tirto.id - Saat menginjak usia 36 tahun, Sutan Sjahrir diangkat menjadi Perdana Menteri. Di samping itu, ia menjabat sebagai Menteri Dalam dan Luar Negeri Indonesia. Tiga jabatan tersebut, diembannya sejak 14 November 1945. Sebelumnya, ia sempat menjabat sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan memimpin Partai Sosialis bersama Amir Sjarifuddin.
Selanjutnya, pada bulan Agustus 1947, beberapa bulan setelah lengser dari jabatan Perdana Menteri, ia diutus sebagai delegasi Indonesia dalam Sidang PBB di Lake Success, New York, Amerika Serikat. Dalam perjuangan diplomasi tersebut, ia menyampaikan bantahan terhadap tuduhan Belanda, yang sebelumnya menyatakan bahwa pemerintah Indonesia merupakan pemerintah ilegal buatan Jepang.
Rekam jejaknya dalam perjuangan, sudah dimulai sejak masa pergerakan Indonesia. Bahkan, ketika memimpin PNI Baru, ia merupakan ancaman untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda. Hal tersebut, pada akhirnya berujung pada pengasingan terhadap dirinya.
Perjalanan Menuju Pengasingan
Pada awal bulan Januari 1935 – setelah satu tahun menjalani hukuman penjara di Cipinang, Batavia – ia dijemput sebuah mobil polisi menuju pelabuhan Tanjung Priok.
Setibanya di pelabuhan, ia bersama para kompatriotnya di PNI Baru, diangkut sebuah kapal bernama Melchoir Treub menuju Tanah Merah di Boven Digul, Papua. Hal tersebut, merupakan bentuk hukuman kedua untuk mereka berdasarkan putusan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
“Sjahrir dan saya ditempatkan di kelas 2. Bondan dan teman-teman dari Bandung, Maskun beserta istri, Murwoto beserta istri, Burharuddin dan dua orang keturunan Tionghoa berasal dari Medan, ditempatkan di atas dek,” tutur Hatta dalam Mengenang Sjahrir: Seorang Negarawan dan Tokoh Perjuang Kemerdekaan yang tersisih dan Terlupakan (2010).
Seturut Rudolf Mrazek dalam Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia (1996, hlm. 245), hal tersebut, tidak terlepas dari pengalaman studi yang pernah dijalani keduanya di Belanda. Sehingga, Sjahrir dan Hatta termasuk dalam kategori tahanan khusus “akademis” berdasarkan hukum kolonial, yang memberi sedikit keistimewaan dibandingkan tahanan non-akademis.
Meski begitu, keduanya lebih banyak menghabiskan waktu di dek kapal bersama kawan-kawannya dan hanya akan masuk ke ruangannya ketika tidur saja. Sjahrir kerap bercerita tentang hal-hal yang jenaka. Semua dilakukannya, untuk menghibur kawan-kawannya, yang selama perjalanan dilanda kegelisahan dalam hatinya.
Lebih dari itu, “selama dalam perjalanan ke tanah pembuangan, saya terus menerus memperhatikan Sjahrir yang tidak sedikit pun memperlihatkan rasa kecewa atau sebangsanya,” kenang Burhanuddin (2010, hlm. 77).
Pada hari kedua dalam perjalanannya, kapal memasuki pelabuhan Makassar. Namun, sebelum kapal menepi, ia bersama tahanan lainnya dipindahkan ke sebuah kapal motor yang berukuran lebih kecil. Setibanya di pelabuhan, para tahanan disambut oleh seorang komisaris polisi bernama Asquin, yang kemudian mengantarkan para tahanan untuk tinggal di penjara selama satu minggu.
Pada hari ke delapan di Makassar, para tahanan kemudian diangkut sebuah kapal KPM bernama Van der Wick untuk diberangkatkan menuju Ambon. Setelah itu, para tahanan harus tinggal selama satu minggu di ruang kerja polisi, yang sebelumnya sengaja dikosongkan untuk menampung mereka.
Perjalanan menuju Boven Digul kemudian dilanjutkan menggunakan sebuah kapal berwarna putih yang bernama Albatros. Perjalanan sempat mengalami kemacetan selama kurang lebih satu jam, akibat kesalahan rute, yang menyebabkan laju kapal terhambat lumpur laut di pantai Papua Barat bagian Selatan. Selain itu, dek kapal sempat disapu dahan pohon.
Mengutip kembali Rudolf Mrazek (1996, hlm. 242), meski begitu, selama dalam perjalanan, Sjahrir tidak lupa menulis surat untuk istrinya, Maria yang berada di Belanda. Ia menceritakan tentang keindahan alam Indonesia bagian timur. Selain itu, ia menyebut perjalanannya menuju tanah pengasingan, ibarat seperti tamasya untuk bersenang-senang.
Tiba di Tanah Merah
Setelah melewati perjalanan yang berliku, ia bersama para tahanan tiba di Tanah Merah pada tanggal 28 Januari 1935. Dalam catatan Takashi Siraishi dalam Hantu Digoel: Politik Pengamanan Politik Zaman Kolonial (2001), saat itu, wilayah Tanah Merah terbagi dalam tiga wilayah administratif, masing-masing untuk tempat tinggal para pejabat sipil, militer, dan para tahanan.
Diperlukan waktu sekitar tiga setengah hari dengan menggunakan perahu polisi, Albatros, untuk tiba di Tanah Merah dari mulut sungai Digul. Meski terbilang jarang penduduknya, para tahanan akrab dengan penyakit malaria, hewan buas, alam yang tidak bersahabat, dan ancaman kanibalisme dari penduduk asli.
Ketika itu, kedatangan Sjahrir dan Hatta mendapat sambutan dan jamuan dari para tahanan. Selanjutnya, setelah menyelesaikan urusan adminstrasi, atas dasar sikap non kooperatifnya kepada kolonial, Sjahrir memilih untuk masuk dalam kategori tahanan naturalis (tahanan yang dibayar atau mendapat makanan secara natura dari pemerintah), yang berarti tidak bekerja secara sukarela dalam proyek resmi pemerintah di kamp.
Sebagai tahanan elit, selain mendapat uang tunjangan, ia diizinkan untuk menulis sebuah karangan dalam surat kabar yang terbit di Indonesia ataupun Belanda. Namun, kesempatan tersebut tidak ia pergunakan. Meski begitu, ia tetap rutin menulis surat untuk Maria.
Selanjutnya, ia mendapat rumah di kamp tersebut, yang terbuat dari seng dan terkadang membuatnya tidak nyaman ketika berada di dalamnya saat terik matahari mengarah ke rumahnya. Namun, ia tidak pernah mempermasalahkannya. Menurutnya, rumah tersebut merupakan “rumah kecil yang menarik,” tulisnya kepada Maria dalam Rudolf Mrazek (1996, hlm. 248).
Beberapa minggu pertama di kamp, bersama dengan tahanan lain, ia habiskan untuk merencanakan dan membangun rumah untuk para tahanan dari PNI Baru, yang harus membangun rumahnya sendiri di Tanah Merah.
Tidak lupa, ia gunakan waktunya untuk bermain sepak bola, sebagai penyerang tengah untuk klub “Suci Hati” yang merupakan perkumpulan dari Kunst en Sport Vereeninging Digoel.
Selain itu, ia kerap berenang di sungai Digul. Namun, setelah mengetahui kabar tentang salah satu tahanan yang meninggal setelah diserang buaya di sungai tersebut, ia kemudian memilih berenang di Sungai Bening.
Minggu-minggu berikutnya, ia mulai merasakan suasana tidak menyenangkan. Perilakunya mulai aneh hingga ia mendapat julukan “Kelana Jenaka” dari para tahanan lainnya. Sebab, ia kerap mendatangi rumah-rumah para tahanan lainnya di waktu siang ataupun malam hari, hanya untuk meminjam gula, minyak tanah, dan pisang. Padahal, jatah ransum yang diterimanya dapat dikatakan cukup untuk dirinya.
Selain itu, dalam waktu yang singkat, ia tak lupa untuk bermain catur atau dam ketika mendatangi rumah para tahanan. Terkadang, ia sering masuk ke dapur para tahanan untuk membantunya memasak.
Dari semua tahanan yang dikunjunginya, ia paling suka berkawan dengan Najoan – salah satu tokoh PKI tahun 1926 dari Manado – yang dikenalnya sebagai sosok yang memiliki sifat optimis dan humoris, meski telah menjalani 10 tahun hidup di Tanah Merah. “Sifat itulah rupanya yang sangat berkesan pada Sjahrir,” terang Burhanuddin (2010, hlm. 79).
Ia juga pernah melakukan ekspedisi ke tanah milik Kaja-kaja (penduduk asli) yang berada di hulu sungai Digul dengan mendayungi sebuah kano kecil, untuk sekedar melihat-lihat tempat tinggal mereka dan melakukan barter tembakau dan sagu. Menurutnya, semua yang dilakukannya hanya “untuk menjaga supaya semangatnya sehat,” tulisnya dalam suratnya untuk Maria (1996, hlm. 253).
Setelah 10 bulan menjalani hidup di Tanah Merah, ia terserang penyakit malaria. Ia merasakan penderitaan yang lebih hebat dibanding tahanan lainnya yang juga terinfeksi penyakit tersebut. Sebab, ia memiliki alergi terhadap kina, yang merupakan obat untuk meredakan malaria.
Selanjutnya, pada satu hari, ia pernah dicap oleh para tahanan naturalis lainnya, sebagai orang yang menyerah kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Hal tersebut, berawal ketika ia bersedia menerima tambahan uang dari pemerintah, setelah menandatangani deklarasi non-aktivitas politik.
Namun, tuduhan yang disematkan kepadanya, hanya bertahan selama beberapa minggu saja. Sebab, pada akhirnya, para tahanan memamahi alasan dari keputusan si "sosialis salon" tersebut, semata hanya untuk "menutup biaya korespondensi dengan istrinya di Negeri Belanda,” terang Hatta dikutip dari Rudolf Mrazek (1996, hlm. 255).
Memasuki bulan September hingga Oktober 1935, Sjahrir dan Hatta menjadi topik khusus dalam perdebatan para pejabat tinggi kolonial. Mereka khawatir, bahwa penangkapan dan pengasingan kedua tokoh intelektual tersebut akan mendatangkan kritik dikemudian hari. Mengingat, meski bukan semacam kamp konsentrasi Nazi, namun dengan lokasinya yang terisolasi, Boven Digul dikenal sebagai kamp yang keras.
Maka, berdasarkan putusan Dewan Hindia dan Gubernur Jenderal, sekitar awal bulan Januari 1936, kedua tokoh intelektul tersebut dipindahkan ke Banda Neira di kepulauan Maluku, dengan menggunakan sebuah kapal Albatros.
Namun, sebelum itu, Sjahrir dan Hatta berkeliling menemui dan berfoto bersama para tahanan, khususnya kawan-kawan mereka dari PNI Baru. Terakhir, “sambil berjabatan tangan Sjahrir hanya mengatakan ‘Hou je taai!’ [kamu harus tabah],” pungkas Burhanuddin (2010, hlm. 80).
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Dwi Ayuningtyas