tirto.id - Sutan Sjahrir tak bisa bicara. Sebelumnya, pada awal 1965, ia terjatuh di kamar mandi Rumah Tahanan Militer (RTM) Budi Utomo, Jakarta. Serangan stroke berulang. Dokter melakukan operasi. Tangan dan kaki kanan bisa digerakkan, tapi kemampuan bicara lenyap. Kondisi kesehatannya terus memburuk.
Pada 21 Juli 1965, persis 57 tahun silam, perdana menteri pertama Republik Indonesia itu diberangkatkan ke Zurich, Swiss, untuk berobat. Ia didampingi sang istri, Siti Wahjunah atau Poppy, dan kedua anak mereka, Kriya Arsyah atau Buyung dan Siti Rabyah Parvati atau Upik.
Keberangkatan dimungkinkan setelah Poppy menyampaikan permohonan ke Presiden Sukarno agar suaminya diperkenankan berobat ke luar negeri. Sukarno mengabulkan. Hanya, seperti dicatat sejarawan Rudolf Mrazek dalam Sjahrir:Politics and Exile in Indonesia, ada satu syarat: pengobatan tidak boleh di Belanda. Pilihan jatuh ke Swiss lantaran alasan bahasa, yaitu Sjahrir bisa sedikit berbahasa Jerman – yang dipakai sebagian warga di sana.
Jurnalis Rosihan Anwar turut mengantarkan ke Bandara Kemayoran. “Bung akan baik lagi,” kata Rosihan lalu mencium kedua pipi Sjahrir, seperti dituliskannya dalam Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965. Sjahrir hanya mengeluarkan bebunyian tanpa makna. Itulah hari terakhirnya di Tanah Air sebelum wafat.
Pendiri Partai Sosialis Indonesia (PSI) tersebut diberangkatkan ke Swiss dengan berstatus tahanan. Menjelang fajar, pada 16 Januari 1962, ia dicokok di rumahnya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Juga ditangkap mantan Menteri Luar Negeri Anak Agung Gde Agung, politisi PSI Soebadio Sastrosatomo, dan Sultan Hamid II Alkadri. Pun ditahan para petinggi Masyumi: Prawoto Mangkusasmito, Yunan Nasution, Isa Anshary, dan Mohamad Roem.
Tuduhan dialamatkan ke mereka setelah menghadiri upacara ngaben Raja Gianyar pada 18 Agustus 1961. Anak Agung Gde Agung, putra sang raja, mengundang sejumlah rekan untuk menghadiri ngaben di kampung halamannya. Para undangan khusus itu adalah mantan Wapres Mohammad Hatta, politisi PSI Hamid Algadri, Sjahrir, Sultan Hamid, Soebadio, dan Roem.
Upacara berlangsung lancar. Tapi beberapa bulan kemudian, bergulir laporan ke pihak intelejen: para tokoh hadir di Gianyar untuk membahas upaya penggulingan pemerintahan Sukarno.
Semua ini terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin yang awalnya ditandai Dekrit 5 Juli 1959. Sukarno kembali menjadi kepala pemerintahan, bukan lagi sekadar simbol seperti masa Demokrasi Liberal. Di sisi kanan, ada Angkatan Darat. Partai Komunis Indonesia (PKI) menempati posisi kiri. Keduanya bersaing, memperebutkan rangkulan Pemimpin Besar Revolusi.
Pada Agustus 1960, PSI dan Masyumi telah dibubarkan karena dianggap terlibat PRRI-Permesta. Di luar tuduhan itu, keduanya niscaya juru kritik paling lantang terhadap Sukarno di awal Demokrasi Terpimpin.
Penggranatan di Makassar
Sebuah peristiwa penting dan terkait Sukarno menjadi titik picu berikutnya. Pada 7 Januari 1962, Sang Proklamator berkunjung ke Makassar. Tiba-tiba sebuah granat dilemparkan ke iring-iringan mobilnya. Ia selamat tapi tiga warga tewas dan puluhan lain terluka. Insiden ini lantas ditarik sampai ke tudingan konspirasi yang dibicarakan di Gianyar.
Demikianlah. Kecuali Hatta dan Algadri, para tokoh nasional yang hadir di Gianyar dicokok polisi militer. Konon perintah datang dari Penguasa Perang Tertinggi (Paperti) yang dipimpin Sukarno. Surat penahanan diteken Menteri Luar Negeri/Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) Soebandrio dan Menko Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal AH Nasution.
Sjahrir, Roem, dan Prawoto diinapkan di sebuah rumah di Jl Daha, Kebayoran Baru. Masing-masing diberi sebuah kamar. Lokasi ini dirahasiakan, bahkan dari keluarga.
“Tapi, melalui Ditpom, keluarga boleh mengirim makanan, pakaian, buku, dan lain-lain barang yang kami perlukan….Salah satu barang yang pertama kami minta dari keluarga adalah foto keluarga. Foto itu mempunyai fungsi untuk dilihat, kalau kami merasa kangen dengan keluarga,” kenang Roem dalam esai Kekeliruan Sjahrir (1966).
Pernah pada suatu pagi, Roem masuk ke kamar Sjahrir untuk mengantarkan surat kabar. Terlihatlah si empunya tempat sedang menciumi foto anak-anaknya. Diplomat dan mantan menteri di sejumlah kabinet itu menyaksikan hidung Sjahrir yang merah dan air mata yang mengembang.
Sjahrir sangat mencintai anak-anak. Pulang dari pembuangan di Banda Neira, pria kelahiran 5 Maret 1909 itu memiliki tiga anak angkat: Lili, Mimi, dan Ali. Bisa dibayangkan kepedihan hati berpisah dengan Buyung dan Upik. Saat ayah dijemput aparat, Buyung baru 5 tahun, Upik 2 tahun.
Dua bulan kemudian mereka diboyong ke penjara di Jalan Wilis, Madiun, Jawa Timur. Dalam esai Bung Kecil yang Berbuat Besar (1981), Roem menulis, Sjahrir kerap menyendiri saat di Madiun. Saban malam para tahanan main bridge atau scrabble, namun pria yang kuliah hukum di Leiden itu tak pernah ikut. Agak aneh mengingat ia ditahan bersama orang-orang yang dikenalnya secara dekat, kecuali Sultan Hamid.
Menurut Rosihan, penahanan kali ini lebih berat ketimbang pembuangan di Boven Digul, di pelosok nun jauh Papua. Dulu masih bujangan, sekarang Sjahrir sudah berkeluarga dan memiliki anak. Kenyataan harus terpisah dari orang-orang tercinta sangat mengganggu pikirannya.
Protes Bung Hatta
Penahanan Sjahrir dan kawan-kawan memancing protes. Salah satunya berasal dari Hatta. Seperti diceritakan Rosihan dalam Sebelum Prahara, Hatta menulis surat untuk Sukarno. Semula surat tersebut sangat keras, misalnya, dengan menyebut tindakan penangkapan sebagai “tindakan kolonial.” Tapi kemudian Hatta agak melunak, termasuk membuang frasa tersebut.
“Saya yakin, Sjahrir dan lainnya itu prinsipiil menentang segala macam teror dalam politik karena bertentangan dengan sosialisme, dengan peri kemanusiaan…Mereka itu tidak segan melakukan oposisi yang tegas dalam politik, seperti ternyata dalam pergerakan mereka dahulu, tetapi akan ikut dengan perbuatan teror, itu tidak masuk akal,” tulis Hatta dalam suratnya -- surat yang tak digubris.
“Aku dapat memahami, bila orang-orang yang tidak senang mencoba membunuhku. Karena itu aku pun memahami, bahwa aku harus membalas dan berusaha menangkapnya. Beberapa waktu lalu Sjahrir mengadakan komplotan untuk menumbangkanku dan merebut pemerintahan. Sjahrir sekarang berada dalam tahanan. Aku tidak dendam. Aku menyadari, ini adalah pertarungan hebat antara dua pihak yang bertentangan dalam mana aku terlibat. Pertarungan untuk mempertahankan hidup,” ujar Sukarno kepada Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Pada awal November 1962, Sjahrir dipindahkan dari Madiun ke RSCM Jakarta. Kamarnya dijaga para prajurit. Tak boleh dijenguk. Hanya pada hari Minggu, dengan izin Kejaksaan Agung, keluarga dekat boleh mengunjungi.
Pada suatu ketika, Hatta mesti check up ke RSCM. Ia menyempatkan diri menjenguk Sjahrir. Kunjungan ini tak bisa dicegah tapi beberapa hari kemudian Sjahrir dipindah ke RSPAD Gatot Subroto dengan penjagaan lebih ketat.
Dari RSPAD, ia dikirim ke rumah tahanan di kawasan Jakarta Kota. Sementara, Poppy menulis surat ke Sukarno dan menunggu. Tak lama berselang, Sjahrir dipindahkan lagi ke RTM Budi Utomo.
Setelah bertahun-tahun, akhirnya izin berobat ke luar negeri terbit. Sebuah apartemen disiapkan untuk Sjahrir dan keluarga di pinggiran kota Zurich. Sejumlah teman pun satu per satu menyambangi. Salah satunya, mantan Kepala Staf Angkatan Perang RI, TB Simatupang, yang mencatat begini dalam esai Apa Arti Sutan Sjahrir bagi Kita Sekarang Ini? (1980): “Kami makan siang dan saya bercakap-cakap sebentar dengan Zus Pop. Sjahrir tidak dapat berbicara, tetapi tetap memperlihatkan perhatian yang besar terhadap apa yang kami bicarakan.”
Saat Simatupang pamit, Sjahrir bergerak mengambil topi, mantel, dan syal. Permintaan Poppy agar sang suami tak ikut mengantar diabaikan. Mereka bertiga jalan kaki menuju halte bus.
Malang tak dapat diadang. Tekanan darah Sjahrir kembali melonjak sangat tinggi. Ia dilarikan ke rumah sakit. Setelah tujuh hari terbaring koma, pada 9 April 1966, Sjahrir wafat -- belasan ribu kilometer dari Tanah Air yang sangat dicintainya.
Enam hari setelah kematiannya, turun keputusan Sukarno soal penobatan Sjahrir sebagai “Pahlawan Nasional.”
Jenazah Sjahrir diterbangkan ke Indonesia. Pada 19 April 1966, puluhan ribu orang berdiri di sepanjang jalan menuju Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata untuk memberi penghormatan. Hujan turun deras. Hatta, senior dan sahabat dekatnya sejak era kolonial, menyampaikan pidato perpisahan.
"Ia berjuang untuk Indonesia merdeka, melarat dalam pembuangan Indonesia merdeka. Ikut serta membina Indonesia merdeka. Tetapi ia sakit dan meninggal dalam tahanan Republik Indonesia yang merdeka," kata Hatta.
Saat di Madiun, Roem bilang, Sjahrir mengaku keliru. Ia dibui dan dibuang pada masa kolonial. Namun, Sjahrir tak pernah menyangka bakal menjadi tahanan politik ketika Indonesia telah merdeka.
Wafat sebagai tahanan, ia tidak pernah dihadapkan ke pengadilan, tidak pernah punya kesempatan membela diri. []
Editor: Nuran Wibisono