Menuju konten utama

Aturan Outsourcing di UU Cipta Kerja, Hak, & Skema Gaji

Bagaimana aturan outsourcing di UU Cipta Kerja, hak, dan skema gajinya? Simak penjelasan selengkapnya berikut ini.

Aturan Outsourcing di UU Cipta Kerja, Hak, & Skema Gaji
Ilustrasi Undang Undang. foto/Istockphoto

tirto.id - Salah satu hal yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja adalah outsourcing atau alih daya. Lantas, bagaimana aturan outsourcing di UU Cipta Kerja, hak, dan skema gajinya?

UU Cipta Kerja, atau dikenal juga sebagai Omnibus Law, adalah undang-undang yang menggabungkan dan merevisi sejumlah regulasi di berbagai sektor dalam satu payung undang-undang.

Omnibus Law disahkan pertama kali pada 5 Oktober 2020. Tujuannya untuk menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif dan mempercepat penciptaan lapangan kerja.

Dalam konteks ini, banyak pasal dari UU Ketenagakerjaan dan undang-undang lainnya yang mengalami perubahan signifikan, termasuk soal sistem kerja alih daya atau outsourcing.

Outsourcingsendiri adalah mekanisme penyerahan sebagian pekerjaan dari perusahaan kepada pihak ketiga, yakni perusahaan penyedia jasa tenaga kerja. Pekerja outsourcing secara hukum berada di bawah perusahaan penyedia, bukan di perusahaan pengguna jasa.

Awalnya, dalam UU Ketenagakerjaan (UU No.13 Tahun 2003), praktik outsourcing dibatasi hanya untuk pekerjaan non-core atau bukan kegiatan utama perusahaan, seperti:

  • Pekerjaan terpisah dari kegiatan utama,
  • Dilakukan atas perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi kerja,
  • Bersifat penunjang operasional,
  • Tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Selanjutnya, Pasal 17 Permenakertrans 19/2012 menetapkan bahwa hanya lima jenis pekerjaan yang boleh dialihdayakan, yaitu layanan kebersihan (cleaning service), penyediaan makanan untuk pekerja (catering), tenaga pengamanan (security), jasa pendukung di sektor pertambangan dan perminyakan, serta layanan transportasi untuk pekerja.

Namun, UU Cipta Kerja 2020 mencabut pembatasan tersebut. Akibatnya, pekerjaan utama (core business) pun bisa diserahkan kepada pihak ketiga. Hal ini memicu kekhawatiran karena membuka ruang outsourcing yang lebih luas, termasuk untuk pekerjaan yang sebelumnya dilindungi.

Hak dan Perlindungan Pekerja Outsourcing

Perubahan UU Cipta Kerja selanjutnya terjadi pada Maret 2023 melalui UU No.6 Tahun 2023 yang menetapkan Perppu Cipta Kerja menjadi UU. Dalam pasal 64 ayat (1), pekerjaan non-core bisa diberikan kepada pihak ketiga dengan outsourcing asalkan ada perjanjian tertulis, berikut bunyinya:

Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan lainnya melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis.

Sementara itu, disebutkan dalam Pasal 64 ayat (2) dan (3), dinyatakan bahwa pemerintah yang akan menetapkan jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan melalui peraturan lebih lanjut.

Pasal 64 Ayat (2) Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 64 Ayat (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat 21 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Sayangnya, hingga kini, regulasi yang secara spesifik mengatur jenis pekerjaan tersebut belum diterbitkan, sehingga ketidakjelasan mengenai batasan core dan non-core masih terjadi.

Namun, UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya memberikan sejumlah perlindungan baru bagi pekerja outsourcing, yakni sebagai berikut.

1. Harus Dipekerjakan dalam Status PKWT atau PKWTT

Hubungan kerja antara perusahaan outsourcing dan pekerjanya harus tertulis secara resmi, bisa berupa kontrak kerja jangka waktu tertentu (PKWT) atau tidak tertentu (PKWTT). Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 66 Ayat (1).

Hubungan Kerja antara Perusahaan alih daya dengan Pekerja/Buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada Perjanjian Kerja yang dibuat secara tertulis, baik perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

2. Perusahaan Penyedia Outsourcing Harus Sepenuhnya Bertanggung Jawab

Sementara itu, dalam Pasal 66 Ayat (2) dan (3), Perusahaan outsourcing bertanggung jawab penuh terhadap perlindungan, upah, kesejahteraan, aturan kerja, dan penyelesaian masalah pekerja. Ini termasuk jika terjadi pergantian perusahaan outsourcing.

3. Perjanjian Kerja Harus Mencantumkan Klausul TUPE

Klausul TUPE (Transfer of Undertaking Protection of Employment) yang menjamin hak-hak pekerja tetap berlaku saat terjadi pergantian perusahaan outsourcing. Jika perusahaan outsourcing mempekerjakan PKWT, maka kontrak tersebut harus mencantumkan ketentuan yang melindungi hak-hak pekerja bila terjadi pergantian perusahaan outsourcing.

Hak-hak pekerja akan tetap terlindungi selama pekerjaan yang dikerjakan masih ada dan berlanjut. Persoalan tersebut dijelaskan dalam PP No. 35 Tahun 2021 Pasal 19:

(1) Dalam hal Perusahaan Alih Daya mempekerjakan Pekerja/Buruh berdasarkan PKWT maka Perjanjian Kerja tersebut harus mensyaratkan pengalihan pelindungan hak bagi Pekerja/Buruh apabila terjadi pergantian Perusahaan Alih Daya dan sepanjang obyek pekerjaannya tetap ada.

2) Persyaratan pengalihan pelindungan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jaminan atas kelangsungan bekerja bagi Pekerja/Buruh yang hubungan kerjanya berdasarkan PKWT dalam Perusahaan Alih Daya.

Sementara itu pada Ayat (3), jika pekerja tidak mendapat jaminan kelanjutan kerja setelah perusahaan outsourcing berganti, maka perusahaan outsourcing yang lama tetap bertanggung jawab untuk memenuhi hak-hak pekerja, seperti gaji atau pesangon yang belum diterima.

(3) Dalam hal Pekerja/Buruh tidak memperoleh jaminan atas kelangsungan bekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan Alih Daya bertanggung jawab atas pemenuhan hak Pekerja/Buruh.

Skema Gaji dan Formula Penghitungan Upah Minimum

Dalam UU No. 6 Tahun 2023 Pasal 88B Ayat (1), upah minimum pekerja atau buruh ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil. Selain itu, UU tersebut juga mengubah ketentuan mengenai pengupahan.

Salah satu poin pentingnya adalah perubahan formula penghitungan upah minimum, yang kini mempertimbangkan tiga variabel:

    1. Pertumbuhan ekonomi,
    2. Inflasi,
    3. Indeks tertentu.
Hal ini dijelaskan dalam Pasal 88D:

(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) dihitung dengan menggunakan formula penghitungan Upah minimum.

(2) Formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.

Sebelumnya, hanya satu dari dua variabel pertama yang digunakan. Akumulasi ketiganya kini menjadi syarat wajib, bukan pilihan.

Baca juga artikel terkait OUTSOURCING atau tulisan lainnya dari Nisa Hayyu Rahmia

tirto.id - Edusains
Kontributor: Nisa Hayyu Rahmia
Penulis: Nisa Hayyu Rahmia
Editor: Beni Jo