Menuju konten utama

Belajar dari Kegagalan Transformasi Digital Time

Perkembangan teknologi digital menuntut berbagai bisnis melakukan transformasi sejak dini atau tertinggal dan dilibas perubahan.

Belajar dari Kegagalan Transformasi Digital Time
Aplikasi digital Majalah TIME yang dapat diunduh di App Store iPhone. tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - Saat dunia sudah makin menyatu dengan internet, dengan segala bentuk digital, maka segala hal konvensional dihadapkan dengan dua pilihan: bertahan atau terlibat. Diperlukan sebuah transformasi bagi mereka yang ingin bertahan, khususnya di dunia bisnis. Perubahan atau transformasi digital memang butuh "revolusi" di tengah makhluk bernama "digital" yang sedang berlari.

Majalah Time merupakan salah satu majalah ikonik di dunia milik Time Inc. Majalah yang mulai beredar pada 1922 itu, per awal Februari lalu berpindah kepemilikan dari Time Inc kepada Meredith Corporation. Salah satu penyebab perpindahan kepemilikan itu karena telatnya Time Inc beradaptasi dengan dunia digital. Mereka gagal melakukan transformasi digital.

Sementara itu, The New York Times merupakan contoh sukses perusahaan media dalam transformasi digital. Mengutip CIO, pendapatan dari pelanggan mereka bisa meningkat hingga 40 persen dari tahun ke tahun. Dari sekitar 3 juta pelanggan The New York Times, sebanyak 2,2 juta di antaranya merupakan pelanggan khusus konten digital media yang telah mengantongi 122 Pulitzer ini.

Kesuksesan The New York Times setidaknya didukung oleh dua langkah. Pertama, mereka menggunakan data pelanggan lama mereka untuk masuk ke dunia digital. Kedua, perusahaan itu juga tak sungkan menciptakan produk-produk baru dalam konteks digital. Aplikasi smartphone bernama Cooking dan Cross Word adalah contoh kesuksesan itu. Dua aplikasi, itu sukses membawa konsumen berlangganan The New York Times versi digital.

Arri Marsenaldi, Executive Product Manager Huawei Indonesia, menyatakan bahwa ada kemungkinan kegagalan transformasi digital terjadi karena ketidakpahaman bagaimana transformasi digital harus dilakukan. Selain itu, transformasi digital memerlukan tindakan cepat, bukan sesuatu yang bisa dilakukan lambat.

“Adopsi teknologi itu tadinya memakai waktu lama, semakin sini semakin cepat. Perusahaan atau government harus bereaksi dengan cepat. Menghadapi perubahan teknologi,” kata Arri menerangkan.

Apa yang diungkap Arri, selaras dengan Michael Gale, pendiri Strategic Oxygen, firma strategi digital. Dalam wawancaranya dengan Forbes, disebutkan bahwa banyak perusahaan yang mencoba melakukan transformasi digital tapi gagal.

“Hampir setiap perusahaan Forbes Global 2000 melakukan transformasi digital. Ada yang melakukannya dengan benar dan yang lainnya masih berjuang. Pada dasarnya, satu dari delapan berhasil melakukan transformasi digital [...] 50 persen (perusahaan yang melakukan transformasi digital) sama sekali tidak berjalan dengan benar,” ucapnya.

Sementara itu, Arri punya pandangan bahwa kegagalan melakukan transformasi digital tak bisa 100 persen disalahkan kepada perusahaan bersangkutan. Pemerintah, perlu pula agresif memperkenalkan perubahan pada perusahaan-perusahaan.

“Masalahnya kita tahu failed (karena) enggak mau transformasi (atau) terlambat. Makanya di sini pemerintah penting. Fungsi pemerintah bukan cuma regulator. Pemerintah bisa menjadi inisiatif, jangan sampai demand sudah ada tapi pemerintah lambat merespon. Pemerintah sebagai enabler. Teknologi sudah ada di global, industri belum tahu, pemerintah bisa diharapkan yang menjadi pionir,” katanya.

Cerita sukses juga datang dari bisnis yang berbeda yaitu Domino’s Pizza, contoh perusahaan yang sukses melakukan transformasi digital dalam konteks pasar Amerika. CIO bahkan menempatkan Domino’s Pizza, satu di antara 13 perusahaan yang sukses bertransformasi digital.

Salah satu alasan kesuksesan Domino's ialah peluncuran platform order online mereka bernama AnyWhere. Menggunakan smartphone, jam tangan pintar, hingga TV pintar, pemesanan pizza di Domino bisa dilakukan. Bahkan, platform itu kemudian memungkinkan melakukan pemesanan melalui kicauan Twitter, emoji, hingga platform suara seperti Google Home maupun Amazon Alexa.

Tahun lalu, Domino’s Pizza mencatat kinerja yang cemerlang, saham mereka mampu menggeliat di atas pertumbuhan industri retail dan makanan di AS. Pada 2018, pendapatan Domino's ditaksir menembus $3,1 miliar atau naik 10 persen dari 2017. Perusahaan jaringan terbesar kedua di dunia ini, berada di atas pemain lainnya dalam hal kapitalisasi pasar, mengalahkan Papa John's International maupun Pizza Hut.

Transformasi Digital dan Ekonomi

Transformasi digital merupakan proses adopsi dan praktik teknologi modern untuk mempercepat aktivitas bisnis, meningkatkan kompetensi, dan meningkatkan efisiensi. Ini lebih dari sekadar pembaruan teknologi. Transformasi digital sangat mungkin mengubah struktur hierarki hingga budaya suatu perusahaan.

Arri, mengatakan bahwa “di dunia bisnis saat ini, perusahaan ramai-ramai melakukan transformasi digital.” Sebuah riset yang digagas CGI, sebuah firma riset pasar, seperti dilaporkan CIO menyebut bahwa 82 persen perusahaan kini mengalokasikan pengeluarannya hanya untuk biaya IT.

Menurut penuturan Arri Marsenaldi, transformasi digital setidaknya terindikasi dalam tiga bentuk: all things sensing, all things connected, dan all things intelligence.

infografik transformasi digital

Transformasi digital, secara sederhana, sering dikaitkan pada penerapan atau penggunaan Internet of Things (IoT) maupun Big Data. Namun, Arri menyatakan bahwa membawa perbincangan transformasi digital, terutama dalam konteks Indonesia, pada hal-hal terkait IoT maupun Big Data masih terlalu jauh.

“Digital transformation ada banyak hal. Ada IoT, Big Data, atau lainnya. Cuma sebelum ke arah itu yang menjadi landasan (teknologi pita lebar dan cloud jadi pondasi), diperhatikan [...] Investasi perlu mencapai 3 persen untuk cloud. Baru bisa maksimal (jika ingin bicara IoT maupun Big Data),” kata Arri di Customer Innovation and Solutions Center (CSIC) Huawei Indonesia, Jakarta.

Salah satu hal yang mendasari mengapa dalam konteks Indonesia perbincangan soal IoT dan Big Data tertalu jauh, merujuk “Harnessing the Power of Connectivity: Mapping Your Transformation Into a Digital Economy with GCI 2017”, Indonesia saat ini masih berada dalam tahap “awal” atau “Early Adopted” soal investasi IT dan adopsi dalam ekonomi digital.

Indonesia duduk di posisi ke-40 dari 50 negara yang disurvei dalam laporan itu. Salah satu ciri di tahap ini ialah fokus yang masih berkutat pada memperkuat penetrasi ekonomi digital di tengah masyarakat atau masih berputar-putar soal membangun infrastruktur dasar IT. Rata-rata, negara yang masuk tahap pemula di transformasi digital adalah yang rata-rata pendapatan per kapitanya $3.000 per tahun.

Dalam laporan yang digagas oleh Huawei dan Oxford Economics berjudul “Digital Spillover: Measuring the True Impact of the Digital Economy” disebut bahwa pada 2016 sebanyak 15,5 persen ekonomi global berbasis digital. Pada 2025 porsinya diprediksi akan meningkat menjadi 24,3 persen. Setara dengan $23 triliun. Pemerintah maupun swasta, harus melakukan transformasi digital untuk dapat mengambil bagian dari uang yang begitu besar.

Secara mendasar terdapat empat pendekatan transformasi digital yang dilakukan yakni high digitalization, high investment & poor strategy, low investment & strong strategy, dan low digitalization. Masing-masing pendekatan memiliki hasil yang berbeda, terutama dengan mengukurnya dalam peningkatan PDB suatu negara.

Sebagai contoh, jika Korea Selatan dan Indonesia menerapkan high digitalization untuk transformasi digitalnya masing-masing, pada tahun 2025 kelak, PDB Korea Selatan bertambah 1,2 persen. Sementara Indonesia bertambah 1,8 persen.

Salah satu alasan mengapa PDB Indonesia yang bertambah lebih tinggi dari Korea Selatan ialah karena Indonesia masih di posisi awal, alias masih punya peluang besar untuk dimaksimalkan. Korea Selatan, yang merupakan negara dengan penetrasi digital jauh lebih baik, memiliki peluang lebih kecil.

“Ketika investasi dilakukan secara agresif dengan strategi yang tepat, ini yang disebut high digitalization, jadi policy government, investasi swasta (harus mendukung)” ungkap Arri.

Sayangnya, penerapan pendekatan ini bagi Indonesia punya tantangan, soal implementasi yang tak cukup sebatas perencanaan.

“Indonesia di posisi mana? Indonesia investasinya besar, strateginya kuat. (Misalnya) kita punya rencana broadband. Cuma tantangannya di implementasi,” katanya.

Transformasi jadi kata kunci, dalam perkembangan teknologi yang begitu cepat dan lahirnya startup bisnis teknologi yang mendisrupsi bisnis konvensional. Digitalisasi tak memandang jenis bisnis. Apapun bisnisnya, perusahaan yang ingin tetap bertahan hidup suka tidak suka harus melakukan transformasi sebelum ditinggal lari era digital. Transformasi digital tak akan terjadi dengan hanya berdiam diri.

Baca juga artikel terkait DIGITAL atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ahmad Zaenudin
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra