Menuju konten utama
Mozaik

Aplikasi Pengolah Kata Amat Mekanis, Tak Diciptakan bagi Penulis

Aplikasi pengolah kata seperti Microsoft Word atau Google Docs sesungguhnya tidak diciptakan untuk penulis, tapi pebisnis.

Aplikasi Pengolah Kata Amat Mekanis, Tak Diciptakan bagi Penulis
Header Mozaik Word Processing. tirto.id/Tino

tirto.id - Dua tahun lalu, menanggapi kian menjamurnya penggunaan layar atau monitor beresolusi tinggi, Microsoft berencana menanggalkan Calibri, fon bawaan Word, Excel, Powerpoint, Outlook, dan berbagai aplikasi dalam Microsoft Office.

“Calibri telah menjadi fon bawaan di semua produk buatan Microsoft sejak 2007 dengan menggantikan posisi Times New Roman [...] tetapi kami meyakini bahwa inilah saatnya untuk berkembang,” terang Microsoft.

Setia pada Sans Serifs sebagai pakem struktur fon, Tenorite, Bierstadt, Skeena, Seaford, dan Granview merupakan kandidat fon pengganti Calibri yang dipilih Microsoft saat itu. Hasilnya, diumumkan pada 14 Juli 2023 lalu, Microsoft memilih Bierstadt, fon buatan Steven Matteson.

Ia merupakan desainer fon yang merancang sejumlah fon dalam keluarga TrueType (seperti Times New Roman, Arial, Courier New) dan Segoe—dimanfaatkan Microsoft untuk logonya sendiri saat ini—yang menjadi fon bawaan terbaru di seluruh produk Microsoft.

Bierstadt kemudian diubah namanya menjadi Aptos. Matteson menyebut fon baru ini ia ciptakan dengan perspektif "sentuhan manusia" yang penting dihadirkan karena situasi dunia teknologi yang kian mekanis.

Dalam menciptakan fon yang memiliki “sentuhan manusia” ini, ia mengaku merancangnya di secarik kertas, bukan komputer, demi menghilangkan unsur “ketidakkekalan” yang dimiliki teknologi.

Meski terasa tak terlalu penting, perubahan fon bawaan yang dilakukan Microsoft—saat Calibri menggantikan Times New Roman—berhasil membongkar kasus korupsi yang dilakukan Perdana Menteri Pakistan Nawas Sharif pada 2017.

Saat itu putrinya, Maryam Nawas, terbukti memalsukan dokumen tentang perusahaan ilegal di luar negeri yang mencuat dalam Panama Papers gara-gara menggunakan Calibri, fon yang baru menjadi bawaan sejak 2007.

Keberhasilan Pakistan membongkar kasus korupsi yang dilakukan pejabatnya lewat pemilihan fon yang tak sesuai, sesungguhnya terletak pada kenyataan bahwa Microsoft Word merupakan aplikasi "default" umat manusia untuk membuat dokumen.

Bukan untuk Penulis

“Dilihat dari sisi manapun, wawancara George Raymond Richard Martin pada 2013 dalam acara yang digawangi Conan O’Brien sangat mengejutkan,” tulis Matthew G. Kirschenbaum dalam Track Changes: A Literary History of Word Processing (2016).

Para pemirsa bukan hanya disuguhkan fakta menarik tentang kisah-kisah rekaan yang diciptakan penulis seri novel fantasi A Song of Ice and Fire ini, tapi juga diberitahu tentang bagamana dia bekerja, tak terkecuali soal senjata rahasia yang digunakan untuk menulis karya-karyanya, yakni aplikasi WordStar.

Aplikasi pemrosesan kata atau word processing seperti Microsoft Word ataupun Google Docs ini berasal dari zaman pra-Windows yang terpasang di komputer jadul miliknya, DOS.

“WordStar dapat melakukan semua yang saya inginkan dari word processing dan aplikasi ini tidak berlebihan dalam melakukan tugasnya,” terang Martin.

Ia menambahkan dirinya tidak butuh bantuan berlebih dari word processing. Martin bahkan membenci versi modern aplikasi pemrosesan kata yang saat mengetik huruf kecil, misalnya, aplikasi secara otomatis mengubah huruf tersebut menjadi huruf besar.

"Saya tidak perlu bantuan. Jika saya menginginkan huruf besar, saya akan mengetik huruf besar karena saya tahu bagaimana caranya menggunakan tombol Shift,” lanjutnya.

Menurut Kirschenbaum, pengakuan Martin menggunakan WordStar sebagai word processing yang digunakannya sangat mengejutkan, sebab hampir tak ada lagi manusia di muka bumi yang mengingat WordStar.

Dipasarkan perusahaan bernama MicroPro, aplikasi yang dibuat sendirian oleh Rob Barbany dengan 137.000 “line of code” ini mendominasi pasar aplikasi pemrosesan kata tak lama setelah kemunculannya pada 1978.

Namun, dominasi ini perlahan luntur dengan kemunculan WordPerfect. Lalu terkubur secara keceluruhan (termasuk WordPerfect) lewat kehadiran Microsoft Word--word processing dari House of Gates yang "dicuri" dari pusat riset komputer bernama Palo Alto Research Center (PARC) milik Xerox.

Inilah srategi bisnis yang dijalankan Microsoft dalam menghadapi persaingan di dunia teknologi, terutama dari lawan terberatnya, Apple.

Alkisah, saat Steve Jobs mengunjungi Palo Alto Research Center pada 1979 untuk melihat demonstrasi termutakhir grafik komputer yang termuat dalam komputer bernama Alto, programmer cum peneliti muda asal Hungaria bernama Charles Simonyi ikut serta mendemonstrasikan kemampuan Alto dengan menjalankan aplikasi buatannya, Bravo.

Aplikasi ini merupakan word processing pertama di dunia yang memiliki resonansi tegas dengan bentuk modernnya saat ini.

Tak seperti Electric Pencil sebagai word processing pertama bagi komputer pribadi ataupun pelbagai word processing khusus berbasis time-sharing terminal, dari sisi tampilan Bravo dibangun untuk meniru kertas cetak atau buku, menghadirkan konsep What You See Is What You Get (WYSIWYG).

“Saya harus menciptakan Bravo dengan membayangkan buku ada di depan mata saya,” ujar Simony.

Meskipun terpesona dengan Barvo, Jobs lebih jatuh hati dengan UI/UX Alto. Lewat janji manis berupa izin untuk Xerox dapat membeli saham Apple, Jobs membawa UI/UX Alto untuk dijadikan pondasi penciptaan Macintosh.

Mendengar kabar ini dan mengerti bahwa UI/UX merupakan masa depan bagi komputer, Bill Gates segera “mencuri” konsep tersebut dengan menggaet Simony dan beberapa koleganya menjadi karyawan Microsoft.

Waktu berlalu, Bravo akhirnya bertransformasi menjadi Microsoft Word yang dirilis ke publik pertama kalinya hanya untuk dijalankan di Macintosh, bukan MS DOS apalagi Windows, sebab UI/UX buatan Microsoft belum selesai dibangun.

Karena kongsi dagang yang dilakukan Microsoft dengan Intel sebagai perusahaan yang berhasil membuat komputer menjadi lebih murah, Microsoft kemudian berhasil membangun mengasosiasikan Windows sebagai kata pengganti sistem operasi.

Dengan kesuksesan tersebut, Microsoft Word yang terdapat dalam Windows pun akhirnya memasyarakat, menggantikan posisi WordStar, WordPerfect, dan 400-an aplikasi word processing lain yang sempat muncul sejak akhir 1970-an.

Kesuksesan ini menurut Tin Cheuk Leung dalam "What is the True Loss Due to Piracy" (2011), bukan hanya karena Microsoft Word lebih mumpuni dibandingkan aplikasi sejenis lain, tetapi juga karena politic of code yang dijalankan Microsoft.

Politik ini merasuk pada sendi-sendi pemerintahan, semisal meloloskan Microsoft Word sebagai bagian dari kurikulum pendidikan dan membiarkan pembajakan terjadi pada aplikasi ini oleh masyarakat untuk menggiring ".doc" atau ".docx" menjadi default ekstensi dokumen yang digunakan secara luas.

Kembali pada pengakuan George Raymond Richard Martin, ia menolak mengikuti manusia kebanyakan dalam memilih word processing modern seperti Microsoft Word karena dianggap terlalu mendiktenya saat menulis.

Melalui seperangkat tool yang tak ada sangkut pautnya dengan menulis, Microsoft Word mendikte beberapa hal fundamental, termasuk penggunaan kursor dari tetikus atau trackpad berlebihan, yang terkadang mengalahkan porsi penggunaan keyboard atau papan ketik.

Seperangkat alat ini merupakan jati diri word processing yang dihadirkan Tech Bros dari Silicon Valley untuk memudahkan siapapun dalam menulis, yang disebut Writer’s Digest dalam publikasinya pada Agustus 1983 sebagai "alat terhebat yang pernah ada bagi penulis."

The New York Times edisi 20 Maret 1981 meyakinkan pembacanya bahwa keberadaan seperangkat alat dalam word processing dapat menggiring penciptaan tulisan atau dokumen yang "sempurna".

Apalagi di tengah kemunculan kecerdasan buatan saat ini, proses menulis diyakini akan lebih mudah dilakukan dengan mengalihdayakan proses kerja menulis, sebagian atau bahkan seluruhnya.

Keengganan George Raymond Richard Martin menggunakan word processing modern tak sekadar soal kekesalan. Ia bukan tak mau membuat tulisan "sempurna", melainkan teknologi ini memang tidak diciptakan untuk penulis.

Infografik Mozaik Word Processing

Infografik Mozaik Word Processing. tirto.id/Tino

Dipaparkan Thomas Haigh dalam "Remembering the Office of the Future" (IEEE Annals of the History of Computing, 2006), fakta bahwa aplikasi komputer ini tidak diciptakan untuk penulis dapat dilihat dari istilah umum untuk menyebut aplikasi-aplikasi seperti Microsoft Word atau Google Docs, yakni word processing itu sendiri.

Tak lahir dari pemikiran penulis, word processing diciptakan IBM oleh salesnya bernama Ulrich Steinhilper sebagai jargon bagi para eksekutif dan sekretaris perusahaan. Ia mengartikan processing dalam word processing sebagai proses mekanis ala spreadsheet dengan data processing-nya.

Dari pemilihan istilah ini, Microsoft Word maupun Google Docs akhirnya dibangun untuk melayani kerja-kerja mekanis, bukan kerja-kerja kreatif khas jurnalis dan sastrawan, misalnya. Ini menggiring perusahaan-perusahaan pembuat word processing memilih menyebut hasil dari aplikasi ini sebagai "dokumen", bukan "karya tulis".

Ted Nelson dalam Literary Machines (1981) menyebut keputusan Silicon Valley menggunakan istilah "dokumen" membuat penulis terperangkap dengan "kreatifitas yang hanya bisa dicetak [...] yang dibatasi seperangkat alat yang dihadirkan aplikasi ini [...] yang didikte kerja-kerja mekanis.”

Bagaimanapun, word processing tak akan mampu membuat siapapun dapat menulis "sempurna" seperti yang diyakini George Raymond Richard Martin dan lain-lain.

Saat Writer’s Digest merayakan kehadiran word processing yang dipercaya dapat menghadirkan tulisan "sempurna", pembacanya ramai-ramai menyanggah.

"Mengetik menjadi mudah dengan komputer pribadi, menulis tidak [...] Komputer tak memiliki kemampuan apapun soal menulis,” demikian ujar mereka.

Baca juga artikel terkait APLIKASI PENGOLAH KATA atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi