Menuju konten utama

Membeli Masa Depan dengan IoT

Bisakah Anda membayangkan hidup dalam dunia di mana semuanya serba terkoneksi? Seperti ketika membuka lemari es untuk mengambil segelas es krim misalnya, tiba-tiba muncul peringatan akan program diet yang sedang Anda jalani di pintu lemari es Anda? Atau ketika Anda memasuki ruang tamu, lampu langsung menyala diiringi dengan dentuman musik favorit Anda melalui speaker yang terpasang di sudut-sudut ruangan?

Membeli Masa Depan dengan IoT
Ilustrasi Internet of Things. [foto/shutterstock]

tirto.id - Tidak perlu membayangkan hal tersebut terjadi jauh di masa depan. Hal-hal itu bisa ditemui di sekitar kita. Situasi tersebut merupakan gambaran sederhana dari apa yang disebut dengan Internet of Things (IoT), sebuah istilah yang mungkin masih asing di telinga orang awam.

IoT merupakan konsep terkoneksinya alat-alat yang ada di sekitar kita ke internet atau antara alat yang satu dengan yang lain yang datanya tersimpan di internet, mulai dari smartphone, mesin cuci, lemari es, jam tangan, televisi, lampu, atau bahkan sofa.

Seperti dikutip dari Forbes, IoT adalah jaringan raksasa dari "hal-hal" (termasuk orang) yang terhubung. Hubungan itu bisa antara orang dengan orang, orang dengan hal, atau hal dengan hal.

Masih terkait dengan IoT, pekan lalu, tepatnya Senin (18/7/2016), dunia dikejutkan dengan sebuah berita pembelian sebuah perusahaan teknologi asal Britania, ARM Holdings. Softbank, perusahaan raksasa teknologi dunia asal Jepang, mengumumkan secara resmi rencana pembelian perusahaan yang berbasis di Cambridge tersebut dengan nilai sebesar $32 miliar.

Chief Executive Officer (CEO) dan founder Softbank Son Masayoshi mengatakan bahwa pembelian tersebut merupakan investasi jangka panjang bagi Softbank. Son percaya bahwa IoT merupakan masa depan yang menjanjikan, dan ARM punya peran strategis di dalamnya.

Sepeti dikutip dari Bloomberg, Son mengatakan, saat ini sedang terjadi pergeseran paradigma baru. "Saya percaya IoT akan menjadi sebuah kesempatan besar bagi seluruh umat manusia dan untuk semua produk di dunia konsumer," katanya dalam sebuah konferensi pers di London. "Kuncinya adalah dengan membuat gerakan yang dalam lima, 10 tahun ke depan menjadi jelas."

ARM memiliki peran penting dalam strategi Son, sebab mereka merupakan perusahaan yang memegang lisensi dari miliaran prosesor mikro rendah energi yang tertanam dalam berbagai perangkat cerdas, salah satunya smartphone, di seluruh dunia.

Untuk mendapatkan gambaran seberapa besar ARM sebagai perusahaan, perlu diketahui bahwa setiap iPhone milik Apple dan Samsung Galaxy S series yang ada dalam genggaman orang saat ini, sebagai contoh, memakai desain prosesor dari ARM.

Sebagai catatan, satu-satunya perusahaan yang mungkin dapat menyaingi penetrasi pasar ARM adalah Intel, raksasa chip mikro. Yang membedakan keduanya adalah ARM hanya menjual lisensi, sementara Intel sekaligus membuat chip-nya sendiri. Itupun, Intel tidak dapat mengalahkan dominasi ARM di bidang teknologi chip rendah energi, sehingga memaksanya untuk mundur dalam kompetisi di bidang itu.

Pembelian ARM bisa jadi merupakan milestone akan konsep IoT di masa depan, sebab Son memiliki reputasi sebagai legenda dalam bisnis investasi. Ia jeli melihat tren dan peluang yang mungkin terjadi di masa depan.

Pada 2000, ia berinvestasi pada perusahaan rintisan (start-up) di bidang e-commerce yang kita kenal saat ini sebagai Alibaba Group Holding Ltd., sebuah pemain raksasa di bidang belanja online. Enam tahun kemudian, Softbank mengakuisisi lini operasi Vodafone di Jepang sebesar 1,8 triliun yen, yang membawanya menjadi pemegang hak eksklusif untuk iPhone di Jepang pada 2008, demikian seperti dikutip dari Bloomberg.

Tidak semuanya berjalan mulus memang, pembelian salah satu operator telekomunikasi di Amerika Serikat, Sprint, dengan nilai $20 miliar pada tahun 2013, hingga saat ini masih belum membuahkan hasil yang menjanjikan.

Potensi Internet of Things

Ide mengenai IoT sendiri bisa dikatakan masih seperti bayi yang baru belajar berjalan. Pasarnya dapat dikatakan masih kecil. Pun demikian keuntungan yang dihasilkan dari alat-alat yang mendukung IoT, sebab area ini masih tergolong baru.

ARM sendiri masih diragukan kapabilitasnya untuk dapat melakukan penetrasi terhadap industri ini, sama seperti dominasi perusahaan ini terhadap bisnis smartphone global.

"Tidak semerta-merta segala hal di dunia ini akan berjalan menggunakan [teknologi] ARM," kata Rob Chandhok, mantan eksekutif Qualcomm Inc. yang mengkhususkan diri di sektor IoT, seperti dikutip dari the Wall Street Journal.

"Ini bukanlah pertaruhan yang buruk, tapi tetap masih merupakan suatu taruhan."

Dapat dikatakan para investor Softbank setuju dengan aklamasi Rob. Hasilnya, pada hari Selasa pekan lalu, sehari setelah Softbank mengumumkan rencana pembelian itu, saham mereka turun sebesar 10 persen.

Terlepas dari bagaimana kemampuan ARM untuk mengeksplorasi industri IoT di masa depan, faktanya tren memang bergerak menuju ke arah tersebut.

Menurut lembaga peneliti Gartner, nilai belanja atau pengeluaran untuk layanan IoT dari tahun ke tahun terus meningkat. Tahun lalu, pengeluarannya berjumlah $192,9 miliar, naik dari $156,8 miliar pada tahun 2014, dan diprediksi akan naik hampir 150 persen menjadi $481,8 milyar di tahun 2020.

Sementara itu, IC insights melaporkan bahwa pendapatan perusahaan dari layanan IoT sebagian besar masih bersumber dari pembangunan smart cities, atau kota pintar. Meskipun masih terbilang kecil, tetapi dari tahun ke tahun, grafiknya terus meningkat, dengan proyeksi pada tahun 2015, total proyeksi pendapatan dari keseluruhan sub-sistem IoT mencapai $40,5 miliar.

IoT bukannya tanpa hambatan. Salah satu hal yang menjadi pekerjaan rumah terbesar dalam layanan IoT adalah masalah keamanan dan privasi.

Berdasarkan data dari Cybersecurity Insights Report AT&T, sebanyak 85 persen dari 5.000 perusahaan di seluruh dunia sedang dalam proses atau berencana untuk memasang peralatan berbasis IoT, namun hanya 10 persen yang memiliki kepercayaan diri bahwa mereka dapat mengamankan peralatan tersebut dari serangan peretas.

Sementara itu, akhir tahun lalu, perusahaan mainan digital yang berbasis di Hong Kong, Vtech, mengakui bahwa penjahat siber telah mengakses informasi personal dari 6,4 juta anak di dunia. Peristiwa ini tentunya dapat menjadi proyeksi kecil dari potensi gaduhnya masalah keamanan dan privasi terkait IoT di masa depan.

Layanan riset Business Insider, BI Intelligence, bahkan memperkirakan, investasi di bidang keamanan pada peralatan IoT akan mengambil bagian sebesar 30 persen dari keseluruhan pasar keamanan siber pada tahun 2020.

Britania yang Menangis

Terlepas dari ambiguitas mengenai IoT, segala potensi yang ditawarkan oleh IoT jelas menggiurkan. Seperti jargon terkenal "siapa yang menguasai informasi, ia akan menguasai dunia," langkah yang dilakukan Softbank bisa jadi dapat menjadi batu pijakan penting perusahaan tersebut pada era IoT di masa depan.

Pendiri ARM Holdings, Hermann Hauser, dalam wawancaranya dengan BBC bahkan mengatakan ARM sebagai "perusahaan Inggris yang menentukan arsitektur dari generasi masa depan mikroprosesor, yang akan digunakan di semua ponsel generasi berikutnya dan - lebih penting - pada generasi berikutnya dari Internet of Things."

Huser mengatakan bahwa ARM dapat memberikan United Kingdom (UK) "kekuatan yang riil," serta mengaku sedih akan berita rencana akuisisi tersebut.

Brexit adalah faktor kunci mengapa kesepakatan itu dapat terjadi. Dengan jatuhnya nilai mata uang poundsterling, ini menjadi kesempatan vital yang diambil oleh Softbank. Sebagai catatan, ARM sendiri dikatakan sebagai perusahaan teknologi terbesar yang pernah dimiliki oleh UK.

Dengan segala ketidakpastian akibat Brexit yang ada saat ini di UK, bukan tidak mungkin di masa depan akan terjadi akuisisi-akuisisi lainnya terhadap perusahaan-perusahaan UK oleh pihak luar, meskipun Perdana Menteri Britania Raya yang baru, Theresa May, telah mengatakan bahwa ia akan berjuang untuk mempertahankan kepemilikan perusahaan lokal dari serbuan asing.

Dalam kasus Softbank sendiri, May bak menjilat ludahnya, dengan mengatakan bahwa kesepakatan itu menunjukkan ekonomi UK dapat berhasil setelah Brexit, seperti dikutip dari BBC.

Mantan Menteri Bisnis, Inovasi dan Kemampuan UK Vince Cable lebih lanjut mengatakan bahwa terdapat sangat sedikit hal dan langkah hukum yang bisa dilakukan oleh pemerintah UK untuk mencegah akuisisi-akuisisi di negara tersebut.

"Kita tidak memiliki sistem pertahanan terhadap pengambilalihan jika mereka [perusahaan yang mengambil alih] terbukti tidak memuaskan," katanya.

Akan tetapi, Softbank diketahui berjanji akan meningkatkan dua kali lipat jumlah karyawan ARM serta berjanji akan tetap menempatkan markas besar mereka di Cambridge.

Namun, apabila benar kesepakatan antara Softbank dan ARM terjadi dalam waktu dekat, dengan mempertimbangkan segala potensi IoT, dan tentu saja nalar bisnis Son Masayoshi, dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan, kita akan melihat Britania yang menangisi keputusan mereka untuk keputusan keluar dari Uni Eropa, yang berujung pada lepasnya ARM ke tangan asing.

Baca juga artikel terkait BISNIS atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Bisnis
Reporter: Ign. L. Adhi Bhaskara
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti