Menuju konten utama

Menjaga Hutan di Negeri yang Gentar pada Ilmu Pengetahuan

Menjaga orang utan adalah upaya berabad-abad sejak Indonesia masih dikuasai Pemerintah Hindia Belanda.  

Menjaga Hutan di Negeri yang Gentar pada Ilmu Pengetahuan
Header Mozaik Hutan Depok. tirto.id/Quita

tirto.id - Pada tahun 1896, dua orang naturalis, J. van Houten dan M.C. Piepers, memublikasikan temuan mereka bahwa jumlah populasi beberapa spesies di Hindia Belanda berada pada angka yang mengkhawatirkan.

Spesies-spesies tersebut di antaranya anggrek, burung cenderawasih, merak Jawa, badak, banteng, dan orang utan. Publikasi ini sampai ke telinga Kementerian Jajahan di Belanda, yang kemudian mengirimkannya kepada Gubernur Jenderal di Batavia.

Temuan ini direspons dengan pendirian Cagar Alam Cibodas di Jawa Barat sebagai area perlindungan kawasan hutan dan hidrologi. Ini merupakan cagar alam pertama yang didedikasikan untuk penelitian sekaligus upaya perdana Belanda dalam inisiatif konservasi.

Sepuluh tahun kemudian, pemerintah Hindia Belanda menerbitkan Staatsblad No. 497 & 594/1909, tentang Peraturan Perlindungan Satwa Liar. (Boomgaard, Peter. “Oriental Nature, its Friends and its Enemies: Conservation of Nature in Late-Colonial Indonesia, 1889–1949”, Environment and History 5 (1999): 257–292).

Satu seperempat abad berlalu sejak J. van Houten dan M.C. Piepers memublikasikan temuannya, pada 14 September 2022 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengedarkan sebuah surat perihal pengawasan penelitian satwa. Surat itu ditujukan kepada para Kepala Balai Besar/Balai Taman Nasional dan Kepala Balai Besar/Balai KSDA di seluruh Indonesia.

Isinya melarang memberikan pelayanan dan perizinan, serta melaporkan dan mengawasi kegiatan penelitian satwa oleh para peneliti asing, yakni Erik Meijaard, Julie Sherman, Marc Ancrenaz, Hjalmar Kuhl, dan Serge Wich.

Dikutip dari CNN Indonesia, surat edaran tersebut rupanya dipicu oleh publikasi-publikasi Erik Meijaard, terutama yang berkenaan dengan orang utan, yang diduga dapat mendiskreditkan pemerintah, dalam hal ini KLHK. Surat ditutup dengan pernyataan bahwa perintah tersebut bertujuan menjaga objektivitas publikasi.

Menjaga objektivitas publikasi sungguh cita-cita mulia pemerintah, nilai yang juga dijaga teguh peneliti lewat--beberapa di antaranya--metode pengambilan data dan ulasan sejawat dari komunitas ilmuwan. Dengan berbekal data objektif masing-masing, keduanya dapat bahu-membahu menyelamatkan orang utan di habitat aslinya, hutan.

Alih-alih, pemerintah menutup dialog dengan mengeluarkan surat pencekalan. Surat otoriter ala Orde Baru itu mematikan kebebasan akademik yang sebelumnya juga tak pernah sepenuhnya bebas di Indonesia. Juga menghambat upaya konservasi hutan dan spesies-spesies yang dilindungi, yang merupakan aset biodiversitas yang sangat berharga.

Kehilangan kekayaan biodiversitas merupakan kerugian besar, baik jangka pendek dan terutama jangka panjang. Jasa lingkungan yang disediakan hutan memengaruhi kehidupan di Bumi dan penghidupan langsung orang-orang yang bergantung pada hutan, serta pada iklim dan cuaca.

Sebagai bagian dari ekosistem, orang utan memiliki peran besar sebagai penebar biji-bijian di hutan. Punahnya orang utan menujukkan bahwa manusia tidak mampu melakoni gaya hidup yang selaras dengan kebutuhan ekologis Bumi. (Meijaard, et al., “Not by science alone: why orangutan conservationists must think outside the box”, Annals of the New York Academy of Science 1249 (2012), hlm. 32).

Menjaga orang utan adalah upaya berabad-abad lamanya sejak Indonesia masih dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda. Kini ancamannya semakin besar dan pelik mengingat perkebunan kelapa sawit menjadi penyebab utama turunnya populasi orang utan karena habitat mereka lenyap.

Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang semestinya terdepan dalam menjaga hutan justru gamblang menyatakan dalam twit pribadinya pada 3 November 2021, “Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi.”

Kesadaran Konservasi dan Lemahnya Peraturan

Sejak 1840-an, para ilmuwan dan pejabat negara telah memperingatkan pemerintah pusat di Batavia dan di Belanda bahwa deforestasi dapat mengakibatkan masalah serius, antara lain hilangnya suplai air untuk irigasi dan banjir.

Residen Buitenzorg (kini Bogor) dalam laporan tahunan 1846 mengingatkan Gubernur Jenderal bahwa deforestasi yang terjadi terus-menerus akan menimbulkan perubahan iklim, berkurangnya curah hujan, dan akan mengurangi pasokan air untuk irigasi padi.

Pada 1886 dan 1887, pemerintah pusat di Batavia bahkan menggagalkan petisi yang diajukan oleh dua pengusaha Belanda yang berusaha melindungi area perkebunan dan perburuan miliknya dari upaya-upaya konservasi.

Kesadaran konservasi tersebut sudah mulai muncul jauh sebelum Staatsblad yang mengatur perlindungan satwa liar disahkan pada 1909, meskipun pada praktiknya banyak pengecualian. Staatsblad itu mengecualikan perlindungan terhadap hewan-hewan liar yang dianggap berbahaya, seperti kera dan monyet, termasuk orang utan.

Penguasa lokal juga dapat mengabaikan sementara status perlindungan ketika sedang berburu banteng Jawa atau burung cendrawasih di wilayah timur Indonesia. Hingga abad ke-20, bulu burung cenderawasih mendapatkan permintaan yang tinggi sebagai hiasan topi perempuan-perempuan Eropa.

Staatsblad 1909 yang tanpa taring itu sangat mengecewakan.

Pada 1913, Nederlandsch-Indische Vereeniging tot Natuurbescherming (Masyarakat Hindia Belanda untuk Perlindungan Alam) mengeluarkan petisi dan menghasilkan suatu peraturan baru, yakni Staatsblad No. 278/1916 yang memungkinkan seorang Gubernur Jenderal memberikan status cagar alam ke suatu wilayah, yang dianggap memiliki nilai keindahan maupun nilai ilmiah.

Di tahun yang sama, Masyarakat Hindia Belanda untuk Perlindungan Alam juga berhasil mendapatkan kendali atas pengawasan sebuah kawasan cagar alam kecil seluas 6 hektare di Depok, yang berdekatan dengan Batavia.

Infografik Mozaik Hutan Depok

Infografik Mozaik Hutan Depok. tirto.id/Quita

Cornelis Chastelein, seorang pejabat tinggi VOC yang memiliki wilayah Depok pada abad ke-18, jauh sebelum istilah perlindungan alam ditemukan, sudah memberlakukan konsep ini di Depok.

Ia membuat peraturan bahwa hutan Depok tidak boleh dipindahtangankan atau ditebang, dan bahwa para penghuninya diperbolehkan menebang kayu dan mengambil kayu bakar hanya untuk keperluan pribadi, bukan untuk dijual.

Hingga abad ke-20, peraturan Chastelein ini berhasil mempertahankan Depok sebagai hutan hujan tropis yang tersisa di wilayah yang semestinya bakal habis untuk budi daya. (Boomgaard, Peter. “Oriental Nature, its Friends and its Enemies: Conservation of Nature in Late-Colonial Indonesia, 1889–1949”, Environment and History 5 (1999): 257–292).

Staatsblad perlindungan satwa liar pun terus direvisi dan menambahkan jumlah spesies yang dilindungi, termasuk orang utan yang akhirnya masuk dalam daftar pada Staatsblad tahun 1925. Namun lampiran dalam Peraturan Perlindungan Hewan tahun 1931 memperbolehkan residen setempat untuk mengeluarkan izin berburu hingga tujuh kategori hewan.

Peraturan-peraturan dengan banyak pengecualian ini pada akhirnya gagal menjalankan agenda konservasi, termasuk pada hutan. (Cribb, Robert, “Conservation in Colonial Indonesia”, Interventions in International Journal of Postcolonial Studies, Maret 2007, hlm. 10).

Di ujung kekuasaan kolonial Belanda menjelang invasi Jepang pada 1941, ahli zoologi Karel Willem Dammerman justru menyalahkan kegagalan agenda konservasi ini pada orang Indonesia.

“Orang pribumi tidak melihat alam seobjektif kami… Jika seorang pribumi membiarkan sebatang pohon tetap hidup, misalnya pohon waringin yang indah, itu bukan karena ia menghargai keajaiban alam, tetapi lebih karena memotong pohon beringin dapat mendatangkan sial,” ujarnya, masih mengutip Robert Cribb.

Tetapi ketika manusia tidak lagi takut pada roh penunggu hutan di rimba raya Sumatra dan Kalimantan serta membuka perkebunan sawit secara besar-besaran, kesialan bertubi-tubi menimpa dalam berbagai bentuk bencana alam dan darurat iklim, bahkan ketika ilmuwan sudah mengingatkan berkali-kali.

Baca juga artikel terkait PENELITIAN atau tulisan lainnya dari Uswatul Chabibah

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Uswatul Chabibah
Penulis: Uswatul Chabibah
Editor: Irfan Teguh Pribadi