Dirancang sebagai "kota baru" di Cikarang, Bekasi, gergasi properti Lippo Group membangun megaproyek bernama Meikarta. Di atas lahan seluas 500 hektare, proyek Meikarta tampak ambisius sejak mula: jorjoran promosi hingga mengerahkan ribuan tenaga pemasaran.
Namun, Lippo tersandung sebuah perkara: mereka belum menuntaskan semua izin proyek. Pemerintah Provinsi Jawa Barat baru sebatas memberi rekomendasi lahan seluas 85 hektare atau cuma 17 persen dari total lahan Meikarta.
Gelembung pecah Meikarta itu berimbas pada para konsumen. Saat Tirto merilis laporan soal daya pikat Meikarta pada 21 Agustus 2017, mengecek ke lokasi proyek, reporter kami menyaksikan antrean panjang konsumen yang minta pengembalian biaya pemesanan. Para konsumen ini terpikat sebuah unit apartemen murah tapi berkesan mewah, yang sudi menyetor uang pemesanan sebesar Rp2 juta.
Para konsumen sebetulnya menggambarkan psike mayoritas generasi kelas menengah Indonesia yang gelisah: menabung sedikit demi sedikit untuk impian memiliki rumah di tengah harga properti terus melonjak dan gerak rakus raksasa pengembang membeli dan menabung lahan.
Lippo, sebagaimana baron properti lain di Indonesia, menggambarkan gerak bisnis terakhir itu. Mereka telah membeli lahan di Cikarang sejak akhir 1980-an dan awal 1990-an. Tiga puluh tahun kemudian saat menggarap Meikarta, Lippo justru menghadapi masalah yang dibuatnya sendiri. Digugat vendor, tiang-tiang crane terlihat bak pajangan, bangunan apartemen mangkrak.*
Namun, Lippo tersandung sebuah perkara: mereka belum menuntaskan semua izin proyek. Pemerintah Provinsi Jawa Barat baru sebatas memberi rekomendasi lahan seluas 85 hektare atau cuma 17 persen dari total lahan Meikarta.
Gelembung pecah Meikarta itu berimbas pada para konsumen. Saat Tirto merilis laporan soal daya pikat Meikarta pada 21 Agustus 2017, mengecek ke lokasi proyek, reporter kami menyaksikan antrean panjang konsumen yang minta pengembalian biaya pemesanan. Para konsumen ini terpikat sebuah unit apartemen murah tapi berkesan mewah, yang sudi menyetor uang pemesanan sebesar Rp2 juta.
Para konsumen sebetulnya menggambarkan psike mayoritas generasi kelas menengah Indonesia yang gelisah: menabung sedikit demi sedikit untuk impian memiliki rumah di tengah harga properti terus melonjak dan gerak rakus raksasa pengembang membeli dan menabung lahan.
Lippo, sebagaimana baron properti lain di Indonesia, menggambarkan gerak bisnis terakhir itu. Mereka telah membeli lahan di Cikarang sejak akhir 1980-an dan awal 1990-an. Tiga puluh tahun kemudian saat menggarap Meikarta, Lippo justru menghadapi masalah yang dibuatnya sendiri. Digugat vendor, tiang-tiang crane terlihat bak pajangan, bangunan apartemen mangkrak.*
Baca juga artikel terkait TIRTWO atau tulisan lainnya
tirto.id - Bisnis
Penulis: Fahri Salam
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti