Komposisi sahamnya tinggal 47,73 persen.
"Sebagai akibat dari peningkatan modal pada MSU dan pelepasan seluruh kepemilikan saham di PEAK, perusahaan kehilangan pengendalian atas MSU dan tidak mengkonsolidasi MSU," tulis laporan itu.
Dengan kata lain, pengendali saham mayoritas proyek Meikarta berpindah ke perusahaan cangkang Hasdeen Holdings.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam