Menuju konten utama

Cara Vita Krisnadewi Membela Negara dengan Peternakan Domba

Bagi Vita beternak adalah salah satu upaya membela negara agar tidak ketergantungan pada impor daging domba yang terus meningkat.

Cara Vita Krisnadewi Membela Negara dengan Peternakan Domba
Suasana aktivitas peternakan domba Sinatria Farm milik Vita Krisnadewi. tirto.id/M Irfan Al Amin

tirto.id - Vita Krisnadewi (46) rela meninggalkan kehidupan yang mapan sebagai dosen berstatus PNS. Ia memilih kembali dari perantauan di Kalimantan Timur ke kampung halamannya di Jogja untuk beternak domba. Vita termasuk salah satu dari segelintir perempuan yang mengabdikan hidup dengan bekerja di kandang, berkecimpung mencari makan, dan mengurus kotoran domba.

"Kami ada komunitas ngarit (menyabit) perempuan seluruh Indonesia yang semuanya berkecimpung di dunia ternak," kata Vita sambil menunjukkan grup percakapan WhatsAppnya kepada Tirto pada Sabtu (19/11/2022).

Sebagai seorang peternak, Vita memiliki latar belakang akademik yang mumpuni di bidangnya, yaitu S1 dan S2 di Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Setelah itu, Vita merantau ke Kalimantan Timur menjadi dosen pada jurusan peternakan di Universitas Mulawarman. Ia menjadi pengajar di perguruan tinggi tersebut pada 2004-2013. Hingga kemudian Vita harus melepas pekerjaannya sebagai dosen karena alasan keluarga. Anaknya sakit dan membutuhkan dirinya setiap saat.

“Saya harus membuat pilihan, kalau cuti saya bisa menerima gaji buta dan tidak sesuai dengan hati nurani saya," kisahnya.

Sebelum terjun langsung untuk mengurus domba, Vita sempat berinvestasi kepada salah seorang relasinya. Saat itu dia ditawari untuk memberikan modal pengembangan ternak kambing etawa. Uang tabungan Rp50 juta dari hasilnya bekerja sebagai dosen dia korbankan.

Namun, Vita belum beruntung, pengalaman yang belum memadai dan risiko yang tidak ditemukan dalam teori pembelajaran di kelas, membuatnya harus merugi.

"Saya akhirnya harus banting harga, para tengkulak saat itu menghargai kambing saya hanya Rp4 juta sebagai konsumsi," ungkapnya.

Vita sempat termenung dengan kejadian itu. Sebagai seorang dosen peternakan, ia sempat merasa gagal. Dirinya hanya menang dalam teori, tapi gagal dalam praktik. Beruntung, suami Vita mau memberi motivasi dan menantangnya untuk bangkit kembali.

“Melihat saya yang gagal dan sempat menyerah, saya malah ditantang suami. Saya kemudian membuat rancangan usaha selanjutnya, dan belajar mengelola makhluk hidup butuh perlakuan khusus,” jelasnya.

Salah satu catatan dari kegagalannya adalah hewan peliharaan adalah makhluk Tuhan. Perlu penanganan khusus dan tidak boleh main-main.

“Seharusnya kita memperhatikan hewan yang kita investasikan karena berbeda dengan makhluk hidup, dan tidak sesederhana yang kita bayangkan. Seperti ada yang sakit, kalau diberi makan telat, hewan ternak bisa sakit," imbuhnya.

Vita Krisnadewi

Suasana aktivitas peternakan domba Sinatria Farm milik Vita Krisnadewi. tirto.id/M Irfan Al Amin

Beternak dan Mengajar

Setelah belajar dari pengalamannya yang gagal dalam berinvestasi kambing etawa, Vita akhirnya memilih domba. Menurutnya, daging domba dibutuhkan oleh masyarakat, namun persediaan dagingnya hanya sedikit. Karena peningkatan konsumen daging domba tak berbanding lurus dengan peternaknya.

Vita lalu memberi nama peternakannya dengan "Sinatria Farm." Nama itu terinspirasi dari anak keduanya yang juga bernama "Sinatria.”

Dalam beternak, Vita merancang sejumlah strategi. Salah satunya, Vita ingin memberi contoh bahwa membangun peternakan bisa dilakukan tanpa harus memiliki lahan. Adapun yang dia lakukan adalah dengan menyewa salah satu tanah di kawasan Dusun Dero Wetan, Desa Harjobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Vita sempat mengalami penolakan dari warga sekitar. Mereka khawatir ada limbah dan aroma tak sedap yang mengganggu aktivitas warga sekitar. Penolakan itu menjadi bahan inovasi baginya. Dia kemudian merancang bangunan kandang yang menjamin tak ada bau tak sedap dari domba-domba miliknya.

"Silakan Anda hirup napas, tidak akan ada bau tak sedap yang tercium," kata Vita saat mengajak reporter Tirto berkeliling kandang domba miliknya.

Agar kandang domba tak bau, Vita membagikan resep bahwa kotoran antara feses dan urine harus dipisah. Sehingga tak ada bau yang dihasilkan.

“Kami mendesain kandang secara khusus sehingga urine dan feses tidak menyatu dan tidak menghasilkan bau tak sedap," ujarnya.

Untuk membangun semua itu, total modal yang dikeluarkan Vita sebesar Rp150 juta berasal dari tabungannya dan sejumlah dana dukungan dari suami.

Vita mengaku tidak menjadikan keuntungan sebagai orientasi utama. Baginya pemberdayaan anak muda menjadi fokus utamanya agar mereka mau dan tertarik untuk beternak domba.

Sebagai seorang yang berpengalaman mengajar di kampus, Vita menyadari tak semua mahasiswa peternakan akan kembali bekerja di kandang. Oleh karenanya, Sinatria Farm membangun konsep sebagai peternakan modern. Anak muda diberi kesempatan untuk magang dan berinovasi di dalamnya.

“Saya ini ingin mengajak anak muda untuk beternak. Karena yang mereka khawatirkan itu ada dua yaitu modal yang terbatas dan rasa jijik dengan kotoran. Oleh karenanya saya memberikan contoh bahwa beternak bisa dengan modal minim, dan tidak meninggalkan bau," ungkapnya.

Selain kegiatan magang, Sinatria Farm membuka kelas untuk mereka yang ingin belajar beternak domba. Vita menyebut para muridnya datang dari berbagai kalangan, dari pensiunan TNI, ASN, BUMN hingga mereka yang lelah dengan hiruk pikuk perkantoran.

"Di kelas ini, saya ajarkan dari menghitung modal dengan kalkulator bisnis, perawatan domba karena ini butuh perlakuan khusus sebagai makhluk hidup. Hingga risiko yang harus dihadapi seperti penyakit, wabah hingga kematian domba yang kerap menghantui peternak pemula," terangnya.

Vita berusaha terbuka apa adanya, tak ada yang ditutupi dalam kelasnya. Banyak muridnya yang putar haluan saat mendengar paparan yang diberikan. Namun, Vita memberi sejumlah opsi, bergerak di bidang ternak domba bisa dilakukan dalam berbagai cara. Salah satunya adalah budidaya pakan dengan menanam rumput.

“Tak semuanya siap untuk beternak domba, oleh karenanya saya beri opsi untuk menanam rumput untuk pakan domba. Saat ini segmentasinya tinggi, dan modalnya hanya sedikit. Bisa dilakukan dengan menyewa lahan, sehingga modal dan risiko yang dihadapi hanya sedikit," ujarnya.

Atas usahanya, Vita berhasil membangun jaringan dari alumni Sinatria Farm yang tersebar di seluruh Indonesia. Setidaknya ada 3.000 alumni yang terbagi di sejumlah regional.

Ia mengungkapkan tidak semua alumninya memiliki kandang, namun satu sama lain ikut berdagang dan ikut meramaikan pasar domba Indonesia.

“Saya mengajarkan kalau ingin sukses dan cepat dapat profit jangan hanya beternak, namun trading domba. Maksudnya adalah membangun jejaring dan rantai pasar, semisal kita tidak punya domba, tetapi kita bisa menghubungkan antara peternak dengan konsumen domba. Dalam proses itu ada keuntungan yang bisa diambil. Tanpa harus menunggu domba yang kita miliki laku," jelasnya.

Walau memiliki komunitas, Vita meminta para muridnya untuk tetap berhubungan baik dengan para peternak lain dan blantik atau tengkulak yang biasa memasarkan domba.

Sebab, menurutnya, salah satu kunci sukses dalam berbisnis domba adalah relasi yang baik. Sehingga pasokan kebutuhan daging domba di Indonesia terpenuhi dan semua pengusaha yang berusaha di dalamnya juga mendapat untung.

"Di Sinatria Community, prinsipnya adalah harus selalu melihat peternak dan pedagang lain sebagai teman kolaborasi bukan kompetitor. Karena kalau kita melihat mereka sebagai kompetitor, maka kita seakan menabuh genderang perang. Kita ingin melihat mereka sebagai teman, apa yang kamu punya dan apa yang sedang dibutuhkan pasar sehingga bisa bekerja sama," terangnya.

Bagi Vita, beternak adalah salah satu upaya dalam membela negara. Hal itu mengingat neraca perdagangan daging kambing dan domba Indonesia dari tahun ke tahun selalu mengalami defisit dan mempunyai tren meningkat sebesar 18,77% per tahun selama periode 10 tahun terakhir. Impor daging kambing dan domba Indonesia berasal dari Australia dan Amerika Serikat.

“Kalau kita tidak beternak sendiri, maka kita akan selalu mengandalkan kebutuhan daging dalam negeri dari impor. Oleh karenanya cara terbaik dalam mengurangi impor adalah dengan peternak mandiri dan membantu pemerintah memenuhi kebutuhan daging domba dalam negeri," ujarnya.

Vita Krisnadewi

Suasana aktivitas peternakan domba Sinatria Farm milik Vita Krisnadewi. tirto.id/M Irfan Al Amin

Pagar Mangkok Lebih Kuat dari Pagar Tembok

Memulai usaha sejak Mei 2018, Vita mengaku tak pernah mengalami kendala signifikan dalam peternakannya. Tidak pernah mengalami kehilangan domba atau kandang yang mengalami kerusakan. Menurut dia, hal itu terjadi karena hubungan baik dengan warga sekitar peternakan dombanya.

“Alhamdulillah tidak pernah ada domba yang hilang. Karena saya memegang prinsip pagar mangkok lebih kuat dari pagar tembok. Kami di sini bukan semata mencari profit, namun juga usaha pemberdayaan," jelasnya.

Sebagai langkah konkret, Vita berbagi secara cuma-cuma dengan warga sekitar seperti pupuk dari feses dan urine dombanya untuk keperluan pertanian. Vita ikut memberikan edukasi penggunaan pupuk alami tersebut, hingga akhirnya warga sekitar mulai meninggalkan penggunaan obat kimia bagi tanaman. Hasil pupuk organik dari feses dan domba lebih bermanfaat serta aman bagi lingkungan.

Sehari-hari, Sinatria Farm mampu mendatangkan 50-100 orang pengunjung. Akhir pekan, jumlah pengunjungnya dapat lebih 200 orang. Pengunjung akan dilayani untuk melihat-lihat hingga berswafoto dengan ternak. Para pengunjungnya beragam dari kalangan keluarga, pelajar, hingga mahasiswa.

“Warga di sini banyak yang membuka penginapan karena sejumlah peserta kelas dan wisatawan datang dari berbagai daerah. Selain itu, banyak yang membuka usaha rumah makan, angkringan hingga penunjang wisata lainnya sehingga ekonomi ikut tumbuh," terangnya.

Dampaknya warga sekitar ikut menjaga Sinatria Farm tanpa harus diminta atau dibayar. Bahkan, peternakannya yang dulu sempat ditentang, kini mulai mendapat banyak tawaran dari investasi hingga penyewaan lahan.

Meski peternakan tersebut telah menghasilkan Rp100-Rp200 juta per bulan --bisa bertambah hingga lebih dari Rp200 juta saat ada perayaan khusus, seperti hari raya Iduladha--, namun keuntungan materi bukan semata yang dicari. Bagi Vita, esensi dari ternaknya adalah untuk berbagi.

Aktivis Pembela Domba Betina

Selain beternak dan mengajar di Sinatria Farm, Vita juga aktif dalam menyuarakan isu jender. Bukan jender manusia, namun domba.

Bagi Vita saat ini ada ketimpangan harga domba jantan dan betina, yang menurutnya berbahaya bagi kelestarian domba di masa depan. Perbedaan harga domba jantan dan betina mencapai selisih 50 persen.

Dilansir dari taniku.kulonprogokab.go.id, harga domba gemuk jantan dewasa mencapai Rp3 juta, sedangkan domba gemuk betina dewasa hanya Rp1,6 juta.

“Ini bahaya, karena domba betina dewasa bisa disembelih seenaknya oleh Rumah Pemotongan Hewan (RPH) tanpa memedulikan proses pelestarian indukan. Terutama melihat selisih harga yang jauh, pengusaha tak perlu pikir panjang untuk banyak menyembelih domba betina," tegasnya.

Menurutnya, aturan penyembelihan domba betina di Indonesia masih belum tegas. Apabila mengacu pada Undang-Undang No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Pasal 18 ayat 2 bahwa ternak ruminansia betina produktif dilarang disembelih.

Namun, bagi Vita aturan mudah untuk diselewengkan, karena lemahnya sanksi dan pengawasan.

“Aturan itu banyak dilanggar karena dendanya hanya kecil sekitar Rp1 juta dan itu lebih menguntungkan karena selisih harga domba jantan dan begitu jauh,” ujarnya.

Satu-satunya cara dalam melindungi produktivitas domba betina adalah menghapus disparitas harga domba jantan dan betina. Hal itu lebih efektif dibanding denda yang lebih mudah dibayar dan dilanggar.

Isu tersebut pernah disampaikan ke Komisi IV DPR hingga Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Namun hingga kini belum ada perubahan signifikan terkait regulasi tersebut.

“Pemerintah harus intervensi harga, jangan menyerahkannya ke mekanisme pasar. Kalau ini tidak dilakukan, maka akan ada banyak indukan domba yang habis dipotong,” kata dia.

Baca juga artikel terkait PETERNAKAN atau tulisan lainnya dari Irfan Amin

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz