tirto.id - Wacana penundaan pemilu hingga perpanjangan masa jabatan presiden kembali memicu polemik. Hal ini berawal dari pernyataan Presiden Joko Widodo dalam wawancara dengan Harian Kompas. Jokowi membolehkan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan jabatan presiden karena setiap orang bebas berpendapat sebagai bagian demokrasi.
“Tetapi kalau sudah pada pelaksanaan, semuanya harus tunduk dan taat pada konstitusi,” kata Jokowi dalam wawancara tersebut.
Pernyataan itu merupakan respons Jokowi terhadap dorongan elite politik, salah satunya Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar yang ingin pemilu ditunda dua tahun. Isu ini semakin ramai setelah PAN dan Golkar mendorong isu serupa.
Penegasan Jokowi justru menimbulkan kegaduhan baru karena pernyataan mantan Wali Kota Solo itu dianggap berbeda dengan sikapnya pada Desember 2019. Saat itu, Jokowi menggunakan pernyataan 'menampar muka saya' jika 3 periode. Sementara pada Maret 2021, Jokowi menolak wacana tersebut dengan alasan menjaga amanat undang-undang.
Namun, pernyataan terbaru Jokowi soal wacana penundaan pemilihan umum serentak yang dijadwalkan pada 14 Februari 2024 dinilai sebagai sikap abu-abu. Dosen Politik Universitas Al Azhar Jakarta Ujang Komarudin menilai ada sinyal Jokowi ingin lebih dari dua periode.
“Jokowi mau, tapi malu. Ketidakjelasan sikap Jokowi akan menumbuhkan perlawanan dan penolakan rakyat," ujar Ujang kepada Tirto, Senin (7/3/2022).
Hal tersebut dipertegas dengan beredarnya pemberitaan bahwa orkestrasi 3 periode Jokowi melibatkan Luhut Binsar Pandjaitan, Airlangga Hartarto, Muhaimin Iskandar. Ditambah kabar pertemuan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dengan Jokowi beberapa waktu lalu serta pertemuan Zulkifli dengan Luhut. Rangkaian kejadian itu disinyalir berkaitan dengan Jokowi 3 periode.
Respons Pemerintah
Tudingan tersebut dijawab pemerintah. Staf Khusus Sekretariat Negara Faldo Maldini menilai, omongan Jokowi sudah jelas dan tidak perlu dipersulit karena seharusnya bisa dipahami. Ia minta pernyataan Jokowi sebagai sebuah sikap berbasis kenegaraan dan tidak perlu dianggap bersayap.
“Saya kira kita berada dalam sebuah konstruksi kenegaraan. Jadi, ini harus dilihat dalam kerangka kenegaraan, jangan maunya presiden, pengennya gini dan gitu dari elite-elite," kata Faldo, Senin (7/3/2022).
Ia menambahkan, "Saya kira tidak perlu dikembang-kembangkan lagi. Presiden sudah jelas bersikap. Jangan sampai, ada yang bikin imajinasi, kaget sama imajinasinya, terus marah sama imajinasinya sendiri. Kan aneh.”
Hal senada diungkapkan Menkopolhukam Mahfud MD. Ia menegaskan pemerintah tidak ada ide sekalipun soal penundaan pemilu maupun perpanjangan masa jabatan presiden.
“Sampai sekarang tidak pernah ada pembahasan tentang penundaan pemilu maupun penambahan masa jabatan presiden dan wapres, baik untuk menjadi tiga periode maupun untuk memperpanjang satu atau dua tahun,” kata Mahfud dalam keterangannya, Senin (7/3/2022).
Narasi Lama yang Muncul Kembali
Dalam catatan Tirto, Jokowi memang 3 kali berbicara dalam konteks perpanjangan masa jabatan, tiga periode maupun penundaan pemilu sejak 2019. Pada Maret 2019, Jokowi mau berbicara soal presiden 3 periode karena gagasan dari MPR yang dipimpin oleh Bambang Soesatyo. Gagasan itu sempat membuat polemik karena mayoritas MPR setuju amandemen.
Momen kedua disampaikan Jokowi pada 2021 saat Indonesia hendak memasuki masa-masa sulit COVID-19. Isu tersebut dihembuskan oleh mantan Ketua MPR Amien Rais lewat akun Youtubenya Amien Rais Official pada 13 Maret 2021. Amien sempat bertemu dengan Jokowi pada 9 Maret 2021 bersama sejumlah tokoh GNPF di Istana Negara sebelum kritik 3 periode muncul. Isu tersebut kemudian menguap.
Polemik presiden 3 periode tidak hanya dialami Jokowi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada periode kedua pemerintahannya (2009-2014) juga dihantam isu yang sama. Pada 2011, SBY tegas tidak mau 3 periode sekaligus menyatakan istrinya tidak akan maju Pemilu 2014.
Kemudian, pada 2014, SBY juga memastikan tidak mau menjabat 3 periode. Kala itu berawal dari pernyataan Romahurmuziy (Sekjen PPP saat itu) yang ingin SBY menjadi cawapres 2014 demi 'mengakali aturan' agar SBY bisa 3 periode. Namun SBY menolak gagasan tersebut.
Mengapa gagasan 3 periode selalu muncul? Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati menilai wacana ini dihembuskan elite politik dan penguasa setelah melihat angka kepuasan Jokowi yang cukup tinggi. Parpol pun menggelar isu 3 periode sebagai upaya menjaga agar suara bagi Jokowi tetap positif.
“Adanya daur ulang ini sebenarnya pula bagian dari upaya menjaga agar popularitas Jokowi tetap naik dan sekaligus pula pengkultusan Jokowi sebagai ‘ratu adil’ yang telah membawa banyak perubahan di Indonesia lewat pembangunan infrastruktur masif,” kata Wasisto kepada reporter Tirto, Senin (7/3/2022).
Wasisto mengatakan, siapa dan apa alasan narasi tersebut dikelompokkan dalam dua klaster. Pertama adalah internal koalisi. Kedua, kelompok 'free riders'. Para free riders ini berupaya mengambil keuntungan dari posisi Jokowi sebagai presiden.
“Motifnya jelas adalah bertahan dalam kekuasaan agar lebih lama sedikit," kata Wasisto.
Di sisi lain, parpol mengambil keuntungan dari isu 3 periode. Selain soal lebih dikenal, partai secara tidak langsung membuat parameter politik di 2024. Dengan demikian, kontestan yang bertarung harus bisa melebihi Jokowi.
Lalu, kenapa isu 3 periode selalu muncul di tahun kedua pemerintahan? Hal tersebut, kata Wasisto, didasari capaian-capaian kunci pemerintahan yang mulai terlihat. Capaian kunci pemerintahan kerap kali muncul di periode kedua.
“Selain itu pula secara kalkulasi politik, tidak sepenuhnya pula masa jabatan presiden wapres itu lima tahun, bahkan mungkin hanya 4 atau 4,5 tahun karena 1 tahun digunakan masa kampanye. Artinya muncul persepsi ‘kurang masa pengabdian’," kata Wasisto.
Wasisto menilai kondisi isu narasi Jokowi 3 periode dengan SBY berbeda. Ia beralasan, kubu SBY hingga elite yang pro-SBY tidak bermain dengan konstitusi. Di sisi lain, isu 3 periode era Jokowi justru malah dimainkan orang-orang yang dekat dengan mantan Wali Kota Solo itu.
“Saya pikir yang di luar kekuasaan itu antara mereka mau mendompleng wacana itu untuk menjatuhkan nama presiden dan bisa juga diartikan mereka memanfaatkan momentum itu untuk cari perhatian ke publik saja," kata Wasisto.
Oleh karena itu, Wasisto menyarankan agar komunikasi pemerintah dibangun dengan serius, salah satunya dengan menunjuk juru bicara. Ia beralasan, kursi juru bicara penting karena sejumlah elite bisa menggunakan klaim sebagai orang Jokowi. Jika narasi terus digemborkan, ia khawatir tidak ada suksesi kekuasaan.
Sementara itu, dosen komunikasi politik Universitas Padjadjaran Kunto Adi Wibowo melihat isu 3 periode sebagai isu sistematis. Semua itu dilakukan aktor politik dengan satu motif, yakni kekuasaan.
“Motif paling utama kekuasaan. Itu sudah jelas. Kan menggiurkan sekali mendapatkan 2 tahun masa berkuasa tanpa harus pemilu, tanpa harus keluar biaya untuk mempromosikan diri untuk melakukan kampanye dan itu godaan yang luar biasa bagi elite-elite politik, menurut saya tidak hanya untuk presiden tapi juga anggota DPR," kata Kunto kepada Tirto.
Kunto menilai, motif kekuasaan sangat terang dan jelas. Mereka ingin agar kekuasaan tetap bertahan dan ia mengakui bahwa ada pihak yang memang mencari untung dengan cara 3 periode. Hal tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari bagaimana hubungan Jokowi dengan PDIP yang tidak begitu erat seperti hubungan Jokowi dengan PAN, Golkar maupun PKB.
“Apalagi PAN sudah bergabung, barusan bergabung terus belum dapat jatah menteri baru. Tentu sangat berharap ini PAN. Dan menurut saya ini dimanfaatkan aktor-aktor politik yang jahat itu untuk kemudian seakan-akan tiga partai inilah yang secara independent, bukan PDIP yang kemudian mendorong Pak Jokowi 3 periode," kata Kunto.
Kunto menilai, 3 periode sangat berbahaya jika terlaksana di era Jokowi. Keputusan tersebut bisa memicu ketidakstabilan politik, apalagi kondisi ekonomi Indonesia tengah terganggu dengan kesulitan sembako seperti kelangkaan minyak goreng hingga harga bahan pokok jelang lebaran. Di sisi lain elite politik malah ribut soal kekuasaan.
Hal berbahaya lanjutan adalah penggunaan alasan ekonomi sebagai pembenaran Jokowi untuk 3 periode. Kunto mengutip pernyataan Sudirman Said dalam diskusi KedaiKOPI bahwa investor kemungkinan besar justru meninggalkan Indonesia karena ketidakpastian hukum.
“Kata Pak Sudirman Said ketika amandemen undang-undang dilakukan dan itu berarti para investor yang punya duit akan menarik diri karena ya kalau undang-undang bisa diubah seenak hatinya,” kata Kunto.
Kunto menambahkan, “Apa jadinya kepastian hukum di republik ini ketika saya menginvestasikan dana, bisa-bisa semuanya serba tidak jelas dan buat apa saya berinvestasi pada iklim yang tidak jelas.”
Kunto pun meminta agar publik tidak mengkomparasikan Jokowi dengan SBY yang menghadapi godaan sama dalam isu 3 periode. SBY justru sudah membuktikan dirinya tidak menjabat 3 periode, sementara publik kini menantikan komitmen Jokowi dalam isu yang sama.
“Kita sedang menunggu komitmen kebangsawanan Pak Jokowi untuk kemudian menolak secara tegas, tidak hanya menolak dengan bahasa yang sumir," tegas Kunto.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz