Menuju konten utama
GWS

Fibermaxxing: Menambah Asupan Serat, Mengurangi Risiko Penyakit

Tips kesehatan dari TikTok alias #HealtTok ini menekankan pentingnya menambah asupan serat sehari-hari yang rata-rata masih kurang dari yang dibutuhkan. 

Fibermaxxing: Menambah Asupan Serat, Mengurangi Risiko Penyakit
Ilustrasi Pola Mulus dengan Buah-buahan, Sayuran dan buah beri. FOTO/iStockphoto

tirto.id - TikTok boleh saja punya reputasi buruk sebagai "aplikasi kandang monyet" di Indonesia. Akan tetapi, bukan berarti semua konten di dalamnya tidak berguna. Dalam rimba pelantar bikinan Tiongkok itu, sering kali muncul berbagai tips kesehatan yang biasa dikenal dengan istilah #HealthTok.

Tren intermittent fasting pernah meroket di platform ini, begitu juga kebiasaan minum air lemon di pagi hari atau mengonsumsi cuka apel untuk menurunkan berat badan. Memang, tidak semuanya akhirnya terbukti secara ilmiah. Banyak dari tren kesehatan TikTok yang kemudian justru dicap berbahaya oleh para ahli.

Namun, tidak dengan tren yang baru-baru ini melejit. Namanya fibermaxxing dan, secara sederhana, ia bisa dijelaskan sebagai sebuah tren yang mendorong orang-orang untuk mengonsumsi lebih banyak serat. Tak seperti tren-tren sebelumnya yang menuai kritik, fibermaxxing mendapat banyak dukungan.

Alasannya simpel. Tidak banyak orang mengonsumsi cukup serat dalam sehari. Healthline menyebut, hanya sekitar lima persen orang Amerika Serikat yang benar-benar memenuhi kebutuhan ini. Di Inggris, menurut laporan Marie Claire, persentase orang dewasa yang bisa memenuhi kebutuhan serat harian bahkan cuma 40 persen.

Bukan Membatasi tetapi Menambah

Fibermaxxing hadir di TikTok tidak sebagai teori ndakik-ndakik yang membosankan. Sebaliknya, ia muncul sebagai tontonan yang ringan dan menghibur.

Video dengan tagar #fibermaxxing biasanya memperlihatkan proses sederhana: seseorang menaburkan chia seed ke atas yogurt, mengganti roti lapis biasa dengan versi gandum utuh, atau membuat smoothie kental berisi bayam, pisang, dan oat. Ada juga yang menunjukkan bekal kerja dengan tambahan kacang hitam, lentil, atau sayuran hijau yang sebelumnya jarang mereka konsumsi.

Format seperti ini mudah sekali dipahami, bahkan untuk penonton yang tak akrab dengan istilah medis atau ilmu gizi. Pesannya jelas: tambahkan serat sedikit demi sedikit ke dalam menu. Dan di sinilah kekuatan fibermaxxing terletak. Alih-alih membatasi, ia justru mengajak orang untuk menambah isi piring mereka dengan lebih banyak makanan berserat.

Hal ini membuatnya berbeda dari tren diet lain yang juga populer di TikTok. Diet keto, misalnya, menekankan pantangan karbohidrat, sedangkan intermittent fasting membatasi jam makan. Fibermaxxing, di sisi lain, menawarkan sesuatu yang terasa lebih ramah. Karena itu, ia lebih mudah diterima oleh khalayak luas, mulai dari remaja yang baru belajar masak, hingga orang dewasa yang ingin memperbaiki pola makan tanpa pusing menghitung kalori.

Ahli gizi pun tidak menutup mata. “Serat sudah jadi seperti protein saat ini,” ujar Mia Syn, ahli gizi sekaligus penulis buku Mostly Plant-Based, kepada CNBC. Ucapan ini menggambarkan bagaimana serat kini diposisikan. Yakni, sebagai sesuatu yang perlu dicari, dipamerkan, bahkan diperlombakan, sebagaimana orang dulu bangga menyebut berapa banyak gram protein yang mereka konsumsi dalam sehari.

Di balik itu, fibermaxxing juga menjadi fenomena budaya digital. Ia lahir dari kombinasi tantangan kolektif berupa "siapa bisa mencapai target serat harian" dan estetika konten TikTok yang ramai dan penuh warna. Orang tidak hanya memperlihatkan makanan mereka, tapi juga gaya hidupnya secara lebih luas. Mereka berbelanja bahan makanan yang lebih segar, menempatkan makanan yang lebih sehat ke piring, hingga berbagi pengalaman pencernaan yang lebih lancar.

Mengapa Serat Penting?

Serat sering diremehkan karena ia bukan zat gizi yang bisa langsung diubah jadi energi. Padahal, justru sifat “tidak tercerna” itulah yang membuatnya penting. Ada dua jenis serat utama. Pertama, serat larut yang berubah menjadi gel di dalam usus. Jenis ini bisa membantu menurunkan kadar kolesterol dan menjaga gula darah lebih stabil. Kedua, serat tak larut yang bekerja seperti “sapu”; fungsinya menambah massa pada feses dan memperlancar buang air besar.

Manfaat serat bukan sekadar teori. Sebuah studi besar yang dimuat di The Lancet meneliti ratusan ribu orang dan menemukan pola jelas. Semakin tinggi konsumsi serat, semakin rendah risiko penyakit jantung, stroke, diabetes tipe 2, hingga kanker tertentu. Laporan dari Memorial Sloan Kettering Cancer Center juga menunjukkan serat berperan melindungi usus besar dengan cara memberi makan bakteri baik, mengurangi peradangan, dan mempercepat transit sisa makanan sehingga zat berbahaya tidak terlalu lama menempel di dinding usus.

Ilustrasi konsep makanan sehat

Ilustrasi Pola Mulus dengan Buah-buahan, Sayuran dan buah beri. FOTO/iStockphoto

Serat juga punya efek nyata dalam kehidupan sehari-hari. Meta-analisis puluhan uji klinis memperlihatkan bahwa psyllium, salah satu jenis serat larut, mampu menurunkan kolesterol sekaligus gula darah pada penderita diabetes tipe 2. Efek ini bahkan bisa menurunkan nilai HbA1c—ukuran kontrol gula darah jangka panjang—hampir satu persen. Itu angka yang signifikan, setara dengan efek sebagian obat antidiabetes.

Ada pula kaitannya dengan berat badan. Serat memberi rasa kenyang lebih lama, sehingga orang cenderung makan lebih sedikit. Penelitian soal resistant starch menunjukkan hasil yang beragam, tetapi beberapa studi menemukan jenis serat ini bisa meningkatkan hormon yang memicu rasa kenyang, meski efek penurunan berat badannya tidak selalu konsisten.

Seberapa Banyak Serat yang Dibutuhkan?

Pertanyaan yang paling sering muncul setelah mengenal fibermaxxing biasanya sederhana: sebenarnya berapa banyak serat yang ideal kita konsumsi setiap hari?

Jawabannya berbeda-beda, tergantung usia dan jenis kelamin. Menurut USDA, perempuan di bawah 50 tahun dianjurkan mendapat 25–28 gram serat per hari. Untuk laki-laki pada rentang usia yang sama, kebutuhan itu lebih tinggi: 31–34 gram. Angka ini sejalan dengan rekomendasi banyak lembaga kesehatan di dunia, termasuk Mayo Clinic, yang menyebut patokan umum 14 gram serat per 1.000 kalori makanan.

Namun, realitas yang ada kini jauh dari ideal. Rata-rata orang AS, misalnya, hanya mengonsumsi 10–15 gram serat per hari; nyaris setengah dari jumlah yang seharusnya. Kondisi serupa juga ditemukan di Inggris, di mana hampir semua orang dewasa di sana gagal mencapai target 30 gram per hari. Artinya, kekurangan serat bukan sekadar masalah individu, melainkan epidemi diet modern yang melanda negara maju sekalipun.

Pakar gizi biasanya sepakat bahwa angka 25–30 gram per hari adalah “sweet spot”. Lebih rendah dari itu membuat tubuh kehilangan banyak manfaat kesehatan. Lebih tinggi sedikit dari itu masih relatif aman. Dalam konteks inilah fibermaxxing lahir: sebuah cara untuk menutup jurang besar antara rekomendasi resmi dan kebiasaan makan sehari-hari.

Adakah Bahaya Kelebihan Serat?

Meski penuh manfaat, serat tetap tunduk pada pepatah lama: sesuatu yang berlebihan tidak selalu baik. Fibermaxxing memang aman bagi kebanyakan orang, tetapi bukan berarti bebas dari risiko.

Masalah paling umum muncul ketika seseorang menambah asupan serat terlalu cepat antara lain perut kembung, kram, gas berlebih, atau bahkan diare. Hal ini wajar karena usus butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Pakar gizi kerap menyarankan menambah serat secara bertahap agar bakteri usus punya kesempatan beradaptasi.

Jumlah yang terlalu tinggi juga bisa jadi masalah. Menurut Syn, konsumsi serat sampai 70 gram per hari atau lebih berpotensi mengganggu penyerapan nutrien tertentu, seperti kalsium. Gejalanya bisa berupa kram perut berkepanjangan atau konstipasi jika asupan cairan tidak seimbang. Karena itu, hidrasi adalah kunci. Tanpa cukup air, serat justru bisa memperparah sembelit.

Selain itu, ada faktor interaksi dengan obat. Harvard Health mencatat bahwa suplemen serat tertentu bisa “menyapu” obat dalam usus sebelum sempat diserap tubuh. Karena itu, para dokter menganjurkan memberi jeda dua sampai tiga jam antara minum obat dan mengonsumsi suplemen serat.

Ada pula soal fitat, senyawa alami yang banyak terdapat pada biji-bijian utuh dan kacang-kacangan. Riset menunjukkan, fitat bisa mengikat mineral seperti zat besi dan zinc, sehingga tubuh lebih sulit menyerapnya. Meski begitu, efek ini bisa dikurangi dengan cara sederhana seperti merendam, memfermentasi, atau mengombinasikan dengan makanan kaya vitamin C.

Orang dengan kondisi pencernaan tertentu, misalnya irritable bowel syndrome (IBS), juga perlu lebih hati-hati. Serat larut sering membantu meredakan gejala, tapi serat tak larut justru bisa memperburuknya. Dengan kata lain, jenis serat yang dikonsumsi sama pentingnya dengan jumlah yang seimbang.

Utamakan Makanan, Bukan Suplemen

Meski pasar penuh dengan suplemen serat dalam bentuk bubuk, kapsul, hingga minuman siap saji, para ahli tetap menekankan bahwa sumber terbaik serat adalah makanan utuh. "Cara terbaik mengonsumsi serat atau nutrien apa pun adalah dari makanan, bukan dari suplemen," terang Syn.

Alasannya jelas. Makanan alami kaya serat tidak hanya menyumbang serat, tetapi juga vitamin, mineral, dan antioksidan yang tak bisa digantikan pil atau bubuk.

Mayo Clinic memberi contoh sederhana: raspberry, selain 8 gram serat per cangkir, juga kaya vitamin C dan polifenol yang mendukung daya tahan tubuh. Lentil, yang bisa menyumbang lebih dari 15 gram serat per cangkir, membawa protein nabati, zat besi, dan folat penting untuk pembentukan sel darah. Chia seed, dengan hampir 5 gram serat per sendok makan, juga menawarkan kalsium, magnesium, dan asam lemak omega-3 yang menyehatkan jantung.

Apel pun serupa. Satu buah apel berukuran sedang memberi sekitar 4 gram serat, tapi kulitnya juga mengandung quercetin—antioksidan yang diteliti karena efek antiinflamasinya. Brokoli, selain hampir 3 gram serat per setengah cangkir, membawa vitamin K, vitamin C, dan sulforaphane yang dikaitkan dengan perlindungan terhadap kanker tertentu. Dengan kata lain, serat dari makanan utuh hadir dalam “paket lengkap” gizi yang tidak akan bisa disamai oleh suplemen.

Suplemen bukannya sama sekali tak bermanfaat. Penelitian menunjukkan psyllium husk, salah satu serat larut, terbukti menurunkan kolesterol sekaligus membantu mengendalikan gula darah pada penderita diabetes tipe 2. Akan tetapi, suplemen lebih cocok sebagai tambahan ketika pola makan tidak mampu mencukupi kebutuhan, bukan sebagai jalan pintas.

Artinya, dalam tren fibermaxxing, yang ditekankan bukan cuma soal kuantitas tetapi juga kualitas. Bukan hanya seberapa banyak tetapi lebih kepada apa yang sebenarnya kita konsumsi.

Baca juga artikel terkait MAKANAN BERSERAT atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - GWS
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Irfan Teguh Pribadi