tirto.id - Indonesia mengalami kontraksi ekonomi sebesar 5,32% pada kuartal II-2020. Ini merupakan catatan terburuk sejak 1999. Terakhir kali Indonesia mengalami kontraksi ekonomi adalah pada kuartal I tahun 1999, sebesar 6,13%.
Secara tahunan, catatan kontraksi ekonomi terjadi pada tahun 1998. Ketika itu, ekonomi Indonesia minus hingga 16,5 persen.
Dengan catatan pertumbuhan ekonomi kuartal I dan II, maka secara teknikal bisa dikatakan Indonesia belum memasuki resesi. Resesi terjadi apabila selama dua kuartal berturut-turut (secara yoy) terjadi kontraksi. Pada kuartal I, ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh 2,97% (yoy). Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan hal ini.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut kontraksi ekonomi Indonesia tidak sedalam peer country lainnya. “Namun, kami berharap ada perbaikan ekonomi global baik melalui Cina atau negara lain yang recover lebih dulu,” ujar Airlangga.
Pandemi memang telah memukul perekonomian Indonesia cukup keras. Dampaknya lebih buruk dibandingkan saat krisis finansial global 2008/2009. Pada Q2 2008, ekonomi Indonesia masih mampu tumbuh 2,4%. Sementara secara keseluruhan, tahun 2008 lalu ekonomi Indonesia masih mampu tumbuh 6,1%.
Capaian ini berarti lebih buruk dari perkiraan Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang memperkirakan ekonomi Indonesia pada kuartal II hanya akan mengalami kontraksi 3,8%. Di bawah perkiraan Bappenas, kontraksi sebesar 6%.
Semua Komponen Melemah
Pada kuartal I, ekonomi memang masih menggeliat meski melambat. Pada Januari-Februari, ketika COVID-19 di Cina mulai menghantui perekonomian global, geliat ekonomi masih ada. Aktivitas ekonomi mulai melambat ketika kasus konfirmasi positif pertama kali diumumkan Presiden Joko Widodo, 2 Maret 2020.
Memasuki kuartal II, perlambatan ekonomi makin terasa, apalagi setelah diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). DKI Jakarta merupakan wilayah yang pertama kali menerapkannya, yakni pada 10 April.
Hanya beberapa sektor yang masih boleh dibuka selama PSBB. Aktivitas lain yang melibatkan kumpulan orang dalam jumlah yang banyak dilarang. Sekolah tatap muka diganti dengan school from home, pekerja sebagian besar melakukan work from home. Penerbangan dan jalur kereta api ditutup. Idulfitri yang biasanya dimeriahkan dengan mudik, dan menjadi penopang pergerakan ekonomi, kali ini sepi.
Inilah yang kemudian menyebabkan sektor transportasi mengalami kontraksi terparah selama kuartal II. BPS mencatat, transportasi dan pergudangan mengalami kontraksi hingga 30,84%. Sektor ini memberikan sumbangan sebesar 3,57% PDB. Dari detail lapangan usaha, angkutan udara dan rel menjadi sektor terparah dengan kontraksi 80,23 persen dan 63,75 persen.
“Transportasi terkontraksi luar biasa karena pengaruh COVID-19. Adanya imbauan WFH, study from home, dan sebagainya berdampak pada sektor ini dan Idulfitri tak ada mudik,” ucap Kepala BPS Suhariyanto, Rabu (5/8/2020).
Kuartal II memang diwarnai dengan kelesuan ekonomi. Daya beli anjlok, produksi terhambat, sektor jasa tak bisa bergerak.
Lesunya daya beli salah satunya tercermin dari penjualan mobil yang secara ritel anjlok hingga 87,34% (qtoq) atau 85,02 persen (yoy). Penjualan secara wholesale (hingga tingkat diler) turun lebih parah yakni 89,85% (qtoq) dan 89,44% (yoy). Demikian pula penjualan motor yang anjlok hingga 80,06% (qtoq) dan 79,70% (yoy).
Sektor pariwisata mengalami penurunan tajam seiring ditutupnya penerbangan dan tempat-tempat wisata. Pada kuartal II, kunjungan wisatawan mancanegara turun hingga 81,49% secara qtoq dan 87,81% secara yoy.
Dari 17 sektor yang dihitung BPS, ada tujuh sektor yang mampu mencatat pertumbuhan positif secara year on year. Pertumbuhan terbaik dicapai oleh sektor infokom yang mencatat pertumbuhan 10,88%, meningkat dibandingkan pertumbuhan per kuartal 1 yang hanya 9,60%. Namun, sektor ini hanya memberikan kontribusi sebesar 4,44% terhadap PDB kuartal II.
Sektor industri, yang memberikan kontribusi terbesar pada perekonomian hingga 19,87%, mengalami kontraksi hingga 6,19%. Pada kuartal I, sektor ini masih mampu tumbuh 3,54%. Industri alat angkut mengalami kontraksi hingga 34,29% akibat turunnya produksi motor dan sepeda motor.
Sementara industri tekstil dan pakaian kontraksi hingga 14,23% akibat berkurangnya permintaan pasar domestik maupun luar negeri. Industri kimia, farmasi dan obat tradisional masih mampu tumbuh 8,65%, seiring meningkatnya permintaan domestik untuk menghadapi pandemi COVID-19.
Yang patut dijadikan catatan adalah sektor pertambangan yang melanjutkan kontraksinya. Pada kuartal I, sektor pertambangan mengalami kontraksi 0,71%. Kontraksi berlanjut pada kuartal II di angka 2,72%. Kontribusi pertambangan pada struktur PDB kuartal II adalah sebesar 6,28%.
Dilihat dari struktur PDB, hampir seluruhnya mengalami kontraksi. Konsumsi rumah tangga yang memberikan kontribusi 57,85% pada PDB tercatat mengalami kontraksi 5,51% pada kuartal II, padahal pada kuartal I masih mampu tumbuh 5,81%. Dari konsumsi rumah tangga, hanya dua komponen yang memberikan pertumbuhan yakni perumahan dan perlengkapan rumah tangga, serta kesehatan dan pendidikan.
Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi yang memberikan kontribusi sebesar 30,61% pada PDB mengalami kontraksi hingga 8,61%. Pada kuartal sebelumnya, PMTB mampu tumbuh 4,55%.
Ekspor yang berkontribusi 15,6% pada PDB mengalami kontraksi hingga 11,66%. Pada kuartal I, ekspor juga mengalami kontraksi tetapi hanya 1,73%.
Konsumsi pemerintah yang memberikan kontribusi 8,67% mengalami kontraksi 6,90%. Pada kuartal sebelumnya, konsumsi pemerintah tumbuh 8,23%. Kontraksi terjadi karena penundaan dan pembatalan kegiatan-kegiatan kementerian/lembaga sejak Maret, juga dikarenakan adanya perubahan dalam pemberian THR 2020. THR tidak diberikan kepada pejabat eselon 1 dan 2, juga pejabat lain yang setara. THR juga tidak memasukkan komponen tunjangan kinerja, sehingga jumlahnya lebih kecil.
Untuk konsumsi LNPRT (Lembaga Non-Profit yang Melayani Rumah Tangga) yang memberikan kontribusi 1,36% mengalami kontraksi hingga 7,76%, dibandingkan pertumbuhan 15,29% pada kuartal sebelumnya.
Respons Pasar
Angka pertumbuhan PDB kuartal II menjadi rilis yang paling dinanti pasar, kemarin. Perdagangan saham berjalan dengan sangat volatil.
Mengawali perdagangan, IHSG langsung melemah dan sempat mencapai titik terendahnya di 5.061,644. IHSG kemudian bergerak menguat dan sempat berada di jalur hijau sebelum akhirnya anjlok lagi sesaat setelah BPS merilis angka PDB. Namun, menjelang penutupan perdagangan sesi I, IHSG kembali menguat. Penguatan IHSG bertahan hingga penutupan perdagangan. Pada perdagangan Rabu (5/8/2020), IHSG akhirnya ditutup menguat 1,03% ke level 5.127,051.
Saham PT Kimia Farma Tbk (KAEF) paling aktif diperdagangkan dengan volume transaksi mencapai 195.808.800 lembar senilai Rp525,746 miliar. Demikian pula saham produsen emas PT Merdeka Copper Copper Gold Tbk, yang diburu seiring melonjaknya harga emas dunia. Investor juga memburu saham-saham sektor perbankan seperti BRI, Bank Mandiri, BCA, sehingga termasuk saham yang sangat aktif diperdagangkan.
Analis Bina Artha Sekuritas M Nafan Aji Gusta Utama di Jakarta, Rabu, mengatakan penguatan IHSG didukung meningkatnya kinerja PMI Manufaktur Indonesia, China, negara-negara Eropa, bahkan Amerika Serikat.
"Bisa juga lebih ke sentimen perkembangan positif dari penelitian vaksin COVID-19 dan juga program stimulus perekonomiani," ujar Nafan, seperti dikutip dari Antara.
Secara sektoral, sembilan sektor meningkat di mana sektor pertambangan naik paling tinggi yaitu 2,98 persen, diikuti sektor infrastruktur dan sektor konsumer, masing-masing 2,25 persen dan 1,85 persen. Sedangkan satu sektor terkoreksi, sektor pertanian, yang minus 0,03 persen.
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Rio Apinino