tirto.id - Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 28 Mei 1945 itu berlangsung alot. Ada pertarungan dua kubu besar mengenai dasar negara yang akan dipakai Indonesia setelah merdeka nanti.
Kubu agamais yang dimotori Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah dan kawan-kawan mendesak agar Islam dijadikan dasar negara Indonesia. Di sisi lain, golongan nasionalis tidak sepakat.
Perdebatan semakin seru dan tampaknya sukar menemukan jalan keluar. Dikutip dari Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 28 Mei 1945-22 Agustus 1945 (1995) terbitan Sekretariat Negara RI, Soepomo, salah seorang anggota BPUPKI, berkata tegas:
“Memang, di sini terlihat ada dua paham, ialah paham dari anggota-anggota ahli agama yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan Negara Islam, dan anjuran lain, sebagaimana yang telah dianjurkan oleh Tuan Moh. Hatta, ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan Islam, dengan lain perkataan: bukan negara Islam!”
Ki Bagus Hadikusumo dan kubunya tak juga setuju. Ia lalu memaparkan pentingnya negara Islam sebagai dasar negara Indonesia. Namun semua paparannya selalu mendapat bantahan. Sidang tampaknya bakal menemui kebuntuan. Hingga akhirnya Ki Bagus berdoa di depan para hadirin:
“Ya Allah, berikan kami petunjuk ke jalan yang benar, yaitu jalan yang telah Engkau beri nikmat dan bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai, bukan pula jalan orang-orang yang sesat.”
Murid Sang Pencerah
Ki Bagus Hadikusumo lahir di Kauman, Yogyakarta dengan nama Raden Hidayat pada 24 November 1890. Kauman adalah tempat lahirnya Muhammadiyah yang dicetuskan Kiai Haji Ahmad Dahlan pada 1912. Hidayat merupakan salah satu anak didik ulama besar berjuluk sang pencerah itu.
Keluarga Hidayat tinggal di lingkungan keraton. Ayahnya, Raden Kaji Lurah Hasyim, adalah pejabat istana untuk urusan agama (Islam). M. Yunan Yusuf dalam Ensiklopedi Muhammadiyah (2005) mengungkapkan, sejak kecil Hidayat memperoleh pendidikan agama dari orang tuanya dan para kiai di Yogyakarta.
Pendidikan formal yang ditempuh Hidayat hanya sampai sekolah dasar ongko loro selama tiga tahun. Selanjutnya, ia nyantri di beberapa pondok pesantren, dari Wonokromo di Surabaya hingga Pekalongan.
Saat Muhammadiyah dicetuskan pada 1912, Hidayat berusia 22. Ia menyaksikan sendiri bagaimana gurunya, K.H. Ahmad Dahlan, mendeklarasikan berdirinya perhimpunan yang kelak menjadi salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Kiprah Raden Hidayat atau yang kemudian dikenal dengan nama Ki Bagus Hadikusumo di Muhammadiyah cukup panjang. Dari kader biasa, lalu menempati posisi di kepengurusan pusat sebagai Ketua Majelis Tabligh, Ketua Majelis Tarjih, Wakil Ketua Pimpinan Pusat (PP), hingga terpilih menjadi Ketua Umum Muhammadiyah pada 1942.
Tapi Muhammadiyah bukan organisasi politik. Maka, untuk menyalurkan hasratnya di kancah politik, pada 1938 Ki Bagus Hadikusumo turut menggagas dibentuknya Partai Islam Indonesia (PII). Pada masa pendudukan Jepang Ki Bagus ikut mendirikan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada 1943 di Yogyakarta.
Sri Indra Gayatri dalam Sejarah Pemikiran Indonesia: 1945-1966 (2007) menuliskan, Ki Bagus Hadikusumo yang mewakili Muhammadiyah duduk sebagai salah satu ketua Masyumi, sedangkan ketua umumnya adalah K.H. Hasyim Asy’ari dari Nahdlatul Ulama (NU).
Islam sebagai Dasar Negara
Upaya Ki Bagus Hadikusumo dalam memperjuangkan syariat Islam dalam kehidupan bernegara bukan hanya dilakukan saat menjelang kemerdekaan Indonesia. Jauh sebelum itu, pada era kolonial Belanda, ia sudah melakukannya.
Ki Bagus Hadikusumo adalah anggota Priesterraden Commissie yang dibentuk pemerintah kolonial pada 1922. Dikutip dari Majalah Suara Muhammadiyah (2005), lembaga ini diadakan dengan tujuan untuk memperbaiki peradilan agama.
Melalui komisi ini, Ki Bagus memperjuangkan agar pengadilan, termasuk dalam memutus perkara yang berhubungan dengan masalah hak waris, menggunakan hukum Islam, bukan hukum adat. Namun pemerintah kolonial menolak usulan itu.
Ketika terbuka peluang Indonesia merdeka pada 1945, Ki Bagus tentu saja menginginkan negara baru nanti berlandaskan ajaran Islam. Baginya, dalam membentuk negara hendaknya mengikuti cara-cara yang pernah dilakukan Nabi Muhammad.
Buku Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 (2004) yang disusun Ananda B. Kusuma menukil pidato Ki Bagus Hadikusumo dalam Sidang BPUPKI tanggal 28 Mei 1945 mengenai hal ini. Di depan peserta sidang, Ki Bagus berkata:
“Bagaimanakah dan dengan pedoman apakah para Nabi itu mengajar dan memimpin umatnya dalam menyusun negara dan masyarakat yang baik? Baiklah, saya terangkan dengan tegas dan jelas, ialah dengan bersendi ajaran agama.”
Islam, lanjut Ki Bagus Hadikusumo, mengajarkan empat perkara, yakni iman, ibadah, amal saleh, dan berjihad di jalan Allah. Apabila keempat ajaran ini diterapkan dengan sungguh-sungguh di Indonesia, maka, kata Ki Bagus, “[...] alangkah sentosa, bahagia, makmur, dan sejahteranya negara kita ini.”
Kendati begitu, negara berdasarkan Islam ala Ki Bagus bukan berarti meniadakan kemajemukan. Ia menekankan, manusia tidak bisa hidup sendiri, harus bermasyarakat. Wakil-wakil rakyat, ucapnya, harus mengabdi dengan ikhlas, bersih dari sifat tamak, serta tidak mementingkan diri dan golongan sendiri.
Di akhir pidatonya, Ki Bagus Hadikusumo berseru, “Agama Islam membentuk potensi kebangsaan lahir dan batin, serta menabur semangat kemerdekaan yang menyala-nyala. Jadikan Islam sebagai asas dan sendi negara!”
Kandasnya Cita-Cita Negara Islam
Meskipun tidak dilibatkan dalam keanggotaan Panitia Sembilan yang dibentuk untuk mematangkan dasar negara pada 22 Juni 1945, Ki Bagus turut mengajukan usul. Ia dan beberapa tokoh Islam lainnya mengusulkan agar kata-kata “bagi pemeluk-pemeluknya” pada sila pertama dihapuskan.
Namun, Sukarno tak setuju. Sila pertama tetap berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Bung Karno, karena hal itu merupakan hasil kesepakatan golongan Islam dan Nasionalis.
Pada 7 Agustus 1945 BPUPKI diganti menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dipimpin Sukarno. Dalam sidang yang membahas Pembukaan UUD 1945, Ki Bagus mengusulkan agar kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” disertakan.
Namun, semua paparan dan usulan Ki Bagus tentang negara Islam selalu kandas. Maka, Sukarno dan Mohammad Hatta mengutus Teuku Mohammad Hassan, tokoh Islam sekaligus kader Muhammadiyah yang dekat dengan Ki Bagus, untuk melunakkan hati seniornya itu.
Kendati sedikit melunak setelah berbincang dengan Teuku Mohammad Hassan, Ki Bagus sebenarnya belum sepenuhnya merelakan bahwa yang dijadikan dasar negara bukan Islam.
Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, tanggal 18 Agustus 1945, Hatta mengumpulkan tokoh-tokoh Islam, termasuk Ki Bagus. Hatta menegaskan bahwa dasar negara adalah Pancasila karena Indonesia terdiri dari berbagai macam kemajemukan.
Sempat terjadi kebuntuan dalam sidang dan diusulkan agar dilakukan voting. Namun, salah satu wakil golongan Islam, Abikoesno Tjokrosoejoso, justru menilai itu tidak perlu karena, seperti kata Bung Karno, isi Piagam Jakarta, termasuk sila pertama, sudah merupakan hasil kompromi.
“Kalau tiap-tiap dari kita harus, misalnya, dari golongan Islam harus menyatakan pendirian, tentu saja kita menyatakan, sebagaimana harapan Tuan [Ki Bagus] Hadikusumo,” ucapnya, dikutip dari buku Piagam Jakarta (1981) karya Endang Saifuddin Anshari.
“Tetapi kita sudah melakukan kompromi, sudah melakukan perdamaian,” imbuh Abikoesno yang tidak lain adalah adik kandung pemimpin Sarekat Islam (SI), H.O.S. Tjokroaminoto.
Apa yang dikatakan Abikoesno membuat hati Ki Bagus Hadikusumo luluh dan menerima keputusan bahwa dasar negara Indonesia adalah Pancasila. Namun Ki Bagus menginginkan persoalan agama ditempatkan sebagai sila pertama. Dan akhirnya, Pancasila sila pertama diresmikan dengan bunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Kandasnya cita-cita menerapkan Islam sebagai dasar negara tidak lantas membuat Ki Bagus mengingkari komitmen berbangsa dan bernegara. Selama masa perang mempertahankan kemerdekaan seiring kembali masuknya Belanda, ia dan santri-santrinya turut berjuang dengan membentuk Angkatan Perang Sabil.
Ki Bagus Hadikusumo menjabat sebagai Ketua Umum Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. Pada 4 November 1954, ia meninggal dunia di Jakarta dalam usia 63 dan dikebumikan di tanah kelahirannya, Yogyakarta.
==========
Sepanjang Ramadan hingga lebaran, kami menyuguhkan artikel-artikel yang mengetengahkan pemikiran para cendekiawan Muslim Indonesia di paruh pertama abad ke-20. Kami percaya bahwa pemikiran mereka telah berjasa membentuk gagasan tentang Indonesia dan berkontribusi penting bagi peradaban Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Al-Ilmu Nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".
Editor: Ivan Aulia Ahsan