Menuju konten utama

Buruh Yogya: Upah Rendah, Rumah Susah, Harus Nrimo Ing Pandum?

Memiliki rumah bagi pekerja di Yogyakarta seperti mimpi, sebab upah minimum yang rendah sementara harga rumah tidak.

Buruh Yogya: Upah Rendah, Rumah Susah, Harus Nrimo Ing Pandum?
Aksi Hari Buruh di Yogyakarta. antara foto/andreas fitri atmoko/ama/16.

tirto.id - Tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional jadi hari penting bagi setiap pekerja. Satu dari ratusan hari yang jadi simbol perjuangan melawan eksploitasi, menuntut keadilan, dan memperjuangkan hak-hak dasar pekerja.

Dan, salah satu hak dasar pekerja adalah memiliki tempat tinggal. Hal yang sering diingatkan sedari duduk di bangku sekolah bahwa kebutuhan primer adalah sandang (pakaian), pangan (makanan), dan papan (rumah tempat tinggal).

Namun hari-hari ini, memiliki rumah ibarat mimpi yang sulit terlaksana, bukan cuma bagi buruh di wilayah Jakarta tapi juga bagi pekerja di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebab, harga rumah kian tinggi, sementara upah masih saja rendah.

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada 15 Januari 2025, DIY menempati posisi pertama sebagai provinsi dengan persentase kemiskinan penduduk tertinggi di Pulau Jawa. Angkanya mencapai 10,40 persen dengan total sekitar 430,37 ribu penduduk miskin.

Di tengah angka kemiskinan ini, Upah Minimum Provinsi (UMP) di DIY cuma sebesar Rp2.264.080 per bulan. Tapi tentu UMP bisa jadi tidak berlaku di sejumlah sektor pekerjaan dan juga bagi para pekerja informal. Bagi sebagian pekerja, terutama sektor informal, bisa jadi upah mereka lebih rendah.

Besaran UMP yang rendah sudah jadi masalah, apalagi jika disandingkan dengan harga tanah dan impian memiliki rumah. Pesatnya pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan pariwisata membuat harga tanah kian melambung.

Prediksi harga tanah di DIY menurut jogjaproperti.net untuk tahun 2025 berkisar antara Rp1,5 juta sampai Rp30 juta per meter persegi. Jika menginginkan luasan tanah minimal 72 meter persegi, maka butuh waktu berapa lama dengan UMP yang cuma sedikit lebih tinggi dari harga tanah per meter persegi?

Rumah subsidi

Potret rumah subsidi. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/nz

Jika terlalu sulit, apakah sebagai pekerja kita harus nrimo ing pandum? Sebuah konsep filosofi yang merepresentasikan betapa orang Jawa memasrahkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa. Misalnya dengan menerima nasib tak sanggup memiliki rumah lantas terus memilih mengontrak.

Yusinta Ayu Pristiyaningrum adalah salah satu pekerja yang merasa kesulitan memiliki rumah. Janda berusia 36 tahun itu tinggal mengontrak bersama putri semata wayangnya yang duduk di bangku kelas VI sekolah dasar.

Sinta, sapaan akrabnya, berprofesi sebagai petugas kebersihan di sebuah kantor. Wanita asal Sragen, Jawa Tengah, ini memutuskan untuk pindah ke DIY karena ingin mencoba peruntungan.

“Soalnya kalau di Sragen, gajinya cuma Rp1,5 juta,” ujarnya dihubungi Tirto, pada Rabu (30/4/2025).

Sinta menyatakan diriny sudah cukup bersyukur dengan pendapatan yang diperolehnya per bulan. Namun, dia akui bahwa dirinya kesulitan untuk dapat membeli hunian pribadi.

Keinginan itu dituangkannya dengan mencari informasi terkait kredit pemilikan rumah (KPR) di DIY. Namun, dia patah arang. “Susah syaratnya. Pengin kredit juga tapi syaratnya susah,” tuturnya.

Sinta menilai syarat yang harus dilalui dirinya bila ingin mendapatkan KPR. Salah satu kewajiban yang harus dipenuhi adalah gaji di atas Rp3,5 juta. Syarat itu harus ia penuhi untuk mendapatkan rumah dengan angsuran sebesar Rp1 juta per bulan selama 25 tahun. Itu harga angsuran termurah yang pernah Sinta temui.

“Nah, kalau kreditnya satu jutaan, terus gajinya dua jutaan, ya nggak bisa. Soalnya hitungan kreditnya enggak boleh lebih dari 50 persen penghasilan,” ujar janda satu putri itu. KPR memang mensyaratkan bahwa maksimal kredit hanya 30 persen dari dari upah yang diterima per bulan.

Oleh sebab itu, Sinta berharap ada kesesuaian UMP untuk memberikan kesempatan bagi pekerja memiliki rumah. Kini dia masih bisa bernaung di rumah kontrakan yang dibayarnya Rp4 juta per tahun.

“Ya semua pasti punya harapan [punya rumah sendiri],” kata dia. Harapan memiliki rumah sendiri itu muncul seiring dengan putrinya yang tumbuh dan bersekolah di DIY. Sinta tidak memungkiri bahwa baginya pendidikan di DIY lebih baik dibanding kota-kota lain di sekitarnya.

Selain itu, dia juga mulai merasa nyaman bekerja di DIY. “Pengin punya rumah, semoga punya penghasilan [upah layak untuk bisa beli rumah],” pungkas Sinta berharap.

Di sudut lain Yogya, Irawan, pemuda yang bekerja sebagai jurnalis pada salah satu surat kabar di DIY bercerita hal yang serupa. Pria asal Lahat, Sumatera Selatan, itu kini tidak mampu mengirim uang ke kampung halamannya.

Dia terang-terangan menyatakan bahwa gajinya tipis di atas UMP DIY yang merupakan UMP ketiga terendah se-Indonesia.

Irawan menyebut 20 persen gajinya habis untuk membayar kos. Sisanya, dia pakai untuk memenuhi kebutuhan seperti makan dan transportasi. Sementara saat ditanya anggaran untuk rekreasi, dia terlebih dulu melempar senyum sambil melepas asap rokok yang dihisapnya.

“Sulit. Iya [upah], sudah pas banget itu, ngepres,” ujarnya, diwawancarai di Bantul, pada Kamis (1/5/2025).

Dengan kemampuan ekonomi itu, Irawan geleng-geleng kepala untuk membeli rumah di DIY. “Realitasnya tanah di DIY mahal banget, satu meter bisa Rp3 juta-Rp4 juta. Tidak memungkinkan punya rumah di DIY dengan kondisi yang sekarang,” kata dia.

Namun, Irawan tidak menghapus mimpinya untuk memiliki rumah. Meskipun, entah di mana nantinya rumah itu akan berdiri. Sedikit penghasilan, yang ngepres untuk menutup kebutuhan harian, tetap disisihkannya untuk menabung.

“Kalau pengen punya rumah, iya, meskipun belum tahu di mana,” kata dia.

Irawan berharap ada penyesuaian UMP untuk memberikan kesempatan bagi pekerja memiliki hunian. Sebab menurutnya UMP DIY tidak sesuai dengan realitas kebutuhan sehari-hari pekerja.

“UMP yang cuma Rp2,4jt dengan realitas sekarang sudah semua mahal. Bahkan bahan pokok kebutuhan sehari-hari juga cukup mahal. Bayangkan, orang yang sudah berkeluarga, punya anak sekolah. Itu nggak mencukupi,” tandasnya.

Tugu Jogja

Tugu Jogja, Yogyakarta. (FOTO/iStockphoto)

Perwakilan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Kabupaten Bantul, Ponijan, mengamini kondisi di mana pekerja sulit untuk memiliki rumah. Menurutnya, hal itu terkait dengan harga properti yang selalu naik.

“Bahkan kenaikannya di atas kenaikan UMP/UMK,” ujar Ponijan saat dihubungi Tirto pada Kamis.

Selain itu, kata dia, sulitnya pekerja memiliki rumah karena belum tersedianya program kepemilikan rumah khusus bagi pekerja. Di sisi lain, dunia usaha pun belum bisa stabil.

Sementara Koordinator Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY, Irsyad Ade Irawan, mengatakan bahwa tanah adalah ruang hidup dan tempat tinggal adalah asasi setiap manusia.

“Termasuk bagi petani, pekerja, pelajar, seniman, pedagang, juru parkir, aktivis, serta berbagai elemen masyarakat,” ujarnya, pada Kamis (1/5/2025). Dalam aksi yang dia motori sebagai peringatan May Day, hunian menempati poin utama perhatian.

Oleh karena itu, Irsyad dan organisasinya menyatakan:

  1. Setiap warga berkat atas tempat tinggal yang layak dan aman;
  2. Setiap warga berhak untuk mendapatkan ruang hidup dan ruang untuk berkembang usaha;
  3. Proyek pembangunan tidak boleh dijalankan tanpa persetujuan dari rakyat;
  4. Negara wajib melindungi rakyat bukan menjadi alat kekuasaan untuk menggusur mereka. Kami menolak segala bentuk intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi terhadap warga yang mengorbankan tanah dan ruang hidup dan mata pencaharian mereka;
  5. Kami menolak penggusuran TKP Abu Bakar Ali dan TKP Kampung Lempuyangan Yogyakarta tanpa memberikan solusi atas kekurangan mereka;
  6. Kami menolak penggusuran hanya untuk atas nama sumbu filosofi jika pada akhirnya mereka tidak mampu memberikan hidup (kami) yang layak.
Jadi, haruskah pekerja pasrah atau nrimo ing pandum di tengah harga rumah yang terus naik sementara upah masih saja rendah?

Baca juga artikel terkait HARI BURUH atau tulisan lainnya dari Siti Fatimah

tirto.id - News
Reporter: Siti Fatimah
Penulis: Siti Fatimah
Editor: Rina Nurjanah