Menuju konten utama

Rumitnya Kisah Asmara Sutan Sjahrir dan Maria Duchateau

Setidaknya, ada tiga laki-laki berinisial S dalam hidup Maria Johanna Duchateau: Sal Tas, Sjahrir, Sjahsam. Mereka semua berada dalam lingkaran cinta yang rumit.

Rumitnya Kisah Asmara Sutan Sjahrir dan Maria Duchateau
Maria Duchateau. FOTO/gahetna.nl

tirto.id - Waktu Sjahrir baru tiba di negeri Belanda, di akhir musim panas tahun 1929, Maria Johanna Duchateau masih sangat cantik. Namun, Maria sudah jadi istri Salomon “Sal” Tas—ketua klub mahasiswa sosial-demokrat Amsterdam. Kepada Tas, Sjahrir mengirim surat setelah beberapa hari tiba di Amsterdam.

Segera setelah surat diterima, Tas mengayuh sepedanya ke rumah keluarga Djoehana, di mana Sjahrir menumpang. Dokter Djoehana dan Sjahrizal, kakak perempuan Sjahrir, hanya sampai 1931 saja tinggal di Belanda. Begitu diploma diraih suami kakaknya, Sjahrir hidup sebatang kara di negeri kincir angin.

Untung ada Sal Tas. Anak tukang roti yang gandrung pada sastra, musik, dan politik itu menampung Sjahrir muda. “Dengan mudah Sjahrir dan Tas berteman dan setelah keluarga Djoehana pergi, Sjahrir pindah ke rumah kecil Tas yang tidak jauh dari situ,” tulis Rudolf Mrazek dalam Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia (1994: 96).

Rumah itu dihuni Sal Tas, istrinya, dua anak mereka, dan seorang perempuan bernama Judith van Wamel. Tentu saja ditambah Sjahrir akhirnya. Bersenang-senang ala mereka adalah pergi ke rumah makan, teater, konser, juga pertemuan politik.

Pada November 1931, Sjahrir angkat kaki dari Belanda. Rupanya, beberapa waktu jelang pulang itu, Sjahrir sudah akrab dengan Nyonya Sal Tas. Kala itu, Maria dan Tas sedang mengalami masa suram pernikahan mereka. Meski sudah punya dua anak, keduanya tampak asyik dengan dunianya masing-masing.

Maria belakangan bahkan seolah-olah membiarkan Tas berhubungan dengan Judith. Maria juga terlibat cinta dengan Sjahrir. Dua sejoli ini punya panggilan kesayangan. Sidi untuk Sjahrir dan Mieske untuk Maria. Sal Tas pun tak ambil pusing atas hubungan istrinya dengan sahabatnya itu.

Pulang ke Indonesia, Tetap Melanjutkan Kisah Cinta

Bulan Desember 1931, Sjahrir sudah tiba di Batavia. Dia lalu jadi Ketua Redaksi Daulat Ra'jat. Sjahrir tidak menjadi pengekor gaya kaum pergerakan, baik mereka yang dalam pengawasan maupun pemenjaraan seperti Sukarno. Sjahrir sering muncul dengan dandanan bohemian: sarung lecek sebagai bawahan, jas sebagai atasan, juga peci di kepala.

Pada April 1932, empat bulan lebih setelah Sjahrir berada di Indonesia, Maria menyusul. Sjahrir sepertinya mau bikin sejarah gila di era kolonialisme nan rasis itu bersama Maria: mereka hendak kawin. “Tanggal 10 April 1932 mereka menikah di Masjid di Medan,” catat Mrazek (hlm. 191). Kemudian, mereka berdua jadi pasangan eksentrik di Medan.

Maria “berjalan-jalan di kota Medan, berkain sarung dan kebaya, bergandengan tangan dengan suaminya yang orang Indonesia,” tulis Frances Gouda dalam Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942 (2008: 300).

Pasangan itu bikin gerah orang-orang Eropa rasis di Medan. Orang-orang kulit putih yang risih itu bahkan bertanya ke Maria, barangkali dirinya membutuhkan pertolongan. Seolah-olah Sjahrir orang jahat. Menurut Gouda, “Duchateau dan Sjahrir telah menyerap etika bohemian, yang membuat mereka cenderung bermuka tebal.” Mereka tentu saja mengganggu orang rasis.

Pasangan itu tidak bertahan lama, hanya bertahan lima minggu. Maria belum dianggap bercerai secara resmi dengan suami terdahulu, Sal Tas. Maria pun dideportasi. Dia tidak pulang untuk jadi istri Sal Tas lagi karena suaminya belakangan kawin dengan Judith.

Setelah itu, Sjahrir mencerburkan diri dalam pergerakan nasional. Ia menghabiskan waktu untuk membangun opini publik dan mendidik kader. Gara-gara aktivitasnya, ia dibuang pemerintah kolonial ke Banda Neira dan Boven Digoel. Begitulah Sjahrir dalam dunia pergerakan.

Perpisahan yang Baik

Hubungan jarak jauh Sjahrir dan Maria berjalan lewat surat menyurat. Sjahrir di Indonesia timur dan Maria di Belanda. Belakangan surat-surat tersebut dibukukan. Surat-menyurat itu lalu terputus oleh Perang Dunia II.

Ketika Depresi Ekonomi dunia di era 1930-an terjadi, Sjahsam, salah seorang adik Sjahrir yang dua tahun lebih muda darinya, diminta Sjahrir membantu Maria dan anak-anaknya. Sjahrir baru bertemu Maria lagi setelah 15 tahun, pada 1947 di New Delhi. Kala itu Sjahrir sudah jadi Perdana Menteri Indonesia dan berkunjung ke India bersama rombongan kenegaraan. Rupanya, Sjahrir sudah punya idola lain, yang juga ikut rombongan.

Ketika mereka bertemu di bandara, Sjahrir memang mencium pipi kanan dan pipi kiri Maria. Tapi, seperti dicatat Mrazek (1994: 601), “menurut Maria Duchateau sendiri dia merasakan suaminya sudah berubah, tetapi ini disebabkan Sjahrir menjadi negarawan.”

Belakangan, Siti Wahjunah alias Poppy, si idola baru Sjahrir itu, juga merasakan hubungan Sjahrir dan Maria sudah tidak hangat lagi. Bahkan tanpa Poppy sekalipun, karena sudah termakan oleh waktu.

Infografik maria johanna duchateau

Di era Sjahrir menjadi negarawan, perempuan cantik terpelajar Indonesia lebih menarik baginya. Saat itu umur Maria tentu saja sudah lewat 30. Kecantikan dan kilau mudanya sudah memudar. Sementara Poppy, yang lebih muda dari 11 tahun dari Sjahrir, tentu masih menarik. Di masa Revolusi itu pula, Sjahrir punya kisah dengan Gusti Nurul, seorang putri keraton berpendidikan yang kecantikannya tersohor.

Setelah hubungan Sjahrir dan Maria berlalu, tak ada permusuhan di antara mereka. Maria bahkan tak bisa dibilang jauh dari Sjahrir.

Sjahsam, yang dulu diminta Sjahrir membantu Maria di Belanda, akhirnya jadi suami Maria. Sedangkan Sjahrir sudah jadi suami Poppy sejak Mei 1951. Waktu itu Sjahsam bisa dibilang tajir.

“Dia termasuk makelar saham pribumi paling berpengalaman dan dapat disejajarkan dengan para makelar Belanda di tahun 1950-an. Perusahaan makelar milik Soetan Sjahsam, PT Perdanas,” catat buku Pasar Modal Indonesia: Retrospeksi Lima Tahun Swastanisasi BEJ (1997:26).

Karena Sjahjam tajir, Maria tentu bergaya hidup layaknya orang berduit. Pebalet Farida Oetoyo, ibunda pemain drum Aksan Syuman alias Wong Aksan, pernah melakukan perjalanan bersama Maria ke Eropa. Farida sempat jadi pengasuh bayi hasil perkawinan Maria dengan Sjahsam, yang dinamai Sjusam.

“Saya meninggalkan Jakarta bersama Tante Maria Duchateau Sjahsam dan anaknya Sjusam ke Belanda lewat Italia naik kapal laut. Sesampainya kapal berlabuh di Genoa, Italia, mobil mewah Cadillac berwarna putih dengan supir pribadi yang berseragam sudah siap menjemput kami,” aku Farida Oetoyo dalam Saya Farida: Sebuah Autobiografi (2014: 44-45).

Mereka menginap di hotel mewah pula. Farida juga ingat, “Tante Maria sangat akrab dengan lelaki yang bekerja sebagai supirnya. Supir itu bebas keluar masuk kamar majikan.”

Betapa egaliternya Maria Duchateau setelah masa-masa bohemiannya bersama Sal Tas dan Sjahrir puluhan tahun berlalu.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan