Menuju konten utama

Cara Jitu Bujuk Investor Korea Selatan Investasi di Indonesia

Belasan investor asal Korea Selatan berminat untuk menambah investasi Rp30 triliun di Indonesia, bagaimana upaya pemerintah menangkap peluang ini?

Cara Jitu Bujuk Investor Korea Selatan Investasi di Indonesia
Presiden Prabowo Subianto (ketiga kanan) didampingi Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka (kedua kanan), Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM Rosan Roeslani (kanan) bertemu sejumlah delegasi pengusaha Korea Selatan di Ruang Rapat Besar Istana Merdeka, Jakarta, Senin (28/4/2025). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/rwa.

tirto.id - Presiden Prabowo Subianto menerima delegasi bisnis Korea Selatan dari Federasi Industri Korea (Federation of Korean Industries/FKI) di Istana Merdeka, Jakarta, awal pekan ini. Dalam pertemuan itu, 19 perusahaan asal Negeri Ginseng menyampaikan komitmen investasi hingga Rp30 triliun—sebuah sinyal kuat bahwa Indonesia masih menjadi magnet bagi modal asing, terutama dari negara mitra strategis seperti Korea Selatan.

Sebagian besar dari perusahaan tersebut merupakan investor lama yang ingin menambah portofolio bisnisnya di Indonesia. Total investasi kumulatif yang sudah mereka tanam, kata Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mencapai 15,4 miliar dola AS. "Di samping itu, mereka ada rencana tambahan 1,7 miliar dolar AS (sekitar Rp30 triliun),” ujarnya dalam keterangan pers di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin (28/4/2025).

Pada hari yang sama, dalam forum bisnis yang digelar Apindo dan FKI di di The Langham Hotel, Jakarta, Shin Dong Bin, Chairman Lotte Group, menyampaikan alasan mengapa Indonesia menjadi tujuan investasi yang strategis bagi Korea Selatan.

Selain karena jumlah penduduknya yang besar, menurut Shin, Indonesia juga diberkahi oleh kekayaan sumber daya alam (SDA) yang dapat dikembangkan secara optimal untuk mencapai nilai tambah maksimal. Namun, nilai tambah tersebut hanya bisa dicapai jika sumber daya utama tersebut dapat dioptimalkan dengan teknologi manufaktur Korea Selatan.

“Secara khusus, pada tahun 2023, investasi langsung Korea Selatan ke Indonesia mencapai 2,28 miliar dolar AS, meningkat lebih dari 54 persen dibandingkan tahun sebelumnya, mencetak rekor tertinggi. Sebagai perbandingan, dalam periode yang sama, investasi luar negeri Korea Selatan secara keseluruhan justru turun lebih dari 20 persen,” papar Shin dalam pidatonya.

Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Rosan Roeslani, mengamini kenaikan realisasi investasi dari Negeri Gingseng. Kendati konsorsium yang dipimpin LG Energy Solution baru-baru ini dikabarkan hengkang dari sejumlah proyek joint venture rantai pasok baterai kendaraan listrik, realisasi investasi dari Korea Selatan tercatat masih cukup tinggi dengan capaian 683,29 juta dolar AS pada kuartal I 2025. Jumlah tersebut naik 18,17 persen secara kuartalan (quartal to quartal/qtq) dari sebelumnya yang hanya senilai 559,1 juta dolar AS.

Realisasi ini menjadikan Korea Selatan sebagai negara ke-7 yang paling banyak menanamkan modalnya di Tanah Air, setelah Amerika Serikat yang hingga kuartal I 2025 mencapai 802,16 juta dolar AS dengan 2.652 proyek. “Untuk Korea Selatan, bisa saya sampaikan bahwa ini tetap meningkat, sangat-sangat baik,” ujar Rosan usai konferensi pers di kantornya, Selasa (29/4/2025).

Tuntutan Investor

Namun, di balik semangat ekspansi para pengusaha Korea di Indonesia, mereka juga membawa daftar panjang harapan kepada pemerintah Indonesia: mulai dari keringanan pajak, perbaikan infrastruktur, hingga kepastian regulasi.

Shin, misalnya, menegaskan pentingnya dukungan pemerintah dalam memastikan iklim investasi yang sehat, termasuk dalam bentuk penghapusan hambatan impor hingga pemberlakuan kebijakan pajak yang mendukung sektor hilirisasi usai berkunjung ke Kementerian Perindustrian, pada Selasa (29/4/2025). Sebagai contoh, ia menyinggung kebijakan bea masuk sebesar 5 persen untuk impor LPG, bahan baku utama dalam produksi petrokimia yang digarap Lotte Chemicals.

“Kebanyakan hasil produk kami ditujukan untuk pasar domestik Indonesia. Untuk itu, kami mohon pemerintah Indonesia untuk memberikan tax rate untuk LPG, sehingga kami bisa memiliki daya saing harga di pasar domestik ini,” ungkapnya sembari menambahkan soal lambatnya pengadaan LPG—yang bahkan bisa mencapai 4-5 bulan—sebagai masalah lain.

Masalah lain yang jadi sorotan adalah mahalnya biaya energi. Ini disuarakan oleh Kim Nae-Hoan, CEO PT KCC Glass Indonesia, perusahaan kaca asal Korea yang beroperasi di Batang. Dalam lawatan ke kantor Menteri Agus Gumiwang Kartasasmita itu, ia meminta agar pemerintah memberikan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) dengan tarif subsidi, mengingat produksi kaca membutuhkan konsumsi gas yang tinggi. Tanpa itu, menurut Kim, daya saing produk KCC terancam.

"Kami juga memohon perhatian khusus untuk memberikan HGBT pada pabrik pertama maupun pabrik kedua, supaya kami bisa menggunakan gas yang efisien," ucapnya dalam kesempatan sama.

Tawaran serta permintaan dari para pengusaha Korea Selatan menjadi perhatian khusus Presiden Prabowo Subianto. Rencananya, Kepala Negara akan memanggil kembali satu per satu perusahaan yang telah menyatakan komitmen tambahan investasinya untuk berdiskusi lebih lanjut.

Agus Gumiwang menuturkan, Kementerian Perindustrian juga akan mengawal aspirasi yang dibawa oleh 19 perusahaan asal Korea Selatan sampai kesepakatan terbaik untuk kedua belah pihak dapat diambil. “Karena investasi itu, kan, pada dasarnya win-win. Indonesia harus win, juga investor dalam hal ini Korea juga harus win. Jadi pertemuan tadi sangat positif, sangat baik. Karena paling tidak kantor kami bisa mengetahui dan bisa diinformasikan terhadap apa saja yang menjadi hambatan di lapangan,” ujarnya, usai menjamu para delegasi pengusaha Korea Selatan.

Perlu Konsistensi Kebijakan

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, memberi catatan penting yang perlu diperhatikan oleh pemerintah saat berunding dengan para investor Korea Selatan. Pertama, terkait kepastian kebijakan yang telah lama menjadi catatan buruk pemerintah.

Ia mencontohkan inkonsistensi kebijakan terhadap kendaraan listrik yang menurutnya merugikan investor asal Korea Selatan. Pada Mei tahun lalu, pemerintah lewat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9 tahun 2024 tiba-tiba membolehkan mobil listrik yang diimpor secara utuh dan dirakit di negara asal (Completely Built Up/CBU).

Hal ini menguntungkan perusahaan otomotif asal Cina, seperti BYD, yang bisa mendapatkan insentif impor CBU meski baru berkomintmen mendirikan pabrik di Subang, Jawa Barat. Padahal, saat itu perusahaan asal Korea Selatan, Hyundai, telah lebih dulu menunjukkan komitmen investasinya lewat pembangunan pabrik di Karawang.

Belum lagi, pabrik Hyundai juga menggunakan bahan baku baterai yang rencananya akan dipasok oleh LG Energy Solution. “Belajar dari LG kemarin, yang paling penting adalah kepastian kebijakannya. Karena kan LG ini kan salah satunya juga kecewa karena mobil listrik dari Cina mendapatkan insentif pajak yang lebih besar daripada mobil dari Korea Selatan” ucap saat dihubungi Tirto, Selasa (29/4/2025).

Tak kalah penting, sambung Bhima, pemerintah juga harus cermat membaca peluang soal tren bisnis yang terjadi di tiap sektor dan lebih tangkas dalam mengakomodasi kebutuhan para pemilik modal. Misalnya, soal tuntutan dekarbonisasi di sektor industri berat seperti besi dan baja hingga serta dorongan untuk transisi ke energi yang lebih bersih.

Sebab, kendati sistem ekonomi dan investasi Korea Selatan juga berkiblat pada Amerika Serikat, namun komitmen mereka untuk meninggalkan energi fosil jauh lebih besar.

“Hyundai itu batal membeli aluminium dari kawasan industri hijau di Kalimantan Utara, karena mereka (kawasan industri) masih menggunakan pembangkit batu bara. Sedangkan Korea Selatan adopsi untuk energi hijaunya cukup besar. Samsung, LG, Hyundai, itu punya komitmen penurunan emisi yang ambisius,” tambah Bhima.

Apa yang disampaikan Bhima soal komitmen energi Korea Selatan bersih tak berlebihan. EcoPro, perusahaan asal Korea Selatan yang bergerak di bidang baterai kendaraan listrik, menyampaikan keinginannya untuk mengembangkan fasilitas produksi katoda—lanjutan dari investasi smelter nikel mereka di Morowali—dengan penggunaan energi hijau seperti surya dan bioenergi.

Hanya saja, CEO EcoPro Song Ho Joon menyebut bahwa tantangan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan proyek tersebut tak mudah. "Jika ada pemberian insentif, kebijakan, pendanaan dari Danantara, akan memperlancar proyek kami,” tutur Song saat bertemu Agus Gumiwang Kartasasmita.

Bersaing Dengan Vietnam

Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menilai bahwa di luar berbagai keterbatasan dan kesalahan kebijakan yang dilakukan pemerintah, Indonesia memang memiliki banyak keunggulan yang menarik minat investor Korea Selatan.

Persiapan sejumlah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) serta gelontoran insentif pajak untuk sejumlah sektor prioritas adalah dua di antara kelebihan itu. “Jika Indonesia terus memperbaiki iklim usaha dan menjaga konsistensi kebijakan, maka arus investasi dari Korea Selatan akan semakin deras dan membawa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi nasional,” ucapnya kepada Tirto, Selasa (29/4/2025).

Meski begitu, dalam perlombaan menarik modal dari Korea Selatan, Indonesia berhadapan dengan lawan yang tangguh seperti Vietnam di tataran regional. Per akhir 2023 saja, berdasarkan catatan Kementerian Luar Negeri Korea Selatan, investasi mereka di Indonesia hanya sebesar 2,1 miliar dolar AS negar tersebut. Angka ini jauh di bawah investasi ke Vietnam yang mencapai 52,9 miliar dolar hingga Desember 2024.

Untuk itu, menurut Syafruddin, hal pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah dengan memastikan iklim usaha yang stabil dan birokrasi yang efisien. Ini penting karena investor akan memilih negara yang memberikan kepastian hukum, kecepatan perizinan, dan kemudahan akses logistik. “Oleh karena itu, Indonesia harus mempercepat reformasi regulasi dan menurunkan hambatan investasi, baik di tingkat pusat maupun daerah,” imbuh dia.

Selain itu, Indonesia harus memperkuat pendidikan vokasi dan pelatihan industri untuk menyediakan tenaga kerja siap pakai. Upaya ini akan menjadi nilai tambah besar yang membuat investor merasa yakin untuk berinvestasi dalam jangka panjang. Hal yang tak kalah penting adalah memanfaatkan forum bilateral dan pameran internasional untuk mempromosikan proyek-proyek unggulan di Kawasan Ekonomi Khusus, sektor hijau, dan teknologi manufaktur.

“Indonesia harus bertindak proaktif, bukan reaktif. Pemerintah harus mendatangi calon investor dengan proposal matang, dukungan fiskal yang jelas, serta komitmen infrastruktur yang kuat. Jika semua pemangku kepentingan bekerja dalam satu arah, Indonesia bisa melampaui daya saing Vietnam dan menjadi destinasi investasi utama di Asia Tenggara,” tandas Syafruddin.

Baca juga artikel terkait KOREA atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Insider
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Hendra Friana