tirto.id - Hunian adalah kebutuhan primer bagi setiap individu di samping sandang dan pangan. Tak mengherankan kalau banyak orang, tak terkecuali Gen Z, berharap bisa punya rumah.
Laporan Jakpat tahun 2023 bertajuk “Property Perspective from Gen Z” mengungkap 61 persen dari 1.194 Gen Z ingin punya properti dan 9 persen bahkan mengaku sudah memiliki properti. Di antara mereka yang sudah punya properti, kebanyakan memilih lahan kosong dan rumah tapak.
Perlu diketahui bahwa survei Jakpat ini melibatkan Gen Z usia 15 - 26 tahun. Survei berlangsung pada 22 - 23 Mei 2023.
Senada, Jihansyah (26) mengaku sudah mulai mencicil rumah bersama pasangannya di Citayam, Bogor, Jawa Barat. Ia mengaku hal itu dia lakukan karena dirinya masih muda, sehingga ia merasa masih bisa banyak beraktivitas, baik untuk mencari tambahan biaya maupun tambahan tabungan.
“Itu jadi salah satu alasan kenapa kita mengambil rumah. Karena, kan nanti kalau mengambil rumah, apalagi sistemnya KPR [Kredit Pemilikan Rumah], kita juga harus mencicil setiap bulannya,” ungkapnya, saat ditemui Tirto, sepulang ia kerja, Senin (24/6/2024).
Jihan sendiri memilih rumah di Citayam lantaran dianggap sepadan, baik dari segi luas bangunan dan jarak tempuhnya ke tempat kerja. Jihan yang sehari-hari harus menempuh sekira 37 kilometer (km) untuk bekerja di daerah Tanjung Duren, Jakarta Barat, pun menilai akses rumah ke transportasi umum penting.
“Itu kan [rumahku] jatuhnya masih pinggir Jakarta ya. Apalagi kantor kita itu di Jakarta. Jadi itu salah satu faktor penting yang harus diperhatikan juga,” ujarnya.
Jika merujuk pada survei Jakpat, Jabodetabek memang diketahui menjadi kawasan impian Gen Z untuk membeli properti. Di samping Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, Jawa Barat juga tampak menarik perhatian Gen Z, dengan satu dari lima responden mengaku menyukai daerah itu.
Hasil jajak pendapat Jakpat senada dengan temuan 99 Group, sebuah perusahaan teknologi properti. Lokasi favorit Gen Z untuk punya rumah dikatakan masih terpusat di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Medan, Tangerang, dan Denpasar.
Kembali ke survei Jakpat, dari segi pertimbangan membeli properti, mayoritas Gen Z memandang properti sebagai investasi, di mana persentasenya menyentuh 75 persen. Selain itu, harga yang semakin mahal juga menjadi alasan mengapa generasi ini ingin mengantongi kepemilikan properti.
Fungsi lain seperti tempat tinggal (40 persen) dan kebutuhan bisnis (36 persen) juga menjadi alasan populer Gen Z berencana membeli properti. Ada juga Gen Z yang menyatakan bahwa ketersediaan lahan semakin menipis, sehingga mereka merasa perlu membeli properti.
Agak lain, survei 99 Group pada semester 1 2023 menunjukkan, hampir 67 persen Gen Z membeli rumah untuk tempat tinggal, mirip dengan Milenial sebesar 63,1 persen.
Namun impian semacam itu tak dimiliki semua Gen Z. Masih dari Jakpat, tidak sedikit Gen Z mengaku tak berandai-andai punya properti. Sejumlah 30 persen Gen Z diketahui tak memikirkan hal itu, dengan alasan mayoritas merasa finansialnya tidak stabil.
Alasan serupa turut dikemukakan Dhey dan Ajo Ramon. Dhey (26), yang baru saja keluar dari pekerjaannya dan kini menjadi freelancer di bidang desain, menyatakan baru akan beli rumah ketika pendapatannya mencapai sekira Rp15 juta per bulan, yang mana ditaksir baru akan tercapai dalam 10 - 15 tahun lagi.
“Pembayaran jangka panjang itu kan butuh kepastian, kepastian finansial, kepastian kondisi, bahkan kondisi ekonomi yang di luar kontrol kita, kayak misalnya ya kalau situasi ekonomi krisis, enggak tahu gimana nanti, apakah itu akan berimbas untuk pekerjaan kita, lalu kita jadi kehilangan kepastian yang sebelumnya udah kita punya, gitu,” ungkapnya lewat panggilan Zoom, Selasa (25/6/2024).
Ajo Ramon (26) juga menekankan pada pendapatan sebagai indikator kesiapannya mencicil rumah. Baginya, yang berencana berkarir di Jakarta, ia lebih memilih beli rumah untuk masa tua dibanding beli rumah saat ini dengan cicilan yang memakan waktu puluhan tahun.
“Dengan harga rumah [di Jakarta] yang udah nggak masuk akal, lebih baik aku beli rumah di daerah lain yang harganya lebih masuk akal,” ujar pegawai di institusi pemerintahan tersebut, Selasa (25/6/2024).
Tak seperti kebanyakan Gen Z, Dhey dan Ajo Ramon justru berencana membeli rumah di luar area Jabodetabek. Ajo Ramon memikirkan beberapa tempat, seperti Purwokerto, Malang, Wonosobo, Bukittinggi, atau Pontianak, dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut “ramah untuk lansia, masih banyak pertanian, serta maju dari segi fasilitas umum”.
Sewa Jadi Jalan Keluar Sementara
Bagi Gen Z yang merasa tidak terpikir untuk membeli rumah, menyewa menjadi jalan ninja mereka. Hal itu tergambar dari temuan Jakpat yang menyingkap kalau 3 dari 5 Gen Z memilih untuk sewa properti lantaran beberapa alasan.
Selain faktor uang yang dirasa belum cukup, menyewa juga dianggap lebih murah dan cenderung terletak di lokasi yang strategis. Bahkan ada sekitar 11 persen responden Gen Z yang mengatakan bahwa aturan rotasi di tempat kerjanya juga jadi pertimbangan mengapa opsi menyewa lebih baik.
Dhey, misalnya, bilang kalau secara hitung-hitungan per bulan, menyewa justru dianggap lebih worth it. Argumennya, banyak hal tak perlu menjadi urusan penyewa, melainkan akan ditangani oleh pemilik properti.
Di sisi lain, Dhey juga menggarisbawahi perihal nilai rumah itu sendiri. Menurutnya, membeli rumah dengan kredit artinya bunganya berjangka, di mana nilainya otomatis lebih mahal dari nominal yang dibeli sebelumnya.
“Lebih mahalnya itu yang enggak masuk akal gitu loh, dengan KPR. Makanya kayak, ketika KPR itu kan pelunasannya bisa satu dekade, dua dekade gitu lah, 10-20 tahun gitu. Itu pun bisa jadi orang-orang hanya baru melunaskan bunganya aja,” ungkap Dhey.
Dengan bayangan baru akan beli rumah dalam 15 tahun ke depan, Dhey beranggapan bahwa kini rumah terasa seperti barang mewah dan bisa dibilang tidak terjangkau.
“Affordable enggaknya itu bukan di nilai [harga rumah], tapi di kapan. Dan affordable menurutku adalah ya jangka waktu yang singkat. Misalnya 5 - 10 tahun itu affordable nggak. Kalau itu masih nggak tercapai berarti ya nggak affordable,” katanya.
Survei Jakpat menemukan bahwa durasi rata-rata Gen Z menyewa properti yakni 3,8 tahun. Di antara 355 responden yang tertarik atau sudah menyewa, sebanyak 43 persen mengaku menyewa untuk 1 - 3 tahun.
Sementara 13 persen lainnya bilang mereka menyewa selama 5 - 10 tahun, kemudian sebanyak 10 persen berencana menyewa untuk waktu yang sangat lama, yakni lebih dari 10 tahun.
Mengamati fenomena ini, pengamat bidang properti, Aleviery Akbar, menyinggung soal "lifetime rent" atau menyewa properti seumur hidup yang telah terjadi di beberapa kota besar dunia akibat tidak terjangkaunya harga properti.
“Benar sekali, menyewa properti dengan lokasi yang lebih strategis untuk menjangkau tempat kerja menjadi pilihan Gen Z dan Millenials saat ini,” ujarnya ketika dihubungi Tirto, Selasa (25/6/2024).
Riset Kantar yang dilakukan terhadap 10 ribu responden di berbagai negara pun menemukan bahwa semakin muda generasi, maka semakin besar persentasenya dalam menyewa rumah. Lebih detail, sebanyak 22 persen Boomers diketahui menyewa, ketimbang 43 persen Gen Z.
Sebaliknya, generasi tua disebut cenderung memiliki rumah, dan kepemilikan rumah menurun seiring bertambahnya usia. Tiga dari empat Generasi Baby Boomer memiliki rumah, dibandingkan dengan 2 dari 5 Gen Z.
“Tingkat keamanan finansial personal berperan dalam kemampuan seseorang membeli rumah, menyewa, atau tinggal bersama keluarga,” tulis Kantar di lamannya.
Rerata Gaji Gen Z Tidak Cukup untuk Beli Rumah?
Mimpi Gen Z punya rumah memang besar, tapi modal itu saja tidak cukup. Gen Z nyatanya dihadapkan pada realita kalau rerata pendapatan yang masuk ke kantong mereka tak sebanding dengan harga rumah yang terus melonjak.
Hal ini salah satunya tercermin dari angka Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) Bank Indonesia yang konsisten memperlihatkan grafik kenaikan dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Pada triwulan I 2024 misalnya, IHPR berada di angka 108,76, naik 1,89 persen year-on-year (yoy) dibanding tahun sebelumnya. Dalam periode ini, kenaikan harga properti diketahui terjadi di semua tipe rumah, yaitu pada tipe kecil yang meningkat sebesar 2,41 persen (yoy), dilanjut tipe menengah dan besar dengan kenaikan masing-masing 1,60 persen dan 1,53 persen (yoy).
Aleviery sebagai pengamat properti membenarkan bahwa faktor ekonomi menjadi hambatan utama bagi Gen Z dalam memiliki rumah. Ia menyoroti, adanya kesenjangan tinggi antara inflasi kenaikan harga rumah dengan kondisi rata-rata penghasilan yang diperoleh Gen Z saat ini.
“Mereka [Gen Z] masuk dunia kerja pada saat kondisi ekonomi sedang tidak baik-baik saja. Kesenjangan antara kenaikan harga rumah dan kenaikan pendapatan saat ini membuat mereka kesulitan menabung untuk uang muka rumah dan mengakses pinjaman bank. Ini yang membuat membeli rumah untuk saat ini menjadi tidak realistis bagi mereka,” kata Aleviery lagi.
Meski begitu, Aleviery mengungkap, masih ada kesempatan bagi Gen Z untuk dapat membeli rumah, asal mau menurunkan ekspektasi mereka untuk mendapatkan rumah dengan fasilitas dan infrastruktur lengkap. Ia menyarankan, jika masih ingin memiliki rumah, Gen Z dapat melirik rumah di kawasan penyangga Jakarta yang memiliki harga yang lebih terjangkau dengan rentang Rp200-300 juta.
Menurutnya, jika mengacu pada prinsip pengeluaran cicilan rumah tidak lebih dari 30 persen dari pendapatan/gaji, dan asumsi rata-rata gaji yang didapatkan Gen Z adalah sebesar Rp5-7 juta, mereka masih bisa menjangkau rumah dengan kisaran Rp200-300 juta di wilayah tersebut.
“Dengan asumsi suku bunga untuk 3 tahun pertama sebesar 6.5 persen maka cicilan perbulan Rp1,4 juta, kemudian tahun ke 4 dan seterusnya sebesar Rp2,1 juta/bulan dengan lama pinjaman 20 tahun. Jika mengacu pada prinsip pengeluaran cicilan rumah tidak lebih 30 persen dari pendapatan/gaji, maka skema ini akan cocok untuk Gen-Z dan Millennial,” katanya.
Meski begitu, skema tersebut bisa berjalan jika asumsi rata-rata gaji yang didapatkan Gen Z sebesar Rp5-7 juta per bulan seperti yang diungkap Aviery. Masalahnya, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus 2023, rerata Gen Z di Indonesia hanya mengantongi gaji bersih tak sampai Rp3 juta.
Lebih spesifik untuk kelompok usia 15 - 19 tahun, rata-rata gaji per bulan yang didapatkan hanya sekitar Rp1,8 juta, sementara kelompok umur 20 - 24 tahun sejumlah Rp2,4 juta. Kemudian mereka yang berada di usia 25 - 29 tahun rata-rata pendapatannya sekira Rp2,9 juta.
Meski semakin tua generasi, makin tinggi upahnya, masih merujuk pada data BPS, rerata gaji setiap kelompok umur diketahui tak ada yang menyentuh angka Rp5 juta.
Apabila melongok tren selama 5 tahun, yakni dari 2019 sampai 2023, rerata pendapatan Gen Z tercatat hanya mengalami kenaikan sebesar 5 - 11 persen. Untuk rentang usia 15 - 19 tahun, pada 2019, rata-rata gajinya berada di kisaran Rp1,7 juta, sedangkan kelompok umur 20 - 24 yakni Rp2,2 juta.
Tirto mencoba menelusuri harga rumah di sekitar kawasan Jakarta dan wilayah penyangganya yaitu kawasan Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi yang dirangkum dalam laporan riset perusahaan teknologi properti 99 Group edisi Juni 2024.
Dengan mengambil contoh harga rumah dengan luas kurang dari 60 meter persegi, laporan itu mengungkap median harga rumah di kawasan Jabodetabek saat ini berada di kisaran Rp500 juta hingga Rp1,19 miliar.
Jakarta Utara dan Jakarta Barat menjadi wilayah di Jabodetabek dengan rata-rata median harga rumah tertinggi dengan nilai masing-masing Rp1,52 miliar dan Rp1,19 miliar. Sementara itu, median harga rumah di kawasan penyangga Jakarta seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek) berada di kisaran Rp500-850 juta.
Bogor menjadi wilayah penyangga dengan nilai median rumah terendah dengan Rp500 juta dan Tangerang menjadi wilayah penyangga dengan nilai median rumah tertinggi dengan Rp850 juta.
Terdapat tren kenaikan median harga rumah di wilayah Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Bogor, Tangerang dan Bekasi dalam periode tiga tahun terakhir (2022-2024). Tercatat, nilai inflasi kenaikan harga rumah di Jakarta Barat menjadi yang tertinggi di tingkat nasional dengan kenaikan 42,4 persen (yoy) dibanding tahun sebelumnya.
Sebagai informasi, median harga rumah yang digunakan dalam riset tersebut diambil dari 300.000 sampel rumah bekas yang ada di platform penjualan properti Rumah123 dan 99.co, yang berada dibawah naungan 99 Group, per Mei 2024.
Tidak ditemukan median harga rumah dengan kisaran Rp200-300 juta di wilayah Jabodetabek. Meski begitu, kami coba menelusuri secara manual iklan hunian di laman rumah123.com untuk mencari rumah dengan kisaran harga tersebut di wilayah Jabodetabek.
Tirto memang masih menemukan sejumlah rumah yang masih dijual dengan rentang harga tersebut. Salah satunya, rumah dengan luas tanah 72 meter persegi di Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor, yang berjarak sekitar 38 km dari Jakarta yang dijual dengan harga Rp205 juta.
Kemudian, kami mencoba menghitung kalkulasi cicilan KPR dari rumah tersebut melalui sistem simulasi KPR yang tersedia di laman rumah123.com. Melalui sistem simulasi tersebut, kami mendapatkan gambaran bahwa pembeli harus membayarkan uang muka sebesar 20 persen dari total harga rumah yaitu senilai Rp41 juta.
Selanjutnya, terdapat pilihan jangka waktu cicilan KPR yang akan dijalankan, kami memilih simulasi cicilan selama 15 tahun. Hasilnya, dengan asumsi suku bunga di tahun ke-1 sebesar 1,11 persen, harga cicilan KPR yang harus dibayarkan setiap bulan adalah Rp989.485.
Jika merujuk pada prinsip cicilan rumah ideal yang dirilis OJK, yaitu sekitar 30-35 persen dari total gaji bulanan. Maka, cicilan rumah tersebut masih belum ideal bagi mayoritas Gen Z yang memiliki rata-rata gaji di kisaran Rp1,8 juta - Rp2,9 juta.
Lalu, apa solusi yang harus dilakukan pemerintah dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah bagi kalangan Gen Z?
Pemerintah Perlu Lakukan Gebrakan untuk Penyediaan Rumah bagi Anak Muda
Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (APERSI), Junaidi Abdillah, mengungkap, pihaknya mendesak pemerintah untuk memberikan gebrakan terhadap solusi penyediaan rumah di kalangan anak muda, termasuk Gen Z.
Terkait hal ini, ia mewakili APERSI mengusulkan pemerintah untuk memfasilitasi pembelian rumah dengan skema pembiayaan “sewa-beli” (rent to own) demi lebih menjangkau kalangan Gen Z.
Menurutnya, skema rent to own dianggap bisa menjadi solusi dari permasalahan kepemilikan rumah di kalangan Gen Z, terutama terkait permasalahan finansial seperti ketidakmampuan membayar DP dan cicilan hingga permasalahan kesulitan dalam mengakses pinjaman bank.
Dalam praktiknya, skema ini menawarkan konsep kepemilikan rumah dengan menggunakan sistem sewa terlebih dahulu dalam jangka waktu tertentu. Nantinya, uang sewa tersebut dapat diakumulasikan menjadi deposit atau uang muka dari pembelian properti tersebut. Dengan demikian, pada masa akhir sewa, si penyewa dapat membeli properti tersebut.
Skema ini sebenarnya telah lama didorong Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Namun, penerapan sistem ini dianggap masih terkendala sejumlah persoalan, salah satunya menyangkut siapa agregator atau entitas penjamin dari aset hunian yang akan disewabelikan.
“Tinggal nanti pemerintah membentuk lembaga penjamin seperti adanya lembaga agregator,” kata Junaidi, saat dihubungi Tirto, Rabu (26/6/2024)
Seperti yang diketahui, akhir-akhir ini pemerintah sempat mewacanakan program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP No.25/2020 tentang Penyelenggaraan Tapera.
Pengamat properti, Aleviery Akbar, menilai, meski diwarnai pro-kontra dan berbagai hambatan dalam pelaksanaannya terdahulu, program Tapera sebenarnya bisa menjadi solusi dari permasalahan kepemilikan rumah di kalangan Gen Z.
Menurut Aleviery, konsep program Tapera bisa sangat membantu pekerja dengan pendapatan rendah dibawah Rp8 juta per bulan seperti yang dialami oleh rata-rata Gen Z untuk bisa memiliki rumah. Ia mengungkap, sejumlah kelebihan dari program ini mulai dari suku bunga yang relatif rendah hingga fasilitas pinjaman untuk renovasi rumah.
“Tapera sebenarnya sangat membantu untuk pekerja dengan pendapatan rendah. Suku bunga pinjaman yang ditawarkan tetap 5 persen dengan tenor 10-20 tahun itu relatif lebih rendah dibandingkan dengan suku bunga bank di pasar saat ini yang mana untuk tiga tahun pertama sebesar 3-8 persen kemudian tahun keempat sampai tahun berikutnya selama masa pinjaman bisa mengambang sampai 10-12 persen,” katanya.
Meski begitu, ia mengakui masih banyak keraguan di tengah masyarakat akan program ini. Hal ini disebabkan, banyaknya kendala dari implementasi program yang telah lebih dahulu dilaksanakan bagi para Aparatur Sipil Negara (ASN) ini, seperti ketidaksiapan pemerintah dalam menyediakan perumahan bagi peserta hingga lokasi perumahan yang tidak diminati.
“Tapera yang sudah berjalan melalui program yang diberlakukan bagi ASN masih banyak kendala, seperti ketidaksiapan pemerintah untuk menyediakan perumahan bagi peserta disamping lokasi rumah yang banyak tidak diminati oleh peserta karena jauh dari tempat mereka bekerja walaupun sudah mendapatkan hak untuk mendapatkan jatah rumah,” imbuh Aviery.
Dari perspektif Gen Z, Dhey bilang, ia merasa program Tapera tidak akan terlalu membantu. Program itu disebut hanya menyuruh warga menabung, tapi secara hitung-hitungan tidak akan mendapat apa-apa.
“Kayak Tapera dan segala macam, yang sebenarnya juga nggak menjamin apa-apa, hanya menjamin janjinya aja. Tapi yang dibutuhin adalah ketersediaan kepastian dari propertinya itu sendiri. Kenapa rumah sekarang mahal, karena kan ketersediaannya terbatas. Sementara kepemilikan properti itu banyak dipegang oleh yg memang kelas menengah ke atas, dan itu nggak dibatasi gitu lho,” katanya mengakhiri percakapan.
==
Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Decode, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.
Editor: Farida Susanty