tirto.id - Jakarta dan daerah sekitarnya, seperti Bekasi, dilanda banjir besar pada awal bulan Maret 2025, alias bertepatan dengan bulan Ramadhan 1446 Hijriah. Bagaimana hukum puasa saat bencana alam banjir? Apakah korban banjir masih wajib melaksanakan puasa?
Hujan deras terus mengguyur hingga menyebabkan meluapnya sungai-sungai utama, seperti Kali Ciliwung, Kali Angke, dan Kali Pesanggrahan. Hal ini lantas menjadi penyebab utama banjir.
Dampak banjir sangat signifikan. Ratusan wilayah terendam air dan ribuan warga terpaksa mengungsi. Aktivitas warga lumpuh, mobilitas harian terhambat, dan ibadah puasa di bulan Ramadhan bisa jadi terganggu.
Banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya di bulan Ramadhan 2025 memberikan dampak yang besar bagi aktivitas ibadah. Banyak warga kesulitan menjalankan ibadah puasa dengan tenang karena harus mengungsi dan menghadapi kondisi yang sulit.
Aktivitas sahur dan berbuka puasa menjadi terganggu, hingga berbuka puasa dengan makanan seadanya. Selain itu, aktivitas ibadah seperti shalat tarawih dan tadarus Al-Qur'an juga terhambat karena kondisi masjid terendam banjir serta ada yang digunakan sebagai tempat pengungsian.
Pemerintah dan berbagai pihak terkait telah melakukan upaya penanggulangan banjir dan memberikan bantuan bagi para korban. Tim gabungan yang mencakup BPBD, TNI, Polri, dan relawan melakukan evakuasi warga dan menyalurkan bantuan logistik ke tempat-tempat pengungsian.
Bagaimana Hukum Puasa saat Bencana Alam Banjir?
Dalam ajaran Islam, terdapat keringanan (rukhsah) bagi umat yang berada dalam kondisi darurat, termasuk saat terjadi bencana alam seperti banjir. Keringanan diberikan karena Islam tidak memberatkan umat dan selalu mempertimbangkan kondisi.
Bagi yang mengalami kesulitan dan kesukaran luar biasa, seperti tidak memiliki akses ke makanan dan minuman yang layak atau berada dalam kondisi yang membahayakan jiwa, diperbolehkan untuk tidak berpuasa.
Mengutip laman Persyarikatan Muhammadiyah, hukum puasa orang yang sedang berada dalam kondisi bencana sama seperti orang yang sakit dan sedang melakukan safar. Artinya, mereka dibolehkan tidak berpuasa wajib seperti Ramadhan.
Diterangkan bahwa relawan atau korban bencana menjumpai kesulitan dan kesukaran untuk berpuasa dan dinilai lebih berlipat daripada orang yang sakit atau berpergian. Maka, apabila tetap berpuasa dianggap sebagai tindakan yang kurang tepat karena dalam kondisi tidak mampu dan berada di tengah situasi sulit.
Allah Swt. telah berfirman melalui surah Al-Hajj ayat 78,"Berjuanglah kamu pada (jalan) Allah dengan sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan tidak menjadikan kesulitan untukmu dalam agama......,".
Dalam situasi bencana, keselamatan jiwa dan kemudahan dalam menjalankan ibadah menjadi prioritas utama. Jika berpuasa dapat membahayakan diri sendiri atau orang lain atau kondisi yang dihadapi sangat sulit, maka diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Hal ini sesuai dengan prinsip dasar Islam yang mengutamakan kemaslahatan dan menghindari mudarat.
Bagi yang tidak berpuasa karena kondisi darurat, maka wajib mengganti (qadha) puasa yang ditinggalkan di hari lain setelah kondisi kembali normal. Qadha puasa merupakan bentuk tanggung jawab seorang Muslim untuk tetap menjalankan kewajiban ibadah puasa meskipun dalam kondisi sulit.
Keringanan dalam berpuasa saat bencana alam menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang fleksibel dan penuh kasih sayang. Allah SWT tidak ingin memberatkan hamba-Nya dan selalu memberikan solusi dalam setiap kondisi.
Dalam situasi bencana, umat Islam diharapkan untuk tetap bertawakal kepada Allah Swt., berdoa, dan berupaya semaksimal mungkin untuk saling membantu.
Penulis: Astam Mulyana
Editor: Beni Jo & Fitra Firdaus