tirto.id - Muhammad Nazaruddin kembali bernyanyi dalam sidang kasus korupsi e-KTP yang berlangsung di pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (3/4/2017). Mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat ini membeberkan keterlibatan sejumlah nama dalam skandal korupsi yang merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun itu.
Pada sidang keenam kasus e-KTP tersebut, Nazaruddin berkicau soal peran sejumlah nama yang disebut dalam berkas dakwaan kasus e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto. Ia secara fasih membeberkan keterlibatan Anas Urbaningrum, Ignatius Mulyono, dan Mustoko Weni. Menurut Nazaruddin, dirinya bersama Ignatius Mulyono dan Mustoko Weni pernah bertemu dengan Anas pada tahun 2009 untuk membahas proyek e-KTP.
Saat itu, menurut Nazaruddin, ia bersama Ignatius Mulyono dan Mustoko Weni menghadap Anas selaku Ketua Fraksi Demokrat. Menurut Nazaruddin, program e-KTP sudah berjalan jauh sebelum tahun 2009, namun anggaran yang diusulkan mulai dari periode APBN-P 2010. Selain itu, proyek e-KTP kemungkinan akan dibuat dengan program multiyears.
“Karena program multiyears dengan anggaran yang cukup fantastis Rp6 triliun itu harus ada dukungan dari Fraksi Partai Demokrat sebagai fraksi paling besar di DPR waktu itu,” kata Nazaruddin, seperti dikutip Antara.
Dalam kasus e-KTP ini, Anas Urbaningrum disebut menerima sejumlah 5,5 juta dolar AS, sementara Mustoko Weni disebut menerima dana sejumlah 408 ribu dolar AS dan Ignatius Mulyono disebut sejumlah 258 ribu dolar AS.
Selain itu, Nazaruddin juga menyebut keterlibatan nama lain, seperti Khatibul Umam Wiranu, Mohammad Jafar Hafsah, Melchias Markus Mekeng, Ganjar Pranowo, hingga Andi Agustinus atau Andi Narogong. Namun, dalam kesaksiannya kali ini, pria kelahiran 26 Agustus 1978 itu tidak menyebut keterlibatan Setya Novanto, padahal dalam beberapa kali ocehan sebelumnya, Nazaruddin secara tegas menyebut Novanto terlibat dalam skandal kasus e-KTP ini.
Misalnya, dalam ocehan Nazaruddin pada Agustus 2013. Ia secara gamblang menyebut megaproyek e-KTP ini dikendalikan oleh Anas dan Setya Novanto, sedangkan dirinya berperan sebagai pelaksana. “Lalu saya ditanya siapa yang aktif dan terlibat di proyek e-KTP, saya sampaikan yang mengendalikan adalah namanya [Setya] Novanto, sama Anas [Urbaningrum], siapa pelaksananya? Ada saya, Adi Saptinus,” kata Nazaruddin kala itu.
Aliran Dana e-KTP Versi Nazaruddin
Pada sidang keenam kasus e-KTP ini, Nazaruddin mengatakan bahwa Mustoko Weni dan Ignatius Mulyono berperan penting dalam mengatur aliran dana proyek e-KTP. Menurut Nazaruddin, sebelum adanya penyerahan dana proyek e-KTP itu, terlebih dahulu ada pertemuan antara Mustoko dan Ignatius Mulyono dengan Andi Narogong yang saat ini telah ditetapkan sebagai tersangka.
Menurut Nazaruddin, pertemuan ketiganya membicarakan tentang mekanisme penyerahan aliran dana suap proyek e-KTP ke sejumlah pihak di DPR. “Waktu itu sudah disepakati hasil pertemuan itu pertemuan dengan Mustoko Weni dan Ignatius terus pak Andi [Narogong] bagaimana pola pemberian kepada teman-teman di DPR,” kata Nazaruddin dalam persidangan proyek e-KTP, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (3/4/2017).
Menurut Nazaruddin, Mustoko Weni dan Mulyono merupakan pihak yang melobi sejumlah fraksi di DPR terkait megaproyek e-KTP tersebut. Keduanya, lanjut Nazaruddin, juga memperkenalkan Andi Narogong kepada Fraksi Partai Demokrat. Dalam pertemuan itu, Andi Narogong memaparkan langsung tentang urgensi proyek e-KTP kepada Anas Urbaningrum yang saat itu menjabat sebagai ketua fraksi.
Setelah pertemuan dengan Anas tersebut, lanjut Nazaruddin, Mustoko Weni dan Ignatius pun mengatur proses penerimaan dana, cara pembayaran, hingga cara pembagian aliran dana. Menurut Nazaruddin, dana yang diberikan kepada anggota DPR bervariasi sesuai dengan catatan dari Mustoko Weni.
Dalam catatan tersebut, uang diberikan kepada Ketua Banggar DPR RI sebesar 500 ribu dolar AS, Wakil Ketua Banggar DPR RI 250 ribu dolar AS, pimpinan Komisi II sebesar 200 ribu dolar AS, serta anggota mencapai 150 ribu dolar AS. Selain itu, sejumlah 150 ribu dolar AS juga dibagi-bagi kepada anggota komisi II sehingga satu anggota mendapatkan uang sebesar 10 ribu dolar AS.
Menurut Nazaruddin, Anas mengetahui tentang pemberian uang dilakukan di ruang kerja Mustoko Weni itu. Ia mengatakan, pemberian dana tersebut dihadiri oleh politisi Golkar, PAN, PDIP, dan Demokrat. Selain itu, Ketua Banggar 2009-2014 saat itu, Melchias Markus Mekeng juga ikut hadir dalam pertemuan tersebut.
Dalam pembagian uang di ruangan Mustoko Weni, seingat Nazaruddin, hanya Ganjar Pranowo yang menolak pemberian dana yang dianggarkan oleh Mustoko Weni. Menurut Nazaruddin, Ganjar menolak karena ia meminta jumlah uang sama dengan yang diberikan kepada Ketua Banggar saat itu.
“Pak Ganjar menolak dikasih 150.000. Dia enggak mau. Mau dikasih seperti ketua 500.000 (dolar AS)," kata Nazaruddin.
Kesaksian Nazaruddin tersebut bertolak belakang dengan pengakuan Ganjar saat menjadi saksi dalam sidang kelima kasus e-KTP, pada Kamis (30/3/2017) lalu. Saat itu, Ganjar mengaku memang pernah ditawari uang oleh koordinator Badan Anggaran Komisi II, Mustoko Weni terkait proyek e-KTP sebanyak tiga kali. Namun Ganjar menolak semua tawaran pemberian uang tersebut.
“Tawaran itu disampaikan setelah rapat, ‘Dik ini ada titipan',” ungkap Ganjar saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (30/3/2017). “Saya katakan, ‘tidak usah’. Tapi saya lupa rapat apa, karena ada beberapa kali rapat.”
Selain itu, dalam kesaksiannya di Pengadilan Tipikor, Nazaruddin juga menyebut bahwa Melchias Markus Mekeng dua kali menerima uang dari Andi Narogong. Total jumlah uang yang diterimanya mencapai 1,4 juta dolar AS. Begitu juga dengan Olly Dondokambey dan Mirwan Amir. Menurut Nazaruddin, Olly dan Mirwan masing-masing menerima dana dari suap e-KTP ini sebesar 1,2 juta dolar AS.
Mengalir untuk Kongres Demokrat hingga GP Anshor
Kesaksian Nazaruddin pada sidang e-KTP keenam tersebut juga mengungkap adanya aliran dana korupsi e-KTP untuk keperluan pemenangan Anas Urbaningrum pada kongres Partai Demokrat di Bandung, pada 20-23 Mei 2010.
Menurut Nazaruddin, saat itu ada aliran dana sebesar Rp20 miliar yang didapat dari tersangka korupsi e-KTP, Andi Narogong untuk membantu Anas merebut kursi Ketua Umum Partai Demokrat. “Dapat, Yang Mulia. Waktu itu mas Anas [Urbaningrum] untuk maju jadi Ketum, Andi bantu," ujar Nazaruddin.
Hakim pun langsung mencecar tentang keberadaan aliran dana Rp20 miliar dari Andi Narogong tersebut. Hakim menanyakan asal-muasal mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat ini mengetahui penyerahan uang tersebut. Nazaruddin pun mengaku mengetahui kehadiran dana tersebut karena uang itu diserahkan kepada bendahara fraksi Partai Demokrat.
Nazaruddin menambahkan bahwa uang itu ditaruh di ruang Bendahara Fraksi Partai Demokrat. Uang tersebut baru digunakan jelang hari pelaksanaan kongres Partai Demokrat. Uang tersebut digunakan untuk menyewa hotel, kebutuhan kampanye hingga dibagi-bagikan untuk pemenangan Anas.
Dana e-KTP tak hanya mengalir untuk suksesi Anas menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Dana suap e-KTP juga mengalir dalam pencalonan Khatibul Umam Wiranu saat maju sebagai calon ketua umum GP Anshor.
Menurut Nazaruddin, Khatibul Umam menerima pembagian dana proyek e-KTP sebanyak 400 ribu dolar AS. Uang tersebut digunakan Khatibul untuk upaya pemenangannya sebagai Ketua Umum GP Anshor.
“Betul, Yang Mulia, jadi saya terima duit senilai 500 ribu dolar AS. Uang itu dari proyek e-KTP. Tapi Pak Khatibul saya berikan 400 ribu dolar dulu katanya untuk memenangkan Ketua Umum GP Anshor,” kata Nazaruddin di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (3/4/2017).
Nazaruddin sempat menyinggung bahwa uang yang telah diberikan kepada Khatibul Umam untuk dapat dikembalikan kepadanya setelah Khatibul Umam gagal memenangi suksesi Ketum GP Anshor. Sebab, pertanggungjawaban uang tersebut terus ditanyakan oleh Anas Urbaningrum.
“Saya sudah coba memintanya karena kenyataannya dia tidak menang. Tapi dia bilang uangnya sudah habis, Yang Mulia, dibagi-bagikan tim suksesnya,” kata Nazaruddin.
Sebelumnya, Khatibul Umam membantah pernah mendapatkan uang dari proyek e-KTP ini. Ia membantah telah menerima aliran dana sebesar 400 ribu dolar AS dari proyek pengadaan e-KTP tersebut. “Saya Khatibul Umam Wiranu membantah menerima uang 400 ribu dolar dari proyek pengadaan e-KTP,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya, pada Jumat (10/3/2017).
Lebih lanjut Khatibul Umam menjelaskan bahwa dirinya adalah termasuk dari salah satu anggota Komisi II DPR yang tidak setuju terhadap besaran anggaran e-KTP sebesar Rp5,9 triliun serta anggaran tambahannya. Meski demikian ia mengaku setuju dengan gagasan pentingnya Single Identity Number (SIN) warga negara dalam bentuk e-KTP sebagai program pemerintah saat itu.
“Dan saya tidak pernah mau menandatangani dokumen persetujuan Komisi II. Lalu pada tahun 2012 itu saya dipindah tugas ke Komisi III. Dan pada akhir tahun 2013 saya ditugaskan sebagai Wakil Ketua Komisi II akhir 2013, saat proyek e-KTP sudah selesai,” ujarnya.
Ocehan Nazaruddin tidak hanya dalam kasus e-KTP ini, tetapi juga dalam beberapa kasus lain yang berhasil dibongkar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah satunya adalah skandal korupsi Wisma Atlet yang menyeret sejumlah politisi Partai Demokrat, seperti Angelina Sondakh, Andi Alifian Mallarangeng, hingga Anas Urbaningrum.
Akankah ocehan-ocehan Nazaruddin pada kesaksiannya di sidang korupsi e-KTP kali ini akan membuka kotak pandora skandal korupsi yang merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun ini?
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz