Menuju konten utama
Pendidikan Agama Islam

Bagaimana Cara Mengetahui Kesahihan Hadis?

Cara mengetahui kesahihan sebuah hadis, kriteria sahihnya hadis untuk dijadikan landasan agama Islam.

Bagaimana Cara Mengetahui Kesahihan Hadis?
Ilustasi Al-Quran. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Setiap informasi yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik itu tindakan, perkataan, hingga sifat beliau, dikenal dengan sebutan hadis.

Namun, tidak semua hadis dapat dikatakan absah karena ada juga informasi palsu yang sengaja difabrikasi, lalu disebut sebagai hadis. Lantas, bagaimana cara mengetahui bahwa hadis itu sahih atau tidak?

Secara umum, terdapat beberapa jenis hadis ditinjau dari keabsahannya, yaitu hadis sahih, hadis hasan, hadis lemah (daif), dan hadis palsu (maudhu').

Mayoritas ulama menyepakati bahwa hadis sahih dan hadis hasan bisa diterima untuk dijadikan landasan beragama.

Sementara itu, hadis lemah tetap bisa diaplikasikan untuk keutamaan amalan sunah (fadhailul a'mal), namun tidak bisa dipakai sebagai referensi hukum dan akidah.

Untuk kategori terakhir, hadis palsu wajib ditolak karena informasi itu dikarang dan mencatut nama Nabi Muhammad secara tidak bijak.

Orang yang menyampaikan suatu informasi, lalu menyandarkannya pada Nabi Muhammad padahal ia berbohong diancam dengan balasan neraka oleh Allah SWT, sebagaimana sabda Rasulullah:

"Sesungguhnya orang berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka," (H.R. Bukhari dan Muslim).

Cara Mengetahui Kesahihan Hadis

Suatu hadis dapat dikatakan sahih harus memenuhi sejumlah kriteria sebagai berikut, sebagaimana dilansir dari NU Online.

1. Sanadnya bersambung hingga Nabi Muhammad

Umumnya, hadis yang kita terima sekarang sudah dalam bentuk ringkasnya. Namun, sebenarnya, suatu hadis dapat ditakar sahih atau tidaknya adalah dari ketersambungan sanadnya sampai ke Rasulullah SAW.

Sanad sendiri adalah rentetan perawi hadis hingga sampai ke Nabi Muhammad SAW. Untuk mengetahui konsep ketersambungan sanad ini dapat melihat contoh hadis di bawah ini:

"Dari Abdullah bin Yusuf meriwayatkan dari Malik bin Anas, dari Ibnu Syihab, dari Muhammad bin Jubair bin Math’am, dari bapaknya, Jubair bin Math’am, yang berkata, ‘Saya mendengar Rasulullah membaca Surat At-Thur saat salat Magrib,’” (H.R. Al-Bukhari).

Hadis di atas memiliki ketersambungan sanad hingga Nabi Muhammad SAW, yang dimulai dari Imam Bukhari mendengar hadis itu dari Abdullah bin Yusuf yang mendengarnya dari Malik bin Anas (Tabiut Tabi'in), yang mendengarnya dari Ibnu Syihab Az-Zuhri (Tabi'in).

Ibnu Syihab pun mendengarnya dari Muhammad bin Jubair (yang juga seorang tabi'in) dari ayahnya yaitu sahabat Jubair bin Math'am yang langsung mendengar bahwasanya Nabi Muhammad membaca surah At-Thur selepas Al-Fatihah ketika salat Magrib.

Jika seandainya, ada keterputusan sanad, misalnya Imam Bukhari mendengar bahwa Abdullah bin Yusuf menyatakan bahwa ia mendengar langsung dari Muhammad bin Jubair (Tabi'in), padahal keduanya memiliki perbedaan rentang usia dan zaman yang jauh, serta mustahil bisa bertemu langsung, maka hadis itu tidak bisa dikatakan sahih karena sanadnya terputus.

2. Perawi yang mengabarkan hadis itu kredibel dan bisa dipercaya

Untuk bisa dipercaya perkataannya, perawi hadis itu harus diteliti kredibilitasnya. Penelitian mengenai sumber informasi ini dapat dilakukan dengan bertanya pada orang-orang-orang yang pernah bertemu dengan perawi hadis itu.

Di masa sekarang, meneliti perawi hadis dapat dilakukan dengan menelaah biografi masing-masing perawi di kitab-kitab klasik.

Banyak buku biografi perawi hadis yang mendokumentasikan tindakan-tindakan yang pernah dilakukan oleh perawi tersebut.

Jika seorang perawi hadis pernah kedapatan berbohong, maka hadisnya langsung tertolak.

Demikian juga jika sering bermaksiat atau pernah melanggar nilai-nilai moral masyarakat setempat, maka hadisnya tidak bisa diterima secara utuh.

3. Hapalan perawinya kuat

Selanjutnya, kualitas ingatan dan hapalan perawi juga perlu ditakar. Jikalau seorang perawi sering lupa, maka hadisnya tidak bisa dikatakan sahih, paling jauh masuk dalam kategori hasan karena hapalannya tidak sekuat yang sahih.

Dalam konteks hapalan hadis, ada perawi yang hapalannya kuat di waktu muda, namun seiring bertambah usianya, hapalannya sering tertukar-tukar.

Dalam kasus ini, ahli hadis biasanya membagi rentang waktu ketika hapalannya masih kuat dan ketika perawi itu sudah memasuki usia tua ketika ingatannya sudah lemah.

4. Tidak ada syadz atau pertentangan dengan perawi lainnya

Dalam kasus tertentu, ada dua hadis yang sama-sama sahih, namun ternyata makna hadisnya bertentangan satu sama lain. Jika demikian, maka hadis itu mesti ditentukan salah satu yang akan diterima.

Caranya adalah dengan menguji masing-masing perawi. Kemudian, perawi yang paling kredibel dan kuat hapalannya yang diprioritaskan. Selain itu, makna hadis itu juga perlu dikonfirmasi dengan riwayat lainnya agar tidak ada syadz dengan yang lain.

5. Tidak ada illah atau kecacatan, baik pada sisi perawi ataupun isi hadis tersebut

Dalam keilmuan hadis (ilmu musthalahah hadis), terdapat istilah illah yaitu cacat yang dapat merusak hadis.

Cacat ini umumnya implisit (tidak terlihat) dan hadis itu terkesan sahih, namun setelah diteliti lebih cermat lagi, ditemukan kecacatannya.

Letak illah hadis ini biasanya ada pada tiga keadaan, sebagaimana dinyatakan Hairul Hudaya dalam uraian "Menguji Kompleksitas 'Illah Hadis" dalam Jurnal Ilmu Ushuluddin, yaitu (1) illah pada sanad; (2) illah pada matan (isi hadis); dan (3) illah pada sanad dan matan sekaligus.

Salah satu contoh cacat illah adalah perawi hadis ditemukan keliru menyebut nama perawi di atasnya.

Namun, kekeliruan ini nyaris tidak disadari orang lain, sebab nama perawi itu memang mirip dan berpotensi terbolak-balik atau perawi itu memang sezaman dengannya, padahal sebenarnya tidak pernah menyampaikan hadis tersebut.

Kekuatan metodologi sanad inilah yang menjaga keotentikan dan kesahihan sumber informasi ajaran Islam.

Karena itulah Sheikh Ahmad Kutty, Intelektual Islam dari Institut Islam Toronto menyatakan bahwa dengan metodologi ketat menyaring hadis sahih dan yang tidak sahih merupakan keunggulan Islam dibandingkan agama-agama lainnya.

"Islam adalah satu-satunya agama yang menciptakan metodologi ilmiah untuk memverifikasi data [hadis]. Jika bukan karena pengetahuan sanad, maka orang akan mengatakan apa pun yang ia inginkan," ujar Sheikh Ahmad Kutty, sebagaimana dilansir dari Islam Online.

Baca juga artikel terkait HADIS atau tulisan lainnya dari Abdul Hadi

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Abdul Hadi
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Dhita Koesno