Menuju konten utama

Buka Data BO: Upaya Usir Hantu Pemilik Manfaat di Rezim Prabowo

Struktur kepemilikan perusahaan di Indonesia masih jauh dari transparan dan perlu menjadi perhatian pemerintah.

Buka Data BO: Upaya Usir Hantu Pemilik Manfaat di Rezim Prabowo
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas memberikan sambutan pada peluncuran Forum Komunikasi Kebijakan: Legal Policy Hub di Graha Pengayoman, Kementerian Hukum, Jakarta, Senin (15/9/2025). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/sgd

tirto.id - Dari Panama hingga Pandora Papers, publik perlu memahami bahwa pemilik manfaat atau beneficial owner (BO) di banyak perusahaan di Indonesia selama ini beroperasi seperti hantu. Sebagian dari mereka—baik pengusaha maupun pejabat—bersembunyi di balik lapisan kepemilikan perusahaan.

Praktik ini bisa melibatkan nama banyak orang: kerabat, kolega, hingga mantan karyawan. Semuanya disusun seprofesional mungkin untuk memberi kesan bahwa manfaat sebuah entitas bisnis hanya berhulu pada nama-nama yang tercantum dalam akta. Padahal, mereka bukanlah pemilik sejati dari keuntungan usaha yang dijalankan.

Masalah ini penting sebab, kerap kali, kurangnya transparansi dalam informasi kepemilikan manfaat memungkinkan berbagai pelanggaran mulai dari konflik kepentingan hingga aliran dana gelap.

Kini, upaya membongkar lapisan kepemilikan seperti itu tampaknya tengah dilakukan pemerintahan Prabowo Subianto. Senin (6/10/2025) lalu, Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas mengungkap temuan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) soal sejumlah korporasi yang mencantumkan nama pejabat atau petinggi negara sebagai pemilik manfaat.

“Enggak tahu apakah itu disengaja atau mencatut nama pejabat tanpa persetujuannya untuk menakut-nakuti orang. Tapi kenyataannya seperti itu,” ujar Supratman saat ditemui wartawan di Kompleks DPR.

Temuan tersebut menjadi salah satu pertimbangan pemerintah untuk mengubah sistem self-declaration yang selama ini berlaku menjadi mandatori, dan dilakukan melalui perantara notaris.

Terlebih, dari 3,55 juta korporasi yang wajib melaporkan pemilik manfaatnya, hanya 51,7 persen atau 1,82 juta yang memenuhi kewajiban itu. Ketidakjujuran ini menimbulkan kerugian bagi negara, sebab pemilik sesungguhnya bisa bersembunyi di balik nama orang lain.

Dengan mekanisme baru yang diatur dalam Peraturan Menteri Hukum (Permenkum) Nomor 2 Tahun 2025 tersebut, kata Supratman, pemerintah berharap data pemilik manfaat sesungguhnya dapat lebih akurat.

Setelah notaris melaporkan pemilik manfaat kepada Ditjen AHU, Kemenkumham akan memverifikasi data tersebut dengan melibatkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Negara (ATR/BPN), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), PPATK, serta kementerian dan lembaga terkait lainnya.

“Kita akan sangat memberi bantuan dan membantu aparat penegak hukum kalau terjadi sesuatu, tidak perlu repot-repot mencari data yang terkait dengan penerima manfaat. Karena semua sudah melewati verifikasi walaupun mungkin jaminan 100 persennya juga belum tentu berhasil,” ucap Supratman.

Deputi Bidang Pelaporan dan Pengawasan Kepatuhan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Fitriyadi Muslim, tak menampik bahwa penyamaran struktur korporasi memang menjadi salah satu tantangan utama bagi PPATK maupun lembaga sejenis di seluruh dunia dalam melacak kekayaan hingga hasil kejahatan keuangan.

Infografik Mozaik Panama Papers

Infografik Mozaik Surga Pajak dalam Panama Papers. tirto.id/Nauval

Karenanya, identifikasi pemilik manfaat korporasi menjadi kunci bagi rezim anti pencucian uang yang diakui secara internasional dan dijadikan standar dalam rekomendasi Satuan Tugas Tindak Pidana Pencucian Uang Internasional.

“Salah satu fokus penting PPATK saat ini adalah meningkatkan kualitas dan akurasi data pemilik manfaat korporasi. Data ini sangat penting, karena tanpa data pemilik manfaat yang handal, risiko penyalahgunaan struktur korporasi sebagai media penyembunyian aliran dana kriminal menjadi tinggi,” ujar Fitriyadi dalam kesempatan yang sama.

Sementara itu, Ketua KPK Setyo Budianto mengibaratkan para pemilik manfaat alias BO korporasi sebagai “genderuwo” yang bersembunyi di balik layar, namun mampu menakuti para pejabat perusahaan. Setyo, yang pernah menjabat sebagai Inspektur Jenderal di Kementerian Pertanian, menilai bahwa para "demit" tersebut kerap memiliki banyak pengikut dan menggunakan modal maupun pengaruhnya untuk meraup keuntungan besar—bahkan jika harus merugikan negara.

"Mereka ini banyak pengikut-pengikutnya, banyak orang-orang yang memanfaatkan segala macam pada titik modal, investasi, titik pengaruh, dan lain-lain yang kemudian semakin memperkuat si pemilik manfaat untuk melakukan banyak tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan yang luar biasa," ujarnya, dalam acara yang sama.

Setyo juga menyitir kasus Panama Papers, yang melibatkan ratusan ribu perusahaan beserta pemegang saham dan pengurusnya, sebagai salah satu contoh penyamaran pemilik manfaat terbesar. Bahkan, hasil penelusuran PPATK menunjukkan banyak nama politikus dan pejabat publik yang terungkap sebagai pemegang saham maupun penerima manfaat di perusahaan-perusahaan yang terlibat.

Contoh lainnya adalah Kasus korupsi yang menjerat Bupati Banjarnegara, Budhi Sarwono. Dalam proyek pengadaan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tahun 2017–2018 senilai Rp26,1 miliar, Budhi mendaftarkan nama sopir dan petugas satuan pengamanan (satpam) sebagai direktur, komisaris, sekaligus pemegang saham di PT Sutikno Mitra Kencana (SMK) yang ia bentuk sendiri.

Senada, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan bahwa praktik layering atas kepemilikan manfaat kerap menyulitkan aparat menangani pelanggaran hukum di sektor sumber daya alam.

Sebab, biasanya perusahaan yang ditindak merupakan perusahaan cangkang (shell company) dengan pemilik manfaat sebenarnya atau ultimate beneficial owner tersembunyi di balik lapisan-lapisan kepemilikan korporasi. Tak sedikit pula korporasi tersebut berbasis di luar negeri.

Tak ayal, praktik ini menyebabkan kebocoran pajak yang sangat besar. Di sektor sumber daya alam saja, nilainya disebut-sebut mencapai Rp300 triliun, sebagaimana pernah diungkap kakak Presiden Prabowo Subianto sekaligus pengusaha senior, Hashim Djojohadikusumo.

“Selama ini praktik layering atau menggunakan nominee (praktik pinjam nama) untuk menyembunyikan penerima manfaat akhir menjadi kesulitan utama petugas pajak. Mereka bisa pakai 3-4 perusahaan cangkang untuk sembunyikan dananya,” ujar Bhima, saat dihubungi Tirto, Rabu (8/10/2025).

Karena itu, hemat Bhima , skema pelaporan pemilik manfaat korporasi yang baru ini bisa menjadi penyelamat penerimaan negara dari praktik para pengusaha nakal. Namun, pemerintah perlu mengecualikan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dari kewajiban tersebut. Alasannya, biaya sewa notaris yang tinggi justru akan membebani para pelaku usaha kecil. Ia menyarankan agar pemerintah membuat batasan berdasarkan besaran modal disetor untuk menentukan siapa saja yang wajib melaporkan pemilik manfaat korporasi.

“Yang penting tidak dikenakan ke UMKM karena biaya notaris mahal. Jadi ke korporasi bisa cegah pencucian uang dan bisa meningkatkan penerimaan negara dari pencocokan data BO dan SPT,” imbuhnya.

Secara terpisah, Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Bagus Pradana melihat kebijakan ini sebagai tindak lanjut dari bergabungnya Indonesia dalam Kelompok Kerja Aksi Keuangan untuk Pencucian Uang (Financial Action Task Force/FATF).

Menurutnya, verifikasi awal oleh notaris diharapkan dapat memastikan data yang masuk ke sistem benar-benar mencerminkan pemilik manfaat sebenarnya. Sebab, dalam layanan AHU sebelumnya yang dapat diakses melalui kanal https://ahu.go.id/pencarian/profil-pemilik-manfaat—terutama versi layanan gratis—sering kali tidak akurat.

“Dan ini juga telah disadari oleh Ditjen AHU dengan memberikan disclaimer bahwa data yang disampaikan adalah self-declaration dari perusahaan dan Ditjen AHU tidak melakukan verifikasi terhadap data yang disampaikan,” tuturnya.

Bagus menjelaskan, secara prinsip, skema baru ini dapat memperkecil peluang manipulasi data kepemilikan yang selama ini menjadi celah awal praktik-praktik koruptif dalam bisnis. Praktik seperti perusahaan cangkang dan nominee sering kali menjadi pintu masuk bagi kejahatan keuangan yang lebih kompleks, seperti penghindaran pajak, pencucian uang, dan penyamaran aset hasil korupsi.

Namun demikian, masih banyak pihak yang belum memahami—atau sengaja mengabaikan—ketentuan bahwa pemilik manfaat yang harus dilaporkan kepada Ditjen AHU adalah individu, bukan perusahaan.

“Banyak juga fenomena pelaporan BO itu yang dilaporkan justru nama perusahaan. Ini sudah diatur dalam aturan FATF dan platform-platform universal lain seperti UNCAC, OECD, EITI, OGP, dan lain-lain,” tambah Bagus.

Lebih lanjut, efektivitas skema pelaporan ini juga akan sangat bergantung pada transparansi proses dan independensi pihak-pihak yang terlibat. Jika notaris hanya berperan sebagai perantara administratif tanpa mekanisme pengawasan publik, menurut Bagus, sistem ini justru berpotensi menambah lapisan baru yang rawan konflik kepentingan.

“Hal ini penting karena kami masih percaya bahwa transparansi data BO adalah instrumen kunci untuk mencegah korupsi,” ucapnya.

Karena itu, pemerintah dan lembaga yang terlibat dalam proses verifikasi tidak boleh setengah hati dalam mengawasi sektor usaha di dalam negeri. Sebagai bentuk keterbukaan, Ditjen AHU juga perlu berani membuka data pemilik manfaat korporasi kepada publik.

“Jadi, langkah ini bisa mengurangi potensi kebocoran penerimaan negara dan mempersempit ruang pengemplangan pajak asalkan disertai dengan akses publik yang terbuka terhadap data BO, sesuai prinsip keterbukaan yang diwajibkan FATF, serta pengawasan independen terhadap proses verifikasi yang dilakukan notaris,” jelas dia.

Terakhir, penegakan hukum yang tegas juga mutlak diperlukan terhadap siapa pun—termasuk korporasi maupun pejabat—yang terbukti menyembunyikan identitas atau kepemilikan perusahaan yang sebenarnya.

“Dengan kombinasi ini, kebijakan pelaporan melalui notaris bisa menjadi langkah positif menuju sistem kepemilikan korporasi yang lebih transparan, bukan sekadar menambah layer formalitas baru,” tutup Bagus.

Baca juga artikel terkait PERUSAHAAN atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Insider
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Hendra Friana