tirto.id - Sidang kasus dugaan korupsi pengadaan alat monitoring satelit di Badan Keamanan Laut (Bakamla) di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (24/1/2018), mengungkap dugaan adanya aliran dana untuk penyelenggaraan Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar pada 2016.
Dalam persidangan terungkap soal uang yang mengalir lewat anggota Fraksi Golkar di DPR, Fayakhun Andriadi yang disebut menerima fee dari proyek drone dan satellite monitoring (satmon).
Dari sejumlah fee yang dijanjikan, Fayakhun yang juga menjabat sebagai Ketua DPD I Golkar DKI ini, disebut pernah meminta agar uang sebesar 300 ribu dolar AS dibayarkan lebih dulu oleh perusahaan rekanan di Bakamla. Uang sebesar itu diminta diberikan secara tunai. Ini terungkap dalam percakapan di WhatsApp antara Fayakhun Andriadi dengan Managing Director PT Rohde and Schwarz Erwin Arif pada 4 Mei 2016 yang ditunjukkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan Rabu lalu. Percakapan itu juga mengungkap dugaan nama Setya Novanto terlibat, tapi telah dibantah oleh Novanto.
Saat itu, Fayakhun adalah salah satu tim sukses Setya Novanto dalam Munas Luar Biasa Partai Golkar, di Bali pada Mei 2016. Kala itu Novanto terpilih secara aklamasi sebagai ketua umum.
Saat dikonfirmasi Tirto, Kamis (25/1/2018), Fayakhun cenderung tertutup mengenai hal ini. Ia hanya menyerahkan kasus ini kepada proses hukum dan tidak mau berkomentar lebih lanjut.
“Saya no comment," kata Fayakhun singkat.
Politikus Golkar yang lain pun ramai-ramai membantah adanya aliran dana korupsi proyek pengadaan alat satelit dan drone di Bakamla yang masuk untuk pendanaan Munaslub Golkar. “Tidak ada. Tidak ada uang masuk dari itu,” kata Bendahara Umum Golkar, Robert Jopi Kardinal, kepada Tirto, Kamis petang (25/1/2017).
Robert memastikan, seluruh dana yang masuk ke rekening Partai Golkar, sebelum dirinya menjabat sebagai bendahara umum, maupun setelah menjabat tidak ada yang bersumber dari pendanaan, selain dari pendanaan resmi partai.
“Semua uang yang masuk itu resmi sesuai undang-undang. Dari sumbangan terdaftar dan dari iuran anggota,” kata Robert.
Khusus untuk sebelum Munaslub Golkar 2016, Robert menyatakan, sepengetahuan dirinya tidak ada dana yang masuk ke rekening partai dari Fayakhun, yang disebut meminta dana success fee untuk pelolosan anggaran proyek Bakamla kepada Erwin Arif.
Nilai 300 ribu dolar AS itu berasal dari bagian 900 ribu dolar AS yang merupakan fee dari anggaran Rp1,22 triliun. Rinciannya, untuk proyek drone senilai Rp720 miliar dan satellite monitoring (satmon) senilai Rp500 miliar yang totalnya Rp1,22 triliun. Selain itu, aliran juga diduga masuk dari PT Merial Esa, terkait memuluskan blokir anggaran drone di DPR.
Bantahan yang sama juga disampaikan Ketua OC Munaslub Golkar 2016, Zainudin Amali. Menurut dia, pendanaan Munaslub Golkar saat itu bersumber dari kas partai. "Munaslub itu tanggungan partai. Jadi pakai kas partai," kata Amali kepada Tirto, di DPP Gokar, Kamis (25/1) sore.
Namun, Amali mengaku, tidak mengetahui secara rinci jumlah pendanaan yang masuk untuk penyelenggaraan Munaslub Golkar 2016. Menurut dia, hal itu berada di wilayah bendahara OC Munaslub saat itu, Tantowi Yahya yang saat ini sedang berada di luar negeri menjadi duta besar Indonesia untuk Selandia Baru.
Sementara itu, Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah Timur DPP Golkar, Melchias Markus Mekeng mengatakan, ada pihak yang secara sengaja mencatut nama besar Golkar di proyek Bakamla.
"Kalau yang namanya uang partai itu adalah uang yang masuk ke dalam rekening partai. Jadi kalau uang tidak masuk rekening partai itu hanya orang jual-jual nama," kata Mekeng, di Kantor DPP Golkar.
Wakil Ketua Bidang Pratama Golkar, Bambang Soesatyo meminta, agar kasus korupsi Bakamla tidak disangkut pautkan dengan Golkar. Menurut pria yang juga Ketua DPR ini, Fayakhun saat itu tidak masuk dalam struktur kepanitiaan Munaslub Golkar.
"Oh enggak ada. Fayakhun itu, kan, tidak masuk dalam struktur dan masuk dalam kelompoknya Pak Novanto kalau enggak salah. Saya, kan, Akom (kubu Ade Komaruddin)” kata Bambang, di Kompleks DPR, Senayan, Kamis kemarin.
Bukan Kasus yang Pertama
Dugaan aliran dana korupsi untuk kongres partai yang menyeret Golkar, bukan lah kasus yang pertama. Dalam kasus korupsi Hambalang, misalnya, Anas Urbaningrum disebut menerima sejumlah dana dari proyek Hambalang yang digunakan untuk pencalonan dirinya sebagai ketua umum partai, pada Kongres Demokrat, di Bandung pada 2010.
Dalam dakwaan pertama, Anas dinilai terbukti menerima hadiah sebesar Rp57,59 miliar dan 5,26 juta dolar AS yaitu berasal dari PT Adhi Karya sebesar Rp2,2 miliar yang digunakan untuk pencalonan Anas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat melalui Teuku Bagus Mukhammad Noor.
“Selanjutnya uang dari Permai grup sebesar Rp25,3 miliar dan 36 ribu dolar AS; ditambah Rp30 miliar dan 5,2 juta dolar AS,” kata anggota majelis hakim Sutio Jumadi saat membacakan vonis Anas, di Pengadilan Tipikor Jakarta, seperti dikutip Antara, 24 September 2014.
Uang itu digunakan untuk pembayaran penyewaan apartemen Senayan City dan Ritz Carlton, biaya menghadirkan ratusan Dewan Pimpinan Cabang di Hotel Sultan, biaya makan di restoran, memberikan uang saku untuk setiap DPC, koordinator DPC dan biaya hiburan, biaya melalukan roadshow ke seluruh wilayah Indonesia, biaya deklarasi pencalonan sebagai ketua umum di Hotel Sultan, pembayaran event organizer.
Penyelidikan proyek Hambalang ini berawal dari temuan KPK saat melakukan penggeledahan di Kantor Grup Permai milik Nazaruddin, pada 2012 terkait penyidikan kasus dugaan suap wisma atlet SEA Games. Nazaruddin yang juga terdakwa kasus dugaan suap proyek wisma atlet menyebutkan adanya keterlibatan Anas dalam kasus Hambalang.
Di persidangannya, Nazaruddin menyebut, ada aliran dana Hambalang ke Anas. Saat itu, Nazaruddin mengatakan dalam Kongres Demokrat 2010, Anas membagi-bagikan hampir 7 juta dolar AS kepada sejumlah dewan pimpinan cabang. Uang 7 juta dolar AS tersebut berasal dari Adhi Karya selaku pelaksana proyek Hambalang.
Awalnya, Anas membantah kesaksian Nazaruddin tersebut. Namun, setelah KPK menindaklanjuti kasus Hambalang, komisi menemukan bukti adanya aliran dana korupsi yang digunakan Anas untuk mencalonkan diri sebagai ketua umum, pada Kongres Partai Demokrat, di Bandung pada 2010.
Anas telah divonis 8 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta, pada 24 September 2014. Kemudian, pada putusan banding di Pengadilan Tinggi, hakim mengurangi hukuman Anas menjadi 7 tahun penjara. Namun, dalam putusan kasasi Mahkamah Agung, hukuman Anas kembali diperberat menjadi 14 tahun penjara.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz