tirto.id - Argumentasi para pendiri bangsa untuk menempatkan ajaran syariat Islam sebagai dasar negara awalnya berbeda-beda. Kendati demikian, mereka akhirnya sepakat mengubah bunyi sila pertama menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa", yang sebelumnya berbunyi "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Perumusan dasar negara Indonesia secara umum tidak lepas dari pembentukan Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan tersebut dibentuk pada masa pendudukan Jepang, sebagai upaya awal mempersiapkan kemerdekaan.
Jepang membentuk badan tersebut pada 29 April 1945, dengan nama Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, atas izin Panglima Letnan Jenderal Kumakichi Harada. Dari segi pembagian tugas, BPUPKI terbagi menjadi dua, yakni badan meliputi Badan Perundingan (Badan Persidangan) dan Kantor Tata Usaha (sekretaris).
BPUPKI diketuai Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, didampingi Ichibangase Yosio dan Raden Pandji Soeroso selaku wakil ketua.
Argumentasi Pendiri Bangsa tentang Dasar Negara
Selama berdirinya, BPUPKI hanya mengadakan dua kali sidang. Yang pertama digelar pada 29 Mei-1 Juni 1945, membahas dasar negara, sedangkan sidang kedua diadakan pada 10-17 Juli 1945, membahas Rancangan Undang-Undang Dasar.
Sidang BPUPKI pertama berlangsung di Gedung Cuo Sangi In (sekarang Gedung Pancasila), Jalan Taman Pejambon, Jakarta Pusat.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa sidang itu berlangsung selama empat hari. Total terdapat 33 orang anggota BPUPKI menyampaikan pidato, dengan rincian: 11 orang pada 29 Mei, 10 orang pada 30 mei, 6 orang pada 31 Mei, dan 5 orang pada 1 Juni.
Selain berdiskusi secara lisan, para anggota BPUPKI juga diminta membuat usulan tertulis untuk diserahkan ke kantor tata usaha.
Dalam sidang BPUPKI pertama, setidaknya ada tiga pokok bahasan berkaitan dasar negara meliputi:
- Apakah Indonesia akan dijadikan sebagai negara kesatuan atau negara federal (bondstaat) atau negara perserikatan (statenbond)?
- Masalah hubungan agama dan negara.
- Apakah negara akan menjadi republik atau kerajaan?
Argumentasi pendiri bangsa tentang dasar negara cenderung berbeda-beda. Lantas, apakah yang menjadi perbedaan cara pandang para pendiri bangsa mengenai dasar negara di Indonesia?
Mohammad Yamin, Soepomo, dan Sukarno, punya pendapat berbeda tentang rumusan dasar negara.
Mohammad Yamin menyampaikan pidato pada 29 Mei tentang lima poin yang menjadi dasar pembentukan merdeka sebagai berikut:
- I Peri Kebangsaan
- II Peri Kemanusiaan
- III Peri Ketuhanan
- IV Peri Kerakyatan (masih dibagi menjadi permusyawaratan, perwakilan, dan kebijakan)
- V Kesejahteraan
Lima poin di atas disampaikan dalam pidatonya. Namun, selain itu, Mohammad Yamin ternyata membuat konsep tertulis tentang Indonesia merdeka. Isinya mencakup lima poin, meliputi:
- Ketuhanan Yang Maha Esa
- Kebangsaan persatuan Indonesia
- Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sementara itu, Soepomo menyampaikan pidatonya pada 31 Mei 1945. Abdul Waidl, dkk dalam buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk SMA/SMK Kelas X (2021) menuliskan bahwa Nugroho Notosusanto menafsirkan pidato Soepomo dalam 5 dasar negara merdeka sebagai berikut:
- Persatuan
- Kekeluargaan
- Keseimbangan lahir dan batin
- Musyawarah
- Keadilan rakyat
Tokoh penting lain yang tak luput menyampaikan pidatonya adalah Sukarno. Ia berpidato di hari terakhir sidang pertama, 1 Juni 1945. Sukarno secara tersirat memberikan respons terhadap pendapat tokoh lain, khususnya yang disampaikan Soepomo tentang hukum internasional, bahwa syarat negara merdeka adalah bumi, rakyat, dan pemerintah.
Sukarno juga menyampaikan pentingnya philosophische grondslag (fundamen) bagi berdirinya negara. Lebih lanjut, Sukarno menyampaikan dasar negara Indonesia sebagai berikut:
- Pertama, Kebangsaan Indonesia
- Kedua, Internasionalisme atau peri-kemanusiaan
- Ketiga, mufakat atau demokrasi
- Keempat, Kesejahteran sosial
- Kelima, Ketuhanan yang berkebudayaan
Bagaimana Argumentasi Para Pendiri Bangsa tentang Hubungan Agama dan Negara?
Setelah sidang pertama diselenggarakan, sejumlah anggota BPUPKI mengadakan pertemuan. Hasilnya adalah pembentukan Panitia Delapan dan Panitia Sembilan. Panitia Sembilan kemudian mengadakan rapat pada 22 Juni 1945 untuk membahas dasar negara.
Pokok pikiran hasil sidang pertama BPUPKI dikaji lebih mendalam oleh Panitia Sembilan. Topik yang menjadi pembahasan paling alot adalah soal hubungan agama dan negara. Sejumlah usulan dari anggota untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara mendapatkan sanggahan.
Namun, pada akhirnya tercipta Piagam Jakarta dengan isi sebagai berikut:
- Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya;
- Kemanusiaan yang adil dan beradab;
- Persatuan Indonesia;
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan;
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hasil keputusan Panitia Sembilan di atas selanjutnya dilaporkan ke seluruh anggota BPUPKI pada 22 Juni 1945. Setelah dianggap menyelesaikan tugasnya, BPUPKI dibubarkan pada 7 Agustus 1945.
Agenda berikutnya adalah membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 9 Agustus 1945. Puncaknya, Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Akan tetapi, pembahasan Piagam Jakarta ternyata belum rampung. Dalam Mohammad Hatta Memoir (1979), Mohammad Hatta, pada sore, 17 Agustus 1945, kedatangan seorang opsir angkatan laut Jepang (Kaigun) yang berkuasa di wilayah Indonesia timur dan Kalimantan.
“Opsir itu, yang aku lupa namanya, datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan sungguh, bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik, yang (tinggal di wilayah yang) dikuasai Kaigun, berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam pembukaan Undang-undang Dasar, yang berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Menanggapi persoalan terkait bunyi sila pertama Piagam Jakarta, Sukarno mengundang Singodimedjo pada 18 Agustus 1945 untuk berdiskusi bersama Hatta dan beberapa tokoh lain.
Kendati demikian, Sukarno tidak datang dalam pertemuan tersebut. Pertemuan terbatas sebelum dilaksanakan Sidang PPKI pertama ini dihadiri Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Teuku Hasan dari Sumatera.
Salah satu topik utama pembahasan dalam rapat tersebut adalah pengubahan kalimat dalam sila pertama.
Ki Bagus Hadikusumo, yang berasal dari kalangan Islam, keukeuh untuk mempertahankan sila pertama dengan bunyi yang sesuai dengan syariat Islam. Namun, Sukarno sebelumnya juga telah mengurus Teuku Mohammad Hasan untuk melunakan hati seniornya, Ki Bagus Hadikusumo.
Rapat terbatas tersebut sempat menemui kebuntuan, bahkan ada yang mengusulkan agar dilakukan voting. Namun, Abikoesno Tjokrosoejoso selaku wakil golongan Islam menilai itu tidak perlu karena, seperti kata Bung Karno, isi Piagam Jakarta, termasuk sila pertama, sudah merupakan hasil kompromi.
“Kalau tiap-tiap dari kita harus, misalnya, dari golongan Islam harus menyatakan pendirian, tentu saja kita menyatakan, sebagaimana harapan Tuan [Ki Bagus] Hadikusumo,” ucapnya, dikutip dari buku Piagam Jakarta (1981) karya Endang Saifuddin Anshari.
Kemudian adik kandung H.O.S. Tjokroaminoto menambahkan, “Tetapi kita sudah melakukan kompromi, sudah melakukan perdamaian.”
Perkataan Abikoesno membuat hati Ki Bagus Hadikusumo luluh. Orang yang kala itu menjabat sebagai Ketua Umum Muhammadiyah tersebut menerima keputusan bahwa dasar negara Indonesia adalah Pancasila, kendati hatinya tetap menginginkan persoalan agama ditempatkan sebagai sila pertama. Akhirnya, lima orang dalam sidang terbatas tersebut mencapai kata sepakat.
Meskipun berlangsung alot, rapat 15 menit ini berhasil menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Alasan utamanya adalah bahwa Republik Indonesia harus berdiri dengan menyertakan kawasan Indonesia timur, dan punya beragam pemeluk agama.
Perubahan yang disepakati adalah "Ketuhanan Yang Maha Esa", dari yang sebelumnya berbunyi "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Fadli Nasrudin