Menuju konten utama

Jejak Sindoro Bersaudara dalam Kasus Korupsi Kakak-Adik di KPK

Billy dan Eddy Sindoro memperpanjang daftar kakak-adik yang terjerat kasus korupsi. Billy pernah terlibat suap komisioner KPPU pada 2008.

Jejak Sindoro Bersaudara dalam Kasus Korupsi Kakak-Adik di KPK
Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro mengenakan rompi tahanan seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Selasa (16/10/2018). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/aww.

tirto.id - Billy Sindoro resmi ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah menjalani pemeriksaan 15 jam, pada Selasa (16/10/2018). Direktur Operasional Lippo Group itu ditangkap KPK karena menjadi tersangka pemberi suap kepada Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin dan empat pejabat Pemkab Bekasi. Billy ditahan selama 20 hari pertama di rumah tahanan Polda Metro Jaya.

"Suap ini terkait dengan pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi," kata Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif pada Senin malam, 15 Oktober 2018.

Kasus ini terbongkar setelah KPK menggelar Operasi Tangkap Tangan pada Minggu (14/10) di Bekasi dan Surabaya. KPK menemukan bukti suap yang sudah terealisasi mencapai Rp7 miliar atau diduga separuh lebih dari uang komitmen suap untuk fase pertama senilai Rp13 miliar. Diduga, pemberian suap terkait dengan izin-izin proyek yang terbagi dalam tiga fase: seluas 84,6 hektare, 252,6 hektare dan 101,5 hektare.

Pada kasus suap ini, KPK menetapkan sembilan tersangka dan semua telah ditahan. Selain Billy, 2 konsultan Lippo Group juga telah ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap, yakni Taryudi dan Fitra Djaja Purnama. Satu tersangka pemberi suap lain ialah pegawai Lippo Group, Henry Jasmen.

Lima tersangka lain berstatus sebagai penerima suap. Bupati Neneng menjadi tersangka dengan status jabatan tertinggi. Empat tersangka lain: Jamaludin (Kepala Dinas PUPR Pemkab Bekasi), Sahat MBJ Nahor (Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Pemkab Bekasi), Dewi Tisnawati (Kepala Dinas DPMPTSP Pemkab Bekasi) dan Neneng Rahmi (Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Pemkab Bekasi).

Setelah menahan 9 tersangka, KPK menggeledah Kantor Lippo Group di Menara Matahari, Lippo Karawaci, Kota Tangerang, Banten, pada Rabu (17/10) dan kediaman CEO Lippo Group James Riady, Kamis (18/10). Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan membuka peluang Lippo Group menjadi tersangka dalam kasus suap izin Meikarta.

"Bisa saja, tergantung hasil penyidikan," kata Basaria kepada reporter Tirto, kemarin.

Kasus suap ini memperkuat temuan Tirto soal permasalahan izin Meikarta yang disorot sejak 2017. Properti di proyek ini tercatat sudah dipasarkan saat izin peruntukan lahan dan konstruksinya belum muncul.

Kepala Prasarana Wilayah, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bekasi, EY Taupik pernah mengakui bahwa peruntukan sebagian lahan proyek Meikarta tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bekasi.

Peruntukan lahan proyek milik Lippo Group itu ada yang untuk hunian dan lainnya guna pengembangan kawasan industri. Selain itu, brosur iklan “Kota Baru Meikarta” sempat menyebut proyek itu seluas 500 hektare. Tapi, kata Taupik, info itu salah sebab luas lahan yang diajukan Lippo sejak awal cuma 360 hektare.

Billy Sindoro Pernah Menyuap Komisioner KPPU

Billy Sindoro bukan sekali ini berurusan dengan KPK. Ia pernah menjadi terpidana di kasus suap untuk Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Muhammad Iqbal. Pada kasus itu, Iqbal divonis 4,5 tahun penjara pada 2009 dan Billy dihukum 3 tahun bui dan denda Rp200 juta. Billy mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas vonis itu, tapi Mahkamah Agung (MA) menolaknya pada Juli 2009.

Kasus ini juga bermula dari operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK pada September 2008. Billy ditangkap tidak lama setelah Iqbal kedapatan membawa tas berisi uang Rp500 juta. Suap ini berkaitan dengan kasus Hak Siar Barclays Premier League (Liga Inggris). Saat kasus suap ini terjadi, status Billy adalah Komisaris pada PT Bank Lippo Tbk dan Eksekutif pada Lippo Group. Ia mewakili kepentingan Lippo Group di PT First Media dan PT Direct Vision.

Kasus ini terkait dengan langkah KPPU memeriksa laporan PT Indonusa Telemedia, PT Indosat Mega Media, dan PT Media Nusantara Citra Sky Vision. Tiga perusahaan itu mengadukan dugaan pelanggaran UU Nomor 5/2009 terkait hak siar Liga Inggris yang dilakukan PT Direct Vision, Astro All Asia Networks, Plc, ESPN Star Sports dan All Asia Multimedia Networks (AAMN). Salah satu anggota majelis KPPU yang menangani perkara ini pada awal 2008 ialah Iqbal.

Billy menyuap Iqbal dengan tujuan komisioner KPPU itu membantu Direct Vision. Iqbal diminta memasukkan klausul "injuction" dalam putusan KPPU. Klausul itu meminta AAMN tidak memutuskan kerja sama dengan Direct Vision sebelum ada penyelesaian hukum mengenai status kepemilikan Direct Vision. Setelah permintaannya dipenuhi, Billy memberikan duit Rp500 juta kepada Iqbal.

Eddy Sindoro Terlibat Suap Panitera

Adik Billy, Eddy Sindoro ditahan sekitar 4 hari sebelum kakaknya resmi menjadi tahanan KPK. Eddy terlibat dalam pemberian suap untuk Panitera/Sekretaris sekretaris PN Jakarta Pusat Edy Nasution.

Eks Presiden Komisaris Lippo Group itu menyerahkan diri ke KPK setelah menjadi pelarian dengan bermukim di empat negara selama 2 tahun sejak 2016. Dia sempat ditangkap akhir Agustus 2018, tapi berhasil kabur lagi dengan bantuan pengacara bernama Lucas.

Dalam kasus suap yang melibatkan Eddy, Panitera Edy Nasution telah menerima hukuman. Putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan vonis hukuman 8 tahun penjara dan denda senilai Rp300 juta untuk Edy Nasution. Putusan MA menyatakan Edy Nasution menerima suap untuk mengurus tiga hal atas permintaan sejumlah orang yang diperintah Eddy Sindoro.

Pertama, Edy Nasution menerima suap Rp1,5 miliar terkait pengurusan perubahan redaksional Surat Jawaban dari PN Jakarta Pusat yang menolak permohonan eksekusi lanjutan dari ahli waris berdasar Putusan Raad Van Justitie Nomor 232/1937 tanggal 12 Juli 1940 atas tanah di Tangerang. Atau, suap itu agar Edy Nasution selaku panitera tidak mengirimkan surat itu kepada Pemohon Eksekusi Lanjutan.

Tanah itu milik ahli waris bernama Tan Hok Djioe. Sejak 1980-an, ia menuntut eksekusi pengambil alihan lahan yang dikuasai PT JBC (anak usaha Lippo) dan menjadi lokasi lapangan golf Gading Raya Serpong. Karena eksekusi tak kunjung terlaksana, Tan Hok Djioe pun mengirim lagi sejumlah surat permohonan hingga awal 2015. Eddy Sindoro meminta bawahannya untuk menemui panitera Edy Nasution guna mendorong PN Jakpus menolak permohonan itu.

Kedua, Edy Nasution terbukti menerima sogokan Rp100 juta guna membantu penundaan teguran (aanmaning) perkara niaga PT. Metropolitan Tirta Perdana (MTP) melalui PN Jakarta Pusat sesuai Putusan Badan Arbitrase Internasional Singapura (SIAC) Nomor 62 Tahun 2013 tanggal 1 Juli 2013, ARB Nomor 178 Tahun 2010.

Ketiga, Edy Nasution juga terbukti mendapat suap sebesar 50 ribu dolar AS ditambah Rp50 juta untuk membantu pengurusan pengajuan peninjauan kembali (PK) PT. Acros Asia Limited (PT. AAL) dalam perkara niaga melalui PN Jakarta Pusat meskipun telah melewati batas waktu.

Kasus ini sebenarnya juga menyeret nama mantan Sekretaris MA Nurhadi. Nama Nurhadi disebut 66 kali di putusan kasasi MA untuk terpidana Edy Nasution. Misalnya, Eddy disebut pernah menghubungi Nurhadi untuk menanyakan pengiriman berkas PK dari PT AAL yang belum dilakukan. Nurhadi lalu menghubungi Edy Nasution untuk meminta percepatan pengiriman berkas itu. Hingga kini, Nurhadi belum ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK.

Infografik CI Suap Meikarta

Daftar Kakak-Adik yang Terlibat Korupsi

Penahanan Sindoro bersaudara ini menambah panjang daftar Kakak-Adik yang terseret dalam kasus korupsi, baik dalam perkara yang sama atau tidak. Kasus yang melibatkan kakak-adik paling heboh dalam sejarah berdirinya KPK ialah perkara Anggodo Widjojo dan Anggoro Widjojo. Kasus ini masuk dalam pusaran konflik KPK vs Polri pada 2009 atau dikenal dengan sebutan Cicak vs Buaya.

Anggodo pernah melaporkan dua pimpinan KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah kepada Polri dengan tuduhan melakukan pemerasan. Laporan itu bertujuan menghambat proses penyidikan di kasus suap yang melibatkan Anggoro Widjojo.

Tudingan bahwa dua pimpinan KPK tersebut menerima suap dari Anggodo membuat KPK menerima beban berat. Upaya kriminalisasi terhadap 2 pimpinan KPK itu gagal setelah ada tekanan hebat dari publik pada masa awal periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Putusan kasasi MA pada tahun 2011 menjatuhkan vonis 10 tahun penjara dan denda Rp250 juta kepada Anggodo karena terbukti melakukan “Permufakatan Jahat Melakukan Tindak Pidana Korupsi dan Merintangi Penyidikan Korupsi Secara Bersama-Sama.” Ia bebas tahun 2015 lalu dan meninggal dunia pada 7 September 2018.

Sementara Anggoro Widjojo sempat buron sejak Juli 2009 dan baru tertangkap 5 tahun kemudian. Pada Juli 2014, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp250 juta kepada Anggoro. Dia menyatakan menerima vonis itu.

Majelis Hakim menyatakan Anggoro terbukti menyuap untuk mendapatkan proyek revitalisasi Sistem Radio Komunikasi Terpadu (SKRT) Kementerian Kehutanan pada 2007. Pemilik PT Masaro Radiokom itu menebar suap kepada eks Ketua Komisi IV DPR Yusuf Erwin Faishal. Suap lalu mengalir pula ke sejumlah anggota Komisi IV DPR, Sekjen Kementerian Kehutanan 2005-2007 Boen Mochtar Purnama dan Menteri Kehutanan 2004-2009 Malem Sambat Kaban. Suap dari Anggoro mencapai ratusan ribu dolar AS.

Kasus lain penjerat kakak-adik ialah korupsi Hambalang. Kasus ini menjerat mantan Menpora Andi Malarangeng dan Andi Zulkarnain Anwar (Choel) Malarangeng selaku terpidana. Keduanya terbukti ikut mengarahkan proses pengadaan di proyek Hambalang. Andi bebas pada 19 Juli 2017 usai divonis hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta pada 2014. Choel pun, yang juga terbukti menerima suap untuk memperkaya kakaknya, divonis 3,5 tahun penjara dan denda Rp250 juta pada 6 Juli 2017.

Selain itu, juga ada kasus korupsi yang menjerat kakak-adik dari dinasti penguasa lokal di Banten. Eks Gubernur Banten Atut Chosiyah dan adiknya, Chaeri Wardana, terbukti terlibat di kasus penyuapan eks Ketua MK Akil Mochtar dan korupsi pengadaan alat kesehatan yang didanai APBD Banten TA 2012.

Baca juga artikel terkait KASUS SUAP MEIKARTA atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Hukum
Reporter: Addi M Idhom
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom