tirto.id - Nama besar bukan jaminan sebuah media tak akan menerbitkan konten hoaks. Sama halnya editor berpengalaman tetap tak luput dari kesilapan. Pun demikian dengan sistem editorial ketat dan berjenjang juga punya celah untuk meloloskan berita palsu.
Itulah yang menimpa The Washington Post (selanjutnya The Post) pada awal dekade 1980-an, tepat saat media itu sedang jaya-jayanya. Koran yang beroperasi sejak 1877 itu dikenal integritasnya usai berhasil membongkar kasus besar seperti Pentagon Papers dan skandal Watergate. Sayangnya, reputasi itu tercoreng oleh hoaks dan kecurangan wartawannya sendiri, Janet Leslie Cooke.
16 April 1981 barangkali adalah hari tergelap dalam sejarah The Post. Ben Bradlee, editor eksekutif, mengumumkan dengan berat hati bahwa koran itu telah mengembalikan penghargaan yang diterima wartawannya kepada Komite Pulitzer. Ini dilakukan lantaran Cooke mengaku telah memfabrikasi beritanya yang memenangi penghargaan. Tak hanya itu, ia juga mengakui telah memalsukan data riwayat pendidikan yang diserahkannya kepada Komite Pulitzer.
Kasus Cooke pun menjadi kasus hoaks paling terkenal dalam sejarah jurnalisme Amerika Serikat.
Fabrikasi Kisah Jimmy
Suatu saat di bulan Agustus 1980, editor rubrik mingguan The Post Vivian Aplin-Brownlee mendengar selentingan tentang heroin jenis baru yang beredar di jalanan Washington. Dia lalu meminta Cooke menelusuri isu itu. Cooke tak berhasil menemukannya, tetapi dia mendapat banyak bahan soal penggunaan heroin di Washington.
Cooke mengumpulkan dua jam rekaman wawancara, 145 halaman catatan tulisan tangan, ditambah setumpuk pamflet dan dokumen soal penyalahgunaan narkoba. Saat Aplin-Brownlee memeriksa bahan-bahan yang dikumpulkan wartawati barunya tersebut, ia pikir itu cocok untuk desk metropolitan The Post.
Cooke lalu menunjukkan hasil penelusurannya kepada editor berita perkotaan Milton Coleman. Saat itu beberapa berita tentang peredaran narkoba juga sedang rutin mengisi lembaran The Post. Coleman dan Cooke membahas bersama kemungkinan untuk menerbitkan kisah orang-orang yang kecanduan heroin. Coleman tertarik ketika Cooke menyebut seorang pecandu berusia 8.
“Itu baru berita, lanjutkan! Itu kisah untuk halaman depan,” kata Coleman.
Sekitar tiga minggu Cooke mengerjakan kisah tersebut. Kepada Coleman ia mengaku kesulitan mewawancarai ibu si bocah pecandu itu. Coleman menyarankan Cooke menawarkan anonimitas kepadanya. Cooke juga takut mendapat intimidasi dari pacar ibu si bocah. Tetapi, Cooke akhirnya menunjukkan draft kisahnya kepada Coleman pada 19 September.
Coleman menceritakan itu kepada ombudsman The Post Bill Green dalam investigasi usai kebohongan Cooke terbongkar. Coleman juga mengakui kesilapannya kepada Green bahwa ia tak pernah menanyakan lebih jauh tentang identitas keluarga si bocah pecandu atau pun alamat tempat tinggal mereka.
Kisah besar Cooke akhirnya terbit di halaman depan The Post pada 28 September di bawah judul “Jimmy’s World”. Diceritakannya bahwa Jimmy telah mengonsumsi heroin sejak usia lima tahun. Ron, kekasih ibunya, adalah orang pertama yang mengenalkannya pada obat terlarang itu. Rumah Ron, di mana Jimmy tinggal, sekaligus adalah tempat transaksi heroin. Jimmy yang lugu bahkan ingin menjual heroin suatu saat nanti.
Kisah itu lantas meledak dan mengundang simpati banyak pembaca The Post. Naomi Munson dalam “The Case of Janet Cooke” yang tayang di Commentary Magazine edisi Agustus 1981 mencatat bahwa pemerintah kota Washington DC sampai menginisiasi pencarian khusus untuk menemukan dan menyelamatkan Jimmy. Namun, Polisi dan pekerja sosial yang dikerahkan tak dapat menemukan keberadaan Jimmy dan keluarganya.
Pemerintah kota Washington DC lantas meminta The Post untuk membuka identitas dan tempat tinggal keluarga Jimmy. Tentu saja The Post menolaknya. Pemerintah sempat akan membawa persoalan ini ke meja hijau, tetapi urung. Pencarian atas Jimmy dihentikan setelah tiga minggu pencarian sia-sia.
Bersamaan dengan itu, The Post mengerahkan tim untuk mendalami kisah Jimmy. Tim ini bekerja berdasarkan premis bahwa pasti ada Jimmy yang lain di kota itu. Tetapi anehnya, Cooke yang juga tergabung dalam tim tak dapat menyebut alamat tempat tinggal keluarga Jimmy.
Cooke juga diminta untuk mempertemukan Jimmy dengan Coleman selaku editornya. Ia menyanggupi, tapi kemudian melapor bahwa keluarga itu sudah pindah. Sejak itu, kepercayaan Coleman kepada Cooke mulai goyah.
“Tapi rupanya tak cukup goyah untuk membuat Coleman berpikir ulang sebelum merekomendasikan ‘Jimmy’s World’ untuk nominasi penghargaan Pulitzer, juga empat penghargaan lain, sejak sebulan setelah menghilangnya keluarga Jimmy,” tulis Naomi Monsun.
Pada 13 April 1981, Cooke menerima penghargaan Pulitzer. Tapi itulah awal terkuaknya hoaks yang ia bikin. Toledo Blade, media tempat Cooke bekerja sebelumnya, hendak membuat profil tentang alumnusnya itu. Tetapi, saat editor Toledo Blade membaca profil pemenang yang diterbitkan Komite Pulitzer, ia mendapati datanya tidak sesuai dengan apa yang mereka punya.
Data yang diserahkan Cooke kepada Komite Pulitzer menerakan bahwa dia lulus dengan predikat magna cum laude dari Vassar College dan memperoleh gelar masternya dari Universitas Toledo. Padahal, dari data diri Cooke yang dimiliki Toledo Blade, ia hanya berkuliah setahun di Vassar College dan memperoleh gelar sarjana dari Universitas Toledo. Toledo Blade lalu memperingatkan soal ini kepada kantor berita Associated Press.
“Sekitar jam tiga siang, Bradlee dan editor pelaksana Howard Simons menerima dua panggilan bersamaan. Editor AP mengontak Simons. Asisten Presiden Vassar College mengontak Bradlee. Keduanya sama-sama menanyakan soal resume Janet,” kenang mantan wartawan The Post Mike Sager dalam “The Fabulist Who Changed Journalism” yang tayang di Columbia Journalism Review edisi musim semi 2016.
Selanjutnya adalah interogasi panjang yang melibatkan para editor top The Post. Tak hanya soal riwayat akademisnya, tetapi juga kebenaran kisah Jimmy. Cooke mesti menghadapi rentetan pertanyaan dari Coleman, Simons, Robert Woodward, dan Bradlee. Coleman bahkan menginterogasinya di mobil sembari mencari alamat keluarga Jimmy yang sesungguhnya.
Cooke akhirnya bicara jujur setelah 11 jam interogasi yang melelahkan. “Tak ada Jimmy juga keluarganya. Itu semua fabrikasi. Aku ingin mengembalikan penghargaan itu,” aku Cooke sebagaimana dikutip Sager.
Esoknya, The Post mengumumkan kepada publik bahwa kisah Jimmy adalah hoaks sekaligus mengembalikan penghargaan kepada Komite Pulitzer. Cooke kemudian mengundurkan diri.
"Adalah sebuah tragedi jika wartawan berbakat dan menjanjikan seperti Janet Cooke merasa harus memalsukan fakta," kata Ben Bradlee dalam rilis pers di The Post. "Kredibilitas adalah aset paling berharga sebuah surat kabar dan itu hampir bergantung sepenuhnya pada integritas reporternya. Bila integritas tersebut dipertanyakan, itu menyedihkan.”
Verifikasi Tak Jalan
Kritikus media Howard Kurtz, sebagaimana dikutip Mike Sager, mengatakan, "Fabrikasi Janet Cooke itu mengejutkan karena ia muncul di masa hampir seluruh warga menaruh hormat pada surat kabar dan apa yang sekarang ini kita sebut sebagai media."
Hoax bikinan Cooke memang menggoyahkan fondasi kepercayaan masyarakat kepada pers dalam era informasi pasca-Perang Dunia II. Lalu, bagaimana koran bergengsi seperti The Post bisa kecolongan?
Ketika berkas lamaran Cooke sampai ke meja Bradlee pada Juli 1979, ia memang tampak menjanjikan. Bradlee mengambil pensil merah dan menandai "Phi Beta Kappa," "Vassar," dan "Black Journalist Association" pada resume Cooke. Editor legendaris di balik liputan Pentagon Papers dan skandal Watergate itu terkesan.
Bradlee lalu menyerahkan resume Cooke kepada Bob Woodward, asisten editor eksekutif untuk desk Metro, dengan pesan untuk segera merekrut wartawan muda itu sebelum didahului The New York Times atau koran lain.
Siger, yang sempat menjalin romansa dengan Cooke, juga bercerita bahwa Cooke memenuhi kriteria yang sedang dicari Bradlee. Kala itu bisnis media di Amerika sedang giat-giatnya memberi ruang bagi kaum minoritas. Karenanya Cooke—seorang perempuan dan Afro-Amerika sekaligus—pantas mendapat kesempatan.
Cooke membuktikan kepada para editornya bahwa dia memang layak. Berita pertamanya tentang kontes kecantikan kulit hitam terbit dua minggu setelah ia diterima kerja. Pada 21 Februari 1980, artikel besar pertamanya terbit: sebuah cerita dramatis tentang daerah rawan kerusuhan dan peredaran narkoba di Washington.
"Itu adalah karya jurnalistik yang ditulis dengan bagus," puji Aplin-Brownlee, editornya, seperti dikutip Bill Green dalam investigasinya soal kasus Cooke.
Menurutnya, Cooke adalah tipe wartawan yang ulet meski tak terlalu menguasai lapangan. Dengan latar belakang itu, rasa-rasanya muskil Cooke membikin hoaks.
Cooke baru buka suara kepada Sager pada 1996. Cooke menghubungi Sager dan meminta wawancara atas dirinya untuk dimuat di GQ, majalah tempat Sager bekerja saat itu.
Tentang rekayasa atas riwayat akademisnya, Cooke mengatakan, “Tujuanku adalah menciptakan Supernigger.” Lalu tentang kisah Jimmy, ia mengaku bahwa ia sama sekali tak meniatkannya untuk mengejar Pulitzer. Kisah Jimmy lahir dari rasa frustrasinya dan ingin segera lepas dari lingkungan desk mingguan The Post yang dirasanya seperti “Ghetto”.
Ketika Cooke mulai menulis kisah Jimmy, ia mengingat saran Coleman yang menawarkan anonimitas kepada sumbernya. Bagi Cooke, itulah celah yang ia manfaatkan. “Aku hanya duduk dan lalu menulisnya.”
Sebagaimana dibeberkan dalam laporan investigasi Green atas redaksi The Post usai kasus Cooke, alasan lain yang membuat The Post kecolongan adalah sistem kerja yang penuh tekanan dan sistem verifikasi yang tak dijalankan editor.
Semua wartawan di The Post tahu belaka bahwa tampil di halaman perdana adalah prestasi besar. Setiap wartawan saling bersaing untuk bisa mengisi salah satu kolom di halaman satu. Bagi Cooke yang dikenal ambisius, hal ini membutakannya.
Dalam laporannya, Green menulis, “Kompetisi untuk mendapat tempat di halaman satu begitu kuat sehingga efeknya mungkin tidak bisa dipahami bahkan oleh para editor papan atas. Ini adalah salah satu sumber, jika bukan sumber utama, tekanan di ruang redaksi.”
Para editor The Post juga seringkali memberi penugasan yang belum tentu dapat dilaksanakan reporternya. Para wartawan merasa dirinya gagal ketika penugasan itu tak dapat mereka penuhi. Hampir tak ada pengecualian, bahkan bagi reporter baru. Tak heran jika kondisi macam itu membuat wartawan baru The Post merasa tidak nyaman.
Investigasi Green juga mengungkap bahwa kepercayaan editor terhadap reporter, terutama soal sumber beritanya, terlampau besar. Itulah yang terjadi pada Coleman saat ia tak lagi memverifikasi lebih lanjut soal identitas ibu Jimmy dan alamat rumahnya. Cooke jelas salah telah memfabrikasi cerita, tetapi itu terjadi karena ada celah verifikasi.
“Sistem gagal karena tak dilakukan. Bradlee dan Simons seharusnya mengajukan pertanyaan, begitu juga Woodward dan Coleman dan yang lainnya. Dan setiap staf yang memiliki keraguan serius soal 'Jimmy' punya tanggung jawab untuk mengejar kebenarannya,” tulis Green memberi kesimpulan.
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan