tirto.id - Taryudi baru sampai jalanan menuju rumahnya yang berada di kawasan Perumahan Clustrer Bahama, Cikarang Pusat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Minggu siang (14/10/2018), selepas bertemu dengan Neneng Rahmi, Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR, Kabupaten Bekasi. Belum sampai rumah, Taryudi langsung diadang satuan tugas penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi sekitar pukul 11.05.
Lelaki yang bekerja sebagai konsultan untuk Lippo Group itu ditangkap satgas KPK lantaran ketahuan baru saja menyuap Neneng. Saat penangkapan, satgas mendapati uang 9.000 dolar Singapura dan Rp23 juta.
Bersamaan dengan penangkapan Taryudi, KPK rupanya sudah menyebar tim. Di Surabaya, Jawa Timur, tim KPK menangkap Fitra Djaja Purnama, rekan seprofesi Taryudi di Lippo Group.
Seturut setelah penangkapan dua pegawai Lippo ini, satgas KPK menangkap Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Jamaluddin, pegawai Lippo Group Henry Jasmen, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Bekasi Sahat MBJ Nahor, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu (DPM-PPT) Kabupaten Bekasi Dewi Trisnawati, dan empat orang lainnya AB, D, K, S, yang kemudian dipulangkan.
“Semuanya langsung dibawa ke Gedung KPK, untuk diperiksa,” kata Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif, saat memberikan keterangan pers, Senin malam (15/10/2018).
Dari 10 orang yang ditangkap KPK, 9 orang ditetapkan sebagai tersangka. Empat orang berperan sebagai pemberi suap yakni: Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro; konsultan Lippo Group, Taryudi dan Fitra Djaja Purnama, serta Henry Jasmen yang merupakan pegawai Lippo.
Sedangkan tersangka yang merupakan penerima adalah Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin, Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Jamaluddin, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Bekasi Sahat MBJ Nahor, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu (DPM-PPT) Kabupaten Bekasi Dewi Trisnawati, dan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR, Kabupaten Bekasi Neneng Rahmi.
“Suap ini terkait dengan pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi,” kata Syarif melanjutkan.
Pemberian ini merupakan bagian dari komitmen fee sebesar Rp13 miliar melalui sejumlah dinas. Sejauh ini, Lippo Group baru memberikan Rp7 miliar untuk pengurusan sejumlah izin proyek terkait yang dibagi menjadi fase pertama 84,6 hektare (ha), fase kedua 252,6 ha, dan fase ketiga 101,5 ha. Tiga fase ini totalnya 438,7 ha [dalam rilis KPK mencapai 774 ha].
“Diduga pemberian [suap] terkait izin-izin yang sedang diurus,” imbuh Syarif.
Suap Pemulusan untuk Izin yang Bermasalah
Suap dari Lippo Group untuk Bupati Bekasi ini sebenarnya punya akar masalah yang panjang. Keberadaan suap ini seolah mengonfirmasi jejak masalah yang sempat dilaporkan Tirto pada 21 Agustus 2017.
EY Taupik, Kepala Prasarana Wilayah dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bekasi, sempat menceritakan kepada Tirto pada Agustus 2017, duduk masalah proyek Meikarta bisa diurut sejak 1996.
Saat itu, kata dia, Lippo Group—perusahaan publik milik konglomerat Riady, salah satu keluarga superkaya di Indonesia— telah memiliki rancangan utama (masterplan) di kawasan tersebut lewat izin lokasi dari pemerintah Provinsi Jawa Barat. Izin ini sebagai bagian dari pengembangan Lippo Cikarang. Waktu itu belum ada istilah Meikarta, ujar Taupik.
“Nah, setelah itu dia mengajukan sekarang, tapi karena sudah terlalu lama, ini ada yang sesuai, ada yang tidak sesuai dengan RTRW kami. Nah, yang tidak sesuai ini masih belum kami keluarkan izinnya,” kata Taupik.
Taupik mengatakan, tak semua dari total lahan 360 ha milik Lippo untuk proyek Meikarta memenuhi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bekasi (PDF). Kawasan itu ada yang memang untuk pengembangan kawasan hunian, tetapi ada sebagian lain untuk zona pengembangan kawasan industri.
Dari jumlah itu, Lippo mengajukan izin seluas 140 ha, tapi yang lolos untuk izin peruntukan lahan hanya 84 ha. Luas 84 ha ini sama dengan keterangan Laode M. Syarif soal pengurusan fase pertama proyek yang dilakukan Billy Sindoro dan kawan-kawan dalam suap ini.
Namun dalam brosur iklan—dan ragam promosi lain—Lippo memakai angka 500 ha untuk kawasan apa yang mereka sebut “Kota Baru Meikarta.” Taupik menyebut angka itu keliru. Luas lahan yang diajukan Lippo Group sejak awal hanya 360 ha—setara 4,5 kali luas taman monumen nasional (Monas).
“Jadi kalau katanya Meikarta itu [luasnya] 500 hektare, terdiri dari ini dan itu—ini kayak yang saya bilang tadi: jualan aja,” kata Taupik.
Dengan hanya bermodal izin peruntukan penggunaan tanah seluas 84 ha, Lippo dengan jualan merek “Meikarta” tak bisa langsung menggarap bangunan fisik, baik untuk sentra permukiman maupun bisnis, karena harus mengantongi izin lain, di antaranya, izin lingkungan, lalu lintas, air, limbah, hingga izin konstruksi.
Semua izin ini masih dalam proses evaluasi di tangan Pemkab Bekasi, dan menunggu rekomendasi dari Pemprov Jabar karena proyek ini dianggap “strategis”.
“Sertifikat tanah [keseluruhan] sudah dikuasai, tapi [Lippo] tidak ada de jure [kekuatan hukum] untuk membangun,” kata Taupik.
CEO Meikarta Ketut Budi Widjaja mengamini bahwa baru 84 ha yang baru dikantongi untuk izin peruntukan lahan. Namun, ia menepis anggapan bila klaim luas Meikarta sampai 500 hektare—seperti tertera dalam iklan atau brosur—adalah pembohongan publik.
Ketut beralasan, pembangunan Meikarta memang dilakukan bertahap—per blok atau tidak sekaligus—sehingga nanti total luasnya 500 ha.
“Yang kami jual (ke konsumen), kan, yang 84 hektare. Perizinan secara bertahap kami lakukan,” kata Ketut.
Keterangan Taupik dan Budi pada Agustus tahun lalu, seolah mengonfirmasi tangkap tangan suap akhir pekan lalu. Izin lingkungan, lalu lintas, air, limbah, hingga izin konstruksi ini yang diduga “diurus” lewat suap Billy Sindoro Cs kepada petinggi Kabupaten Bekasi yang punya kaitan dengan izin ini seperti Dinas PUPR dan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu dicokok dalam operasi tangkap tangan KPK.
Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif pun sedikit memberi penjelasan soal alur suap dan peruntukannya.
“Keterkaitan sejumlah dinas dalam proses perizinan karena proyek tersebut cukup kompleks, yakni memiliki rencana pembangunan apartemen, pusat perbelanjaan, rumah sakit, hingga tempat pendidikan. Sehingga dibutuhkan banyak perizinan, di antaranya rekomendasi penanggulangan kebakaran, amdal, banjir, tempat sampah, hingga lahan makam.”
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti