tirto.id - Mantan Ketua Fraksi Partai Demokrat, Anas Urbaningrum dihadirkan dalam sidang korupsi e-KTP, pada Kamis (6/4/2017). Kesaksian Anas diperlukan untuk mengonfirmasi pengakuan Muhammad Nazaruddin yang menyebut keterlibatan Anas dalam skandal korupsi yang merugikan negara Rp2,3 triliun.
Dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Tipikor Jakarta, pada Senin (3/4/2017), Nazaruddin membeberkan bahwa Anas Urbaningrum mendapatkan aliran dana proyek e-KTP, salah satunya untuk membiayai pemenangannya saat maju sebagai ketua umum dalam Kongres Partai Demokrat, di Bandung Jawa Barat, pada Mei 2010.
Menurut Nazaruddin, saat itu ada aliran dana sebesar Rp20 miliar yang didapat dari tersangka korupsi e-KTP, Andi Narogong untuk membantu Anas merebut kursi Ketua Umum Partai Demokrat. Nazaruddin mengatakan, dana tersebut bagian dari komitmen antara Andi Narogong dengan Anas terkait “fee” proyek e-KTP.
Dalam surat dakwaan terdakwa Irman dan Sugihartio disebutkan bahwa Anas menerima sejumlah duit secara bertahap. Misalnya, Anas disebut menerima dana sejumlah 500 ribu dolar AS yang diberikan melalui Eva Ompita Soraya.
Pemberian tersebut merupakan kelanjutan dari pemberian yang telah dilakukan pada April 2010 sejumlah 2 juta dolar AS yang diberikan melalui Fahmi Yandri. Dana tersebut sebagian digunakan untuk membayar akomodasi kongres Partai Demokrat di Bandung.
Selain untuk membiayai kongres, sebagian lagi diberikan kepada Khatibul Umam Wiranu, anggota Komisi II DPR sejumlah 400 ribu dolar. Dana tersebut menurut pengakuan Nazaruddin untuk membiayai Khatibul Umam maju sebagai calon ketua umum dalam kongres GP Ansor.
Sementara 100 ribu dolar AS diberikan kepada Mohammad Jafar Hafsah selalu Ketua Fraksi Partai Demokrat, yang kemudian uang tersebut dibelikan satu unit mobil Toyota Land Cruiser, Nomor Polisi B 1 MJH. Pada bulan Oktober 2010, Andi Narogong kembali memberikan uang sejumlah 3 juta dolar kepada Anas Urbaningrum.
Namun, semua kesaksian Nazaruddin dibantah oleh Anas Urbaningrum. Ia menegaskan bahwa tidak ada aliran dana e-KTP ke kongres Partai Demokrat di Bandung. “Kalau dari e-KTP, saya pastikan tidak ada,” kata Anas saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (6/4/2017).
Menurut Anas, aliran uang untuk kongres Partai Demokrat telah dibuktikan dalam kasus korupsi proyek Hambalang yang menjerat dirinya sebagai terpidana. Mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat ini menegaskan bahwa dalam sidang tersebut, keterangan para saksi dan bukti-bukti yang dihadirkan dalam persidangan menguatkan bahwa ada uang korupsi proyek Hambalang yang mengalir ke kongres. Namun, saat itu, lanjut Anas, tidak disebut-sebut soal proyek e-KTP.
“Buat saya aneh ketika ada peristiwa dengan jalan cerita yang berbeda,” kata mantan aktivis HMI itu.
Menanggapi jawaban Anas, Ketua Majelis Hakim Jhon Halasan Butar-Butar mencecar Anas Urbaningrum dengan sejumlah pertanyaan lain.
“Yakin jawabannya seperti itu? Kami ada sumber informasi yang mengatakan Anda mendapatkan uang,” kata Hakim Jhon Halasan Butar-Butar.
Namun, Anas tetap bersikukuh dengan jawabannya bahwa hal tersebut adalah fitnah yang nyata.
“Itu bukan fakta yang mulia. Itu keterangan fitnah. Itu fiksi dan fitnah. Jadi saya harap bisa dikonfirmasi ulang,” ujarnya.
Selain itu, Anas juga membantah memerintahkan Nazaruddin untuk memberikan dana kepada Khatibul Umam untuk maju sebagai ketua umum dalam kongres GP Ansor.
“Tidak ada perintah saya atau apapun terkait dengan kebutuhan dana atau kebutuhan anggaran untuk pencalonan yang bersangkutan sebagai calon ketua umum Gerakan Pemuda Ansor. Justru waktu itu saya datang ke Surabaya ke acara kongres Gerakan Pemuda Ansor itu karena saya diundang untuk memberikan materi,” kata Anas.
Anas mengatakan, dirinya hadir ke kongres bersama Sekjen Partai Golkar Idrus Marham dan Wakil Gubernur Jawa Timur Syaifullah Yusuf. Kehadirannya di acara Kongres GP Ansor pun, Anas menerangkan, tidak ada kaitan dengan pemberian anggaran kepada kandidat ketua umum untuk Kongres GP Ansor.
Mendengar pernyataan Anas, majelis hakim langsung mengonfirmasi pernyataan tersebut.
“Lagi-lagi, Saudara Anas, ada informasi saya punya mengatakan ini fakta. [Ada] informasi yang mengatakan bahwa Khatibul Umam yang pada waktu itu mencalonkan diri menjadi Ketua GP Ansor dalam rangka menggolkan supaya terpilih sebagai Ketua GP Ansor itu membutuhkan biaya tertentu dan Anda memerintahkan Saudara Nazarudin untuk membantu. Apakah ini betul?" tanya Ketua Majelis Hakim Jhon Halasan Butar Butar.
Anas tetap pada jawaban semula. Ia menegaskan kalau dirinya tidak pernah memerintahkan Nazaruddin untuk memberikan dana kepada Khatibul Umam. Anas mengaku bahwa Khatibul Umam dan Nazaruddin tidak pernah bercerita tentang adanya pemberian dana untuk pemenangan Khatibul dalam Kongres GP Ansor.
Ia justru meminta kepada majelis hakim untuk mengonfrontir keterangan antara dirinya dengan Nazaruddin tentang pemberian dana untuk pemenangan Khatibul Umam.
“Sebaiknya Yang Mulia ada waktu untuk kami dipertemukan di persidangan ini untuk mendapatkan kejelasan siapa yang menyampaikan fakta siapa yang menyampaikan fiksi,” kata Anas meminta majelis hakim agar dikonfrontir dengan Nazaruddin.
Bagaimana dengan kesaksian Nazaruddin soal pertemuannya dengan Andi Narogong dan Setya Novanto?
Lagi-lagi Anas membantahnya. Anas Urbaningrum mengaku bahwa dirinya tidak pernah melakukan pertemuan dengan Andi Narogong, Setya Novanto, dan Nazarudin untuk mendorong keuangan pelaksanaan proyek e-KTP. Anas mengatakan, dirinya tidak mungkin melakukan pertemuan dengan para saksi karena Anas sudah berhenti dari kursi DPR RI.
“Bulan juni 2010 saya sudah berhenti jadi anggota DPR. Yang kedua saya tidak pernah bertemu dengan saudara Andi Agustinus atau Andi Narogong sampai detik ini, sejak saya kenal yang namanya manusia bisa bergaul saya sadar dan saya yakin belum pernah bertemu dengan yang namanya Andi Agustinus atau Andi Narogong apalagi dalam pertemuan itu disebut ada saudara saksi Setya Novanto,” ujarnya.
Menurut dia, ia sudah tidak lagi di DPR setelah terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat pada Mei 2010. Ia mengatakan, dirinya memutuskan untuk mengundurkan diri karena ingin konsentrasi sebagai ketua umum partai. Meskipun sudah menyatakan mengundurkan diri, Anas membenarkan kalau dirinya sempat hadir dalam rapat paripurna DPR pada tanggal 25 Mei. Namun, setelah itu, dirinya sudah mundur dari DPR.
“Jika pertemuan itu ada, Juli ada pertemuan yang dimaksud membahas itu, saya pastikan saya tidak ada di situ yang mulia,” kata Anas.
Hakim pun merasa tidak puas dengan jawaban Anas. Majelis hakim menanyakan tentang kemungkinan adanya lobi-lobi untuk melancarkan proyek e-KTP sebelum dirinya mundur sebagai anggota DPR.
“Paling tidak selama Anda menjabat Ketua Fraksi Demokrat ada nggak orang-orang saudara supaya bagaimana anggaran e-KTP gol di DPR?" tanya Hakim.
Lagi-lagi Anas berkelit. Ia pun langsung menjawab saat itu Partai Demokrat berfokus pada munculnya wacana usulan angket Bank Century. Kala itu, menurut Anas, akhir Oktober 2010, Fraksi Partai Demokrat diminta menemui Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saat itu, SBY yang juga Presiden RI meminta kepada Fraksi Partai Demokrat agar angket bank Century tidak sukses.
Namun demikian, Anas bisa saja berkelit, bahkan sesumbar seperti saat dirinya disebut-sebut terlibat dalam kasus korupsi proyek Hambalang. Saat itu, Anas bersikukuh tidak menerima dan tidak terlibat dalam kasus korupsi yang menyeret sejumlah koleganya di Partai Demokrat.
“Saya yakin. Yakin. Satu rupiah saja Anas korupsi di Hambalang, gantung Anas di Monas,” ujarnya, pada 9 Maret 2012.
Melalui sepatah kalimat tersebut, Anas menegaskan bahwa dirinya tidak terlibat dalam kasus korupsi proyek Hambalang. Namun faktanya, Faktanya, pada 22 Februari 2013, KPK justru menetapkan Anas sebagai tersangka dalam kasus korupsi tersebut. Ia diduga menerima pemberian hadiah berupa Toyota Harrier terkait proyek Hambalang ini.
Karena itu, pada 24 September 2014, Anas divonis hukuman 8 tahun pidana penjara oleh majelis hakim Tipikor Jakarta. Bahkan Juni 2015, Majelis Hakim MA menolak kasasinya dan menambah hukumannya menjadi 14 tahun bui.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz