Menuju konten utama

BI Diprediksi Bakal Turunkan Suku Bunga Acuan Jadi 5,5%

Penurunan suku bunga diperkirakan akan terjadi dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian RI dan data inflasi yang rendah.

BI Diprediksi Bakal Turunkan Suku Bunga Acuan Jadi 5,5%
Gedung Bank Indonesia di Jakarta. FOTO/bi.go.id

tirto.id - Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan memangkas suku bunga acuan (BI 7-day Reverse Repo Rate/BI7DRR) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,5 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada Rabu (21/5/2025) siang. Pemangkasan ini sejalan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi yang hanya tumbuh 4,87 persen secara tahunan (year on year/yoy) di kuartal I 2025.

Global Markets Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, melihat bahwa ini saat yang tepat bagi Bank Sentral untuk menempuh kebijakan moneter ini. Karena saat ekonomi Indonesia tumbuh lebih lambat dibanding kuartal yang sama di 2024, yakni sebesar 5,11 persen, inflasi April 2025 juga tercatat rendah di level 1,95 persen (yoy).

Pun, tren pelemahan rupiah juga cenderung mereda, dengan pada perdagangan Selasa (20/5/2025), mata uang Garuda ditutup menguat 0,13 persen menjadi Rp16.413 per dolar Amerika Serikat (AS).

"Pertumbuhan ekonomi kita juga terindikasi melambat (secara kuartalan) selama 1H25 (paruh pertama 2025), jadi ekonomi kita butuh pendorong nyata, seperti contohnya penurunan BI Rate ini," ujar Myrdal, saat dihubungi Rabu (21/5/2025).

Senada, Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede, juga memperkirakan BI akan menurunkan suku bunga acuanya dalam pengumuman RDG siang ini. Menurutnya, kemungkinan ini didorong oleh faktor domestik berupa inflasi yang tetap terjaga rendah di kisaran target BI sebesar 1,5-3,5 persen.

Seiring dengan pelambatan ekonomi domestik yang terjadi, Indonesia membutuhkan pelonggaran moneter untuk mendukung permintaan agregat.

"Secara eksternal, kondisi global yang membaik semakin memperkuat argumen untuk kebijakan yang lebih ekspansif," ujar dia, kepada Tirto, Selasa (20/5/2025).

Ketahanan sektor eksternal Indonesia tercermin dari surplus perdagangan yang terus berlanjut, dengan pada kuartal I 2025 surplus perdagangan naik 10,92 miliar dolar AS, dari 7,41 miliar dolar AS pada kuartal I 2024.

"Hal ini menunjukkan bahwa neraca transaksi berjalan tetap berada dalam posisi relatif stabil. Sentimen global juga menunjukkan tren peningkatan, didukung oleh pelonggaran ketegangan perdagangan," imbuh dia.

Kemudian, positifnya hasil pembicaraan perdagangan AS-Cina baru-baru ini, yang mengarah pada pencabutan tarif balasan secara mutual, dari tingkat di atas 100 persen menjadi 30 persen (untuk Cina) dan 10 persen (untuk AS) dalam waktu 90 hari juga menjadi titik balik penting perdagangan internasional.

Selain itu, data inflasi AS, baik dari sisi penawaran (supply) maupun permintaan, menunjukkan tren penurunan, memperkuat argumen bagi Bank Sentral AS, The Federal Reserve alias The Fed untuk memulai pemangkasan suku bunga kebijakan Fed Fund Rate (FFR).

"Hal ini memicu sentimen risk-on di pasar keuangan global, mendorong aliran modal masuk ke pasar emerging markets, termasuk Indonesia," tutur Josua.

Aliran modal asing di pasar keuangan domestik terefleksi dari penguatan nilai tukar Rupiah sebesar 0,98 persen secara bulanan (month to date/mtd) per 16 Mei 2025, membawa nilai tukar di bawah Rp16.500 per dolar AS.

Ke depannya, jika ketidakpastian global terus mereda dan kondisi eksternal terus membaik, Josua memperkirakan adanya pergeseran strategis dalam sikap kebijakan BI.

"Dari orientasi pro-stabilitas saat ini menuju kerangka kerja yang lebih pro-pertumbuhan. Akibatnya, kami melihat ruang untuk pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin lagi pada sisa tahun 2025, yang berpotensi menurunkan suku bunga BI menjadi 5,25 persen," papar Josua.

Namun, dengan belum stabilnya kondisi ekonomi domestik dan global, membuat Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI) memperkirakan BI masih akan tetap menahan suku bunga acuan di level 5,75 persen.

Kendati, tren inflasi dan pergerakan rupiah menunjukkan adanya ruang perubahan kebijakan, pelonggaran yang terlalu dini dapat berisiko mengubah capaian stabilitas mata uang baru-baru ini.

"Penyesuaian suku bunga kebijakan harus dilakukan secara hati-hati dan selaras dengan sinyal-sinyal yang lebih jelas dari kondisi moneter global, terutama the Federal Reserve. Untuk sementara, Bank Indonesia harus tetap waspada dan terus menggunakan perangkat stabilisasi yang diperlukan untuk menjaga stabilitas makroekonomi," tegas Ekonom LPEM UI, Teuku Riefky.

Baca juga artikel terkait SUKU BUNGA atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Dwi Aditya Putra