tirto.id - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih bergerak dengan volatilitas tinggi, di tengah proses pemulihan pasar modal. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) telah mengeluarkan serangkaian kebijakan untuk meredam volatilitas IHSG.
Pada perdagangan Senin, 3 Agustus 2020, IHSG sempat turun tajam hingga 143,4 poin atau 2,78% ke level 5.006,22. Penurunan IHSG terjadi setelah Badan Pusat Statistik (BPS) merilis terjadinya deflasi 0,1% pada Juli 2020. Investor juga disebut melakukan antisipasi menjelang dirilisnya angka pertumbuhan PDB Indonesia pada Rabu, 5 Agustus.
Namun, IHSG sudah membaik pada perdagangan Selasa, 4 Agustus 2020. IHSG ditutup menguat 68,78 poin (1,37%) ke level 5.075.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, kondisi pasar modal memang belum sepenuhnya pulih. Ia menyebutnya, baru dalam proses untuk pulih. “IHSG masih [di level] 5000, padahal sebelumnya 6.000,” kata Wimboh dalam konferensi pers daring.
“Sehingga kita memberikan ruang untuk cepat-cepat recover agar volatilitasnya tidak terlalu besar,” tambah Wimboh.
IHSG per 3 Agustus tercatat -2,78% secara month to date (mtd), dan -20,5% secara year to date. Maret mencatat penurunan terburuk hingga minus 16,76% secara month to month, di level 4.538,9. Maret juga mencatat volatilitas tertinggi. Pada 24 Maret, IHSG mencatat titik terendah yakni pada level 3.937,632.Secara perlahan, IHSG merangkak naik.
“Kita tidak bisa memungkiri indeks turun pada Maret, tapi sudah mulai membaik. Steady meningkat dan sempat di atas 5.000 dan sempat tertekan karena informasi resesi di negara Eropa,” tambah Wimboh.
Wimboh melihat saat ini sentimen positif sudah mulai dilihat oleh pasar, baik dunia maupun Indonesia. Pada Juni, sudah terjadi net buying hingga Rp5,06 triliun.
BEI sebelumnya sudah mengeluarkan serangkaian kebijakan untuk meredam volatilitas IHSG. Pada 28 Februari, BEI melarang transaksi short selling. Dilanjutkan dengan mengizinkan buyback saham tanpa melalui RUPS, melakukan perubahan batasan auto rejection, peniadaan saham yang dapat diperdagangkan pada sesi pra pembukaan (pre-opening) di Bursa Efek, trading halt untuk penurunan 5%, dan memendekkan jam perdagangan efek.
Wimboh mengatakan, OJK akan terus mendorong emiten baru untuk mencatatkan sahamnya di bursa. “Terutama [emiten] ritel agar memiliki basis lebih kuat terhadap pasar,” jelasnya.
Berdasarkan catatan OJK, jumlah emiten yang mencatatkan sahamnya melalui IPO hingga 28 Juli baru berjumlah 28 emiten, dengan nilai Rp3,28 triliun. Angka ini menurun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yakni 29 emiten, dengan nilai IPO Rp8,5 triliun.
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti