tirto.id - 21 Mei 1998 dikenang sebagai titik penting perjalanan demokrasi di Indonesia. Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia, yang telah ia emban selama 32 tahun. Pidato pengunduran diri disampaikan di Istana Negara pada pukul 09.00 WIB. Wakil Presiden B. J. Habibie langsung disumpah sebagai presiden saat itu juga. Sejak hari itu, Indonesia memasuki era baru.
Peristiwa ini dikenal dengan nama: Reformasi. 21 Mei 1998 tentu bukan peristiwa yang terjadi dalam satu malam. Sejumlah peristiwa sejarah mengiringi momen tersebut. Pada 12 Mei 1998, empat mahasiswa Universitas Trisakti meninggal dunia, puluhan lain mengalami kekerasan, diterjang peluru aparat dalam demonstrasi yang mereka lakukan di halaman kampus.
Di tengah tumpahnya air mata karena gugurnya empat pahlawan pejuang reformasi tersebut, semangat untuk perubahan justru menemukan momentumnya. Ribuan mahasiswa, bersama elemen masyarakat sipil lain yang terdiri dari buruh, aktivis pro-demokrasi, dan LSM dari berbagai penjuru negeri, mulai bergerak menuju pusat kekuasaan: Gedung DPR/MPR RI.
Di tangan mereka lahir enam tuntutan, yang kemudian menjadi fondasi gerakan Reformasi 1998. Enam tuntutan tersebut adalah: adili Soeharto dan kroni-kroninya, laksanakan amandemen UUD 1945, hapuskan dwi fungsi ABRI, laksanakan otonomi daerah, tegakkan supremasi hukum, dan ciptakan pemerintah yang bersih dari KKN.
Salah satu tuntutan tersebut, yaitu soal penghapusan dwi fungsi ABRI, menghendaki pengembalian militer ke barak. Namun, dua dekade lebih berselang, ruang publik kita kembali diwarnai oleh kehadiran militer. Setelah 27 tahun reformasi berlalu, apakah proses demiliterisasi yang dulu diperjuangkan kini berjalan mundur?

Jejak Dwifungsi ABRI
Dwifungsi ABRI merupakan doktrin militer Indonesia yang menyatakan bahwa angkatan bersenjata tidak hanya berperan dalam bidang pertahanan negara, tetapi juga memiliki fungsi sosial-politik.
Pada era Orde Baru, di bawah rezim Soeharto, dwifungsi ABRI dilembagakan secara sistematis, memungkinkan militer menempati jabatan strategis dalam eksekutif, legislatif, dan berbagai sektor pemerintahan.
Seperti disebutkan Tim Imparsial dalam Internal Militer: Problem Tugas Perbantuan TNI (2019), misalnya pada 1970, sebanyak 92 persen gubernur di Indonesia dijabat oleh anggota militer. Kemudian, di tahun 1973, sebanyak 400 anggota militer dikaryakan di tingkat pusat, dengan 13 orang menduduki jabatan menteri, serta 22 dari 27 gubernur di Indonesia dijabat oleh militer.
Lantas, pasca Pemilu 1987, sebanyak 80 persen anggota DPR berasal dari Fraksi ABRI, dan sebanyak 34 perwira senior menjadi anggota DPR melalui Fraksi Golkar. Lalu, sebanyak 120 anggota militer terpilih sebagai pimpinan Golkar daerah, dan hampir 70 persen wakil daerah dalam kongres nasional Golkar berasal dari militer. Jumlah fraksi ABRI di DPR juga meningkat dari 75 menjadi 100.

Saat reformasi 1998 bergulir, salah satu tuntutan yang kencang disuarakan kelompok pro-demokrasi adalah pencabutan Dwifungsi ABRI. Terpilihnya Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai presiden membuat tuntutan itu cepat dikabulkan lewat sejumlah keputusan.
Dalam masa jabatannya yang sangat pendek (1999–2001), karena keburu dilengserkan, pemerintahan Gus Dur melakukan sejumlah reformasi TNI. Polri dipisahkan dari TNI. Doktrin Dwifungsi ABRI dicabut, yang implementasinya melepaskan peran sosial-politik TNI.
Setahun sebelum menjadi presiden, Gus Dur telah menjelentrehkan pelbagai bahaya dari kondisi di lapangan mengenai pelaksanaan Dwifungsi ABRI.
Menurut Gus Dur, “Dalam memandang perannya ini, timbul perasaan superior di kalangan militer yang melihat bahwa dwifungsi adalah alat untuk mencampuri urusan segala pihak tanpa terbendung. Dalam pandangan mereka, orang sipil seolah-olah tak mempunyai hak untuk menentukan segala sesuatu tanpa seizin militer.”
Pandangan seperti ini, imbuh Gus Dur, pada akhirnya mematahkan segala usulan alternatif dari sipil dalam pelbagai keputusan karena akan selalu dikalahkan oleh alternatif dari militer.
Lebih lanjut ia menerangkan, pandangan kedua yang timbul di kalangan militer akibat perasaan superior ini adalah selalu menganggap sipil sebagai elemen yang tak becus mengurus dirinya sendiri, tak pandai mengambil keputusan karena pertentangan yang terkatung-katung.
Tugas Militer Kini Bertambah
Dua puluh tujuh tahun setelah reformasi berlalu, kekhawatiran masyarakat akan kembalinya militer masuk ke ruang-ruang sipil kembali muncul. Jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada 17–20 Maret 2025 menunjukkan sebanyak 68,6 persen responden menyatakan khawatir ada potensi tumpang tindih kewenangan ketika TNI masuk ke lembaga sipil.
Survei tersebut merekam bahwa kekhawatiran paling tinggi ditunjukkan oleh responden dengan pendidikan tinggi, yang mencapai angka 81,5 persen. Sebaliknya, di kalangan responden berpendidikan dasar, kekhawatiran adanya tumpang tindih ketika anggota TNI masuk ke lembaga sipil berada di angka 64,5 persen.
Lebih lanjut, temuan survei itu mengungkap bahwa kekhawatiran responden tersebut didasari oleh paparan informasi dan derajat pengetahuan terkait isu pengesahan UU TNI yang saat itu sedang bergulir. Apalagi, jika ditarik dalam konteks sejarah, sangat mungkin ada trauma terulangnya pendekatan militer secara masif, sebagaimana terjadi semasa Orde Baru.
Temuan lain membeberkan bahwa sebanyak 46,8 persen responden menilai kemungkinan TNI masuk ke dalam institusi sipil akan mengganggu demokrasi. Sebanyak 72,8 persen responden berlatar pendidikan tinggi menilai masuknya anggota TNI ke ranah sipil akan mengganggu jalannya demokrasi.

Dalam beberapa waktu terakhir, TNI memang seakan dilibatkan dalam beragam hal di luar tugas militer, mulai dari menduduki jabatan sipil, persoalan pendidikan, hingga urusan pertanian dan farmasi. Sebagai informasi, UU TNI baru saja disahkan oleh DPR pada akhir Maret lalu. Sejumlah poin substansi dalam Undang-Undang tersebut menjadi sorotan publik.
Pertama, soal penambahan tugas pokok TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Kedua, perubahan penempatan prajurit TNI di kementerian dan lembaga yang semula 10 menjadi 14, berdasarkan permintaan dan kebutuhan pimpinan kementerian/lembaga.
Berdasarkan penelusuran Tirto pada Februari 2025, sejumlah nama prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil di luar lembaga yang ditetapkan oleh Undang-Undang TNI. Misalnya, Mayor Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet, Mayjen Maryono sebagai Inspektur Jenderal Kementerian Perhubungan, Mayjen Irham Waroihan sebagai Irjen Kementerian Pertanian, dan Laksamana Pertama Ian Heriyawan di Badan Penyelenggara Haji.
Catatan lain dari Imparsial menyebut, ada 2.569 prajurit TNI aktif yang menduduki jabatan sipil pada 2023. Sebanyak 29 perwira aktif menduduki jabatan sipil di luar lembaga yang ditetapkan oleh Undang-Undang TNI.
Belum lagi pelibatan TNI dalam tugas-tugas yang dianggap bukan pada bidangnya. Salah satu yang menyorot perhatian masyarakat adalah pelibatan TNI dalam mendidik anak-anak nakal untuk digembleng di barak militer. Gagasan ini dicetuskan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi.
Dedi mengungkapkan bahwa tiap siswa akan mengikuti program itu di sekitar 30 hingga 40 barak khusus yang telah disiapkan oleh TNI. Peserta program dipilih berdasarkan kesepakatan antara sekolah dan orang tua, dan akan berlangsung selama enam bulan.
Dedi mengatakan akan memprioritaskan siswa yang sulit dibina atau terindikasi terlibat dalam pergaulan bebas maupun tindakan kriminal.
“Selama enam bulan siswa akan dibina di barak dan tidak mengikuti sekolah formal. TNI yang akan menjemput langsung siswa ke rumah untuk dibina karakter dan perilakunya,” kata Dedi dalam keterangan di Bandung, Minggu (27/4/2025).
Soal ini, Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat, Brigjen Wahyu Yudhayana, menyatakan bahwa TNI memastikan pengiriman siswa-siswa yang masuk dalam kategori nakal itu akan dikoordinasikan dan dilakukan sesuai kesepakatan dengan orang tua.
“Untuk mekanisme penentuan siswa yang akan dikirim, tentunya sesuai yang disampaikan oleh Gubernur Jabar, yaitu dipilih berdasarkan kesepakatan antara sekolah dan orang tua, dengan prioritas pada siswa yang terlibat tawuran, terlibat geng motor, dan siswa yang orang tuanya sudah tidak mampu lagi untuk mendidik secara etika dan perilaku,” ucap Kadispenad, Brigjen TNI Wahyu Yudhayana, kepada reporter Tirto, Selasa (29/4/2025).
Pelibatan TNI juga terlihat dalam bidang pertanian dan pangan, di antaranya dalam sejumlah proyek lumbung pangan seperti food estate dan cetak sawah.
Pada Oktober 2024 lalu, Wakil Menteri Pertanian, Sudaryono, mengungkapkan bahwa kementeriannya akan melibatkan satu batalion TNI dalam program cetak sawah. Satuan TNI yang dimaksud adalah Batalyon Infanteri (Yonif) atau Yonif Penyangga Daerah Rawan.
“Ada, bahkan di TNI sendiri itu dibentuk satuan namanya Batalion Penyangga Daerah Rawan. Jadi, memang dipastikan untuk memastikan program-program pertanian kami jalan,” kata Sudaryono di Kompleks Istana Kepresidenan, Senin (28/10/2024).
Sudaryono menjelaskan bahwa pelibatan TNI dalam program cetak sawah telah dimulai di sejumlah daerah di Papua. Pelibatan TNI itu pun akan dilakukan di daerah lain yang menjadi sasaran program.
“Ada beberapa di Merauke sudah [dilakukan]. Kalau tidak salah, ya, dalam proses dan mau jadi. Dan nanti di daerah di rawa, seperti di Sumatera Selatan, juga sedang dalam rencana dan seterusnya,” kata dia.
Terbaru, TNI AL juga terlibat dalam sejumlah strategi untuk mendukung swasembada pangan kedelai dalam tiga tahun ke depan. Hal ini diklaim merupakan bagian dari program ketahanan pangan TNI AL yang menjadi tindak lanjut dari Asta Cita Presiden RI dan Perpres No. 81 Tahun 2024 tentang pemanfaatan sumber daya lokal untuk ketahanan pangan nasional.
Tak hanya itu, wacana keterlibatan TNI dalam bidang farmasi juga menuai sorotan. Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin, mengatakan bahwa TNI akan membangun pabrik farmasi untuk memproduksi obat guna mendukung gerai apotek Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih.
“Kami sudah mulai berinteraksi dengan negara-negara sahabat mengenai farmasi. Kita tahu harga obat di Indonesia tinggi sekali. Kami juga sudah melakukan revitalisasi laboratorium farmasi yang ada di angkatan, menjadi satu pabrik farmasi obat pertahanan negara,” kata Sjafrie dalam rapat, Rabu (30/4/2025).
Amanat Reformasi Belum Benar-Benar Terlaksana
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menjelaskan bahwa penghapusan dwifungsi ABRI, seperti yang diamanatkan dalam reformasi, terdiri dari dua konstruksi. Pertama, penghapusan peran-peran militer dari ruang sipil, serta penghapusan komando teritorial di berbagai wilayah, termasuk penghapusan kekaryaannya.
Menurut Isnur, aspek pertama ini tak benar-benar terlaksana sampai saat ini. Ia mencontohkan bahwa selama masa reformasi, komando teritorial masih ada, mulai dari Koramil, Kodim, hingga Korem. Jadi, strukturnya tidak berubah seperti pada masa Orde Baru.
Kedua, ia juga menyoroti reformasi keamanan di bidang peradilan militer. Sampai sekarang, mandat Undang-Undang TNI yang mengamanatkan bahwa anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum diadili di peradilan umum belum dilaksanakan.
“Jadi sebenarnya (reformasi) masih jauh dari api,” ujarnya.
Peneliti HAM dan sektor keamanan dari SETARA Institute, Ikhsan Yosarie, menyebut bahwa pengesahan Revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI (RUU TNI) menjadi UU TNI memberi legitimasi atas perluasan keterlibatan militer dalam ranah sipil, baik melalui OMSP maupun jabatan sipil.
“Bahkan ruang check and balance pelaksanaan OMSP yang semula melibatkan DPR melalui kebijakan dan keputusan negara, justru berganti dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden. Akibatnya, peran pengawasan DPR dalam pelaksanaan OMSP semakin lemah,” ujarnya kepada Tirto, Selasa (20/5/2025).

Ikhsan menjelaskan bahwa dalam berbagai literatur yang mengulas militer di era Orde Baru, Jenderal A. H. Nasution merumuskan dwifungsi dalam kerangka ketika ABRI menjalankan fungsi konvensionalnya, di samping juga mengemban fungsi pembinaan wilayah atau masyarakat, baik dalam rangka ketahanan/pertahanan nasional maupun pembangunan nasional.
“Mengacu kerangka konseptual tersebut, maka justifikasi pemerintah-DPR bahwa revisi UU TNI tidak akan mengembalikan dwifungsi menjadi tidak valid dan tidak berdasar. Sebab, muatan-muatan tertentu dalam revisi UU TNI justru membuka ruang keterlibatan militer lebih luas di wilayah sipil,” ujarnya.
Lebih jauh ia menjelaskan, pasca reformasi, penempatan prajurit TNI pada berbagai ranah sipil masih terjadi, meskipun tidak berada pada eskalasi yang sama dengan Orde Baru. Dengan rangkaian pelibatan militer ke ranah sipil yang terjadi akhir-akhir ini, menurutnya perbedaan utama antara Orde Baru dan Reformasi dalam konteks dwifungsi hanyalah keberadaan Fraksi ABRI di parlemen.
“Ketika Orde Baru, dwifungsi merupakan implementasi dan aktualisasi doktrin maupun regulasi terkait. Namun sebaliknya, dwifungsi pada era reformasi justru merupakan bentuk hilangnya spirit dan amanat reformasi TNI,” ujarnya.
Terpisah, Wakil Direktur Imparsial, Husein Ahmad, menilai bahwa dalam konteks kondisi Indonesia saat ini, dwifungsi TNI bukan lagi menjadi ancaman, melainkan sudah menjadi kenyataan.
“Nah, itu sebetulnya menunjukkan semua bukan lagi gejala dwifungsi. Tetapi memang dwifungsi sudah kembali,” sambungnya.
Husein menambahkan bahwa reformasi keamanan, yang merupakan salah satu amanat reformasi, praktis telah berhenti sejak era kepemimpinan Presiden Jokowi periode pertama. Saat itu, Jokowi dianggap membuka kembali ruang masuk militer untuk mengurus berbagai hal.
“Misalnya dengan adanya amanat untuk restrukturisasi komando teritorial, seperti Kodam, Korem, Koramil, sampai Babinsa. Itu amanat reformasi tidak dilakukan, yang dilakukan justru adalah menambah strukturnya,” ujarnya.
Hal ini berlanjut pada masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Menurut Husein, indikasi dwifungsi yang terjadi saat ini justru lebih terang-terangan dibandingkan periode sebelumnya. Hal ini, misalnya, terlihat dalam kasus penunjukan perwira TNI aktif menjadi direksi BUMN.
“Kalau sebelumnya seolah-olah tertutup gitu, walaupun orang juga bisa lihat. Tapi hari ini itu secara terang-benderang, dan bahkan melanggar aturan yang mereka telah atur sendiri,” ujarnya.
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Anggun P Situmorang
Masuk tirto.id


































