Menuju konten utama

Al Araf Bicara Pemakzulan Gibran, UU TNI, dan Wajah Militer Kini

Isu pemakzulan Gibran Rakabuming, UU TNI dan kondisi militer ramai diperbincangkan. Kami turut mengemasnya dalam wawancara khusus. Simak selengkapnya.

Al Araf Bicara Pemakzulan Gibran, UU TNI, dan Wajah Militer Kini
Header Wansus FYP Al Araf. tirto.id/Tino

tirto.id - Manuver purnawirawan TNI yang hendak memakzulkan Gibran Rakabuming Raka dari kursi wakil presiden mengundang pertanyaan dari publik. Titik awal gejolak pemakzulan ini pun menjadi perbincangan hangat di publik.

Bersama Pengamat Militer cum Ketua Centra Initiative, Al Araf, Tirto berdiskusi mengenai keinginan para purnawirawan memakzulkan Gibran, hingga dinamika di internal TNI.

Selain itu, bersama Al Araf, diskusi juga membahas mengenai revisi Undang-undang tentang Perubahan UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang kini telah sah menjadi undang-undang. Al Araf mengungkap kekhawatirannya, UU TNI terbaru menjadi pintu kembali menuju dwifungsi TNI seperti di era Orde Baru.

Simak wawancara khusus Tirto dan Al Araf berikut ini:

Dalam beberapa waktu ini, muncul surat yang berisi tuntutan dari sejumlah purnawirawan yang meminta Presiden Prabowo Subianto, salah satunya untuk memakzulkan wakilnya, Gibran Rakabuming Raka. Mas Al Araf melihatnya seperti apa?

Ya ini dinamika politik dalam kehidupan demokrasi, memang selalu membuka ruang kepada berbagai kelompok untuk menyampaikan pandangannya. Jadi apa yang dilakukan purnawirawan itu adalah aspirasi mereka, bagian dari kebebasan mereka untuk menyampaikan pandangan-pandangan mereka tentang realitas politik dan demokrasi yang ada. Jadi secara kondisional dan secara hukum itu sah, dan diperbolehkan.

Walaupun kemudian menjadi kontroversi ketika menggunakan embel-embel purnawirawan TNI, yang kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah ini menunjukkan politik TNI baru dalam era baru yang menginginkan agar kemudian delapan tuntutan itu dipenuhi, ataukah ini sesungguhnya hanya representasi sebagian atau segelintir kelompok dalam purnawirawan TNI yang ingin menyampaikan pandangan-pandangan tentang politik dan demokrasi gitu. Karena setelahnya kan kemudian ada Pepabri, ada yang membuat tandingan.

Artinya ada dinamika dalam purnawirawan yang memiliki pandangan politik yang beragam dalam melihat dinamika demokrasi dan politik. Jadi buat saya ini sesuatu yang sah-sah saja dan diperbolehkan saja. Itu yang pertama, yang kedua kalau kita lihat dalam, dinamika sejarah Indonesia, petisi-petisi semacam ini kan juga pernah terjadi walaupun kemudian itu beragam ya. Tidak hanya purnawirawan, misalkan ada petisi 50 tahun 80-an, yang motori oleh Jenderal AH Nasution, pada waktu itu, kemudian Ali Sadikin.

Tapi juga ada tokoh-tokoh sipil yang mengkritik rezim pemerintahan Soeharto, karena mempersonifikasi Pancasila terhadap dirinya. Bagi mereka yang mengkritik Soeharto dianggap mengkritik ideologi Pancasila, khususnya kelompok-kelompok lawan politiknya. Jadi ada soal dalam sejarah Indonesia, juga pernah ada petisi seperti ini yang disampaikan oleh tokoh-tokoh.

Jadi ini adalah sesuatu yang biasa saja gitu. Persoalannya kita adalah bagaimana kita melihat substansi dari beberapa petisi, 8 petisi tersebut yang disampaikan. Apakah memiliki argumentasi yang cukup kuat dan merepresentasikan publik? Ataukah tidak memiliki landasan yang cukup kuat. Sangat tergantung dari dinamika yang ada dan perspektif kita dalam melihat 8 tuntutan itu.

Jadi buat saya ini sesuatu yang normal dalam negara demokrasi dan sesuatu yang biasa saja. Walau memang nanti polemiknya adalah apakah bagaimana dengan soal esprit de corps, relasi dengan TNI-nya gitu. Apakah akan menarik TNI di dalam pertarungan antar purnawirawan ini. Yang satu mendukung pemerintah, yang satu mengkritisi pemerintah khususnya dalam konteks Gibran gitu ya. Apakah akan berpengaruh pada institusi TNI? Nah ini tentu akan menjadi pertanyaan buat publik.

Tapi buat saya sih sepertinya organisasi TNI hari ini, akan selalu tunduk terhadap, pimpinannya dalam hal ini Panglima TNI, kepala staf dan juga mungkin presiden itu sendiri gitu. Sulit menemukan dinamika relasi antar purnawirawan dengan TNI aktif dalam kontestasi politik yang seperti ini. Karena kan sangat beragam ya.

Purnawirawannya ada yang pro dan kontra, sehingga di dalam TNI sulit untuk menarik. Kecuali kalau di dalam Purnawirawan satu suara itu, bulat, bahwa itu agak mengkhawatirkan dinamikanya, apakah akan menarik TNI juga ke dalam dunia politik Indonesia.

Mengapa purnawirawan TNI masih menggunakan embel-embel militer dalam menyuarakan aspirasinya?

Mungkin kita perlu tanya ke mereka paling memungkinkan. Tapi, ya mungkin biar lebih keren. Mungkin biar lebih bombastis. Biar ada efek domino yang terlihat lebih besar di ruang publik. Kalau cuma nama doang kan, ini siapa nih? Misalnya namanya Soeharto, siapa itu? Atau Sunarko, bukan orang-orang yang dikenal. Mungkin kalau ada nama purnawirawan TNI itu lebih punya power, kira-kira gitu. Walau sebenarnya sih dinamika seperti ini akhirnya menimbulkan ruang-ruang aksi dan reaksi dalam politik di dalam tubuh purnawirawan.

Karena mereka menggunakan embel purnawirawan, akhirnya Pepabri juga melaksanakan konferensi pers. Ini sudah kayak gayung bersambut. Akhirnya orang menanyakan komunitas purnawirawan yang mana nih yang sebenarnya. Apakah ini yang melakukan perlawanan atau mendukung pemerintah, mungkin sebaiknya dinamika seperti ini, harus lebih dilihat dalam konteks korektif, bahwa ada dinamika kritis begitu di dalam masyarakat. Terutama dalam masyarakat melihat persoalan-persoalan demokrasi di Indonesia.

Terlepas perdebatan soal tuntutan pemakzulan Gibran, namun Presiden Prabowo memberikan atensi khusus terkait permintaan para purnawirawan. Bagaimana Anda melihatnya?

Mungkin Pak Prabowo juga sebagai punawirawan merasa perlu mendengarkan mereka sebagai punawirawan ya. Mungkin juga, apa namanya ini juga disampaikan oleh orang-orang yang cukup memiliki ketokohan di dalam TNI. Ada Jenderal Try Sutrisno yang pernah menjabat sebagai wapres, ada mantan kepala staf angkatan udara, ada mantan kepala staf angkatan darat, ada Danko-danko (komanda satuan), sehingga Prabowo perlu menyikapi persoalan ini karena mungkin khawatir gelombang ini menjadi lebih besar ke ranah ruang publik. Nanti bukan hanya punawirawan, mungkin masyarakat juga akan memiliki cara pandang yang sama.

Sehingga Prabowo mencoba meredam dengan cara merespons ini. Walau respons Pak Prabowo tidak cukup tegas terkait dengan tuntutan-tuntutan itu ya. Agak-agak ngambang-ngambang bersayap-sayap lah. Mungkin nggak enak sama purnawirawannya kalau menolak, kalau menerima nggak enak sama Gibrannya.

Akhirnya dia bingung ya dibuat ngambang. Tapi menurut saya kegamangan ini menunjukkan mungkin ada hal-hal yang dipertimbangkan oleh Prabowo. Dari petisi itu bisa diterima tapi dalam beberapa hal mungkin tidak bisa diterima atau nggak bisa diterima semuanya, tapi nggak enak ngomongnya di publik. Jadi buat saya tidak ada sikap yang cukup tegas dalam konteks kemarin.

Apakah Anda melihat tuntutan para purnawirawan tersebut memiliki dampak atau bahaya terhadap kedaulatan Indonesia, terlebih para purnawirawan masih memiliki hubungan atau pengaruh kepada pasukan TNI yang aktif saat ini?

Kalau ke TNI saya rasa agak susah, karena seperti yang tadi saya sampaikan, ini ada faksionalisasi di dalam tubuh purnawirawan karena mereka nggak menyatu. Kalau dia satu bulat begitu, kita pantas mengkhawatirkan. Ini kan yang satu mendukung pemerintah dalam konteksnya memberi masukan (pemakzulan Gibran), nah dinamikan-dinamika tuntutan seperti dalam konteks pemakzulan wakil presiden atau presiden itu bukan hanya terjadi pada hari ini saja.

Sejak reformasi dahulu, sudah terjadi, misalnya saat Budiono menjadi wapresnya SBY, karena skandal Bank Century hampir setiap hari orang-orang menuntut Budiono mundur dari wapres. Sesuatu yang biasa saja, dan akhirnya tetap landing dengan baik Budiono, sampai akhir masa jabatannya.

Sekarang gilirannya Gibran. Meski, yang menyuarakan penurunan TNI itu adalah purnawirawan, tapi menurut saya juga itu sesuatu yang biasa-biasa saja begitu, publik menganggap memiliki penilaian tersendiri terhadap Gibran tentang pemakzulan.

Idenya tetap melalui jalan yang konstitusional melalui MPR dan lain sebagainya, tidak mengeksplesitkan secara tegas, akan menurunkan Gibran dengan cara kudeta, kan tidak begitu. Tetapi dengan jalan MPR, konstitusi dan lain sebagainya. Jadi masih normal-normal saja menurut saya tuntutan itu, dan dalam politik Indonesia pernah terjadi berulang kali, bukan hanya wakil presiden tapi juga pernah dialami oleh Presiden di era Abdurrahman Wahid jatuh dan diganti oleh Megawati.

Jadi hal yang biasa terjadi dalam politik Indonesia, bahwa dalam dinamika politik Indonesia publik menuntut presiden turun ataupun wakil presiden turun. Tinggal sesungguhnya bagaimana merespons ini dengan lebih baik saja.

Apa yang harus dilakukan Gibran agar tuntutan pemakzulannya dapat segera diredam?

Problemnya memang ada persoalan sejak putusan MK 90, sehingga kemudian ada persoalan masa lalu yang akan selalu diusik oleh ruang publik. Terkait, dengan dinamika politik kekuasaan yang dianggap melakukan intervensi dalam ruang mahkamah konstitusi. Sehingga kemudian ada persoalan masa lalu yang akan selalu diusik oleh ruang publik begitu, terkait dinamika yang dianggap melakukan intervensi melalui ruang mahkamah konstitusi, terkait dengan batas umur.

Sehingga kemudian memberi jalan buat Gibran, untuk menjadi wakil presiden, jadi rekayasa terhadap persoalan ini menjadi beban bagi dia secara terus menerus, sehingga respons-respons dan alasan untuk mengkritisi Gibran akan terus terjadi, karena ada beban di masa lalu.

Kedua, dalam konteks kekinian, tentu dengan beban seperti akan berat bagi dia untuk membangun trust di ruang publik sebagai seorang wakil presiden, apalagi dengan kewenangan yang terbatas. Karena kewenangannya paling hanya membantu sebagian kecil tugas presiden, sebagian besar kewenangan ada pada presiden, sehingga eksistensinya tidak cukup terlihat. Yang kita lihat cuma memberikan makan siang gratis, datang ke sekolah dan sebagai, ditambah lagi mengajar AI.

Akhirnya orang menganggap ini nggak cukup kuat. Ketiga, adalah pemaksaan dalam ruang politik dinasti, dalam konteks Jokowi, Gibran dan keluarganya memang menjadi soal serius dalam demokrasi di Indonesia. Karena publik pasti tidak suka ruang-ruang yang pada akhirnya melihat kok politik di Indonesia terkesan menjadi politik keluarga.

Ruang politik dinasti ini juga menjadi perhatian dan pembicaraan di banyak kalangan dan kelompok jadi ini terkesan kemudian ada pemaksaan dalam ruang itu. Apalagi, Gibran masih sangat muda, seharusnya cukup menjadi wali kota di Solo. Kemudian kalau mau maju di Gubernur DKI, terlalu tinggi kalau langsung lompat menjadi wakil.

Jadi ruang politik keluarga ini akan selalu dibicarakan dan didiskusikan dalam ruang publik. Dan ini menjadi sesuatu yang tidak baik dalam demokrasi di Indonesia ke depan. Apalagi dengan adanya putusan MK 90. Jadi kalau kemudian akan menjadi target sasaran bagi publik terutama purnawirawan itu adalah sesuatu yang pasti terjadi, tapi seharusnya lebih sabar. Karena kalau orang sudah menikmati kekuasaan itu nggak mau sabar.

Mungkin karena sudah merasakan nikmatnya kekuasaan, akhirnya nggak mau turun. Tapi masalahnya dampak politiknya menjadi tidak sehat, demokrasi menjadi tidak sehat, karena ruang dinasti ruang politik.

Apakah ada nasihat lain untuk Gibran, seperti perbaikan komunikasi atau pendekatan ke purnawirawan, sehingga isu pemakzulan tidak perlu menjadi keributan di publik?

Komunikasi harus dilakukan. Kalau Anda seorang pemimpin, seorang wakil presiden, dikritik oleh siapapun ya bangun ruang komunikasi. Ketimbang mengkriminalisasi lebih baik mengkomunikasikan, dan mereka juga manusia, para purnawirawan yang punya cara pandang dalam demokrasi. Buat saya, kalau sebagai nasihat lebih baik diterima mereka untuk diajak ruang diskusi, dialog, itu akan jauh lebih baik dan berdiskusi, berdebat, secara rasional tentang hal itu.

Soalnya kemudian, Gibran mau nggak (untuk diajak berdiskusi)? Mau nggak purnawirannya? Dua PR itu. Tapi buat saya, selalu ada ruang diskusi, ruang dialog, dalam demokrasi, nah itu kelebihannya demokrasi. Soalnya kemudian aktor-aktor yang bertikai mau nggak membuat ruang dialog dalam demokrasi. Ibarat kata, mau tidur pun apa pun mau makan, kepikiran, tentang itu. Apalagi publik, keras kritik terhadap hal itu.

Mengapa para purnawirawan baru mengkritik Gibran dan putusan 90 baru-baru ini setelah pelantikan? Mengapa purnawirawan tidak dari dulu saat proses persidangan di MK berlangsung?

Pak Jokowi waktu itu masih jadi presiden, sekarang kan sudah nggak jadi presiden, jadi sudah nggak ngeri-ngeri sedap mungkin. Padahal, pakar tata negara, masyarakat sipil, akademisi sudah mengkritik dari jauh-jauh hari. Tapi kayaknya bukan hanya soal putusan 90 tapi ada anggapan bahwa Gibran belum pantas, belum kompeten, masih terlalu muda dengan membandingkan sejarah mereka dulu ikut Akmil dari tahun 65-70.

Maksudnya, para purnawirawan dipaksa untuk harus menghormati dia (Gibran) anak muda yang masih belum menunjukkan jasanya. Sehingga ada persoalan kepantasan yang juga dinilai bukan hanya putusan 90, dan soal-soal lain yang entahlah soal apa itu.

Buat saya sih, kenapa sekarang? mungkin mereka, takut Jokowi itu presiden dulu. Dan kenapa sekarang, mereka khawatir kalau kemudian Prabowo pergi, misalnya ke luar negeri atau ada kondisi-kondisi buruk, kemudian Indonesia dipimpin oleh dia lalu kemudian muncul pertanyaan apakah bisa atau kekhawatiran lainnya. Tetapi saya lebih memandang, politik keluarga dalam politik Indonesia ini sesuatu yang nggak boleh.

Sebagian orang yang mengkritik, purnawirawan ini sedang mencari panggung politik, salah satu dari mereka yaitu Fachrul Rozi adalah bagian dari Timnas Amin di masa Pilpres 2024 lalu. Apakah itu murni atau ada kepentingan lain?

Persoalan kita adalah apakah substansial di dalam tuntutan itu. Saya termasuk orang yang tidak setuju untuk kembali ke Undang-undang Dasar, karena buat saya kembali ke Undang-undang Dasar sama saja mengembalikan Indonesia ke era masa lalu, di mana kita hidup di ruang negara yang integralistik yang cenderung dalam ruang-ruang otoritarian.

Dan dalam ruang-ruang kembali ke Undang-undang Dasar itu akan banyak hal yang menjadi tidak relevan. Misalnya keberadaan Mahkamah Konstitusi itu nggak ada. Apakah kita akan meniadakan Mahkamah Konstitusi dan mekanisme pemilihan umum dan apakah kemudian dikembalikan ke MPR.

Sementara demokrasi langsung adalah sesuatu yang baik, walau saya bisa memahami ada kritik terhadap dinamika demokrasi langsung oleh Pemilu. Karena ternyata fakta politik Pemilu yang terjadi seringkali menggunakan mekanisme kekuatan uang atau infrastruktur gitu dan juga aktor-aktor pertahanan keamanan dalam kontestasi pelaksanaan Pemilu.

Gibran Rakabuming Raka

Tangkapan Layar - Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam video Generasi Muda, Bonus Demografi dan Masa Depan Indonesia. (Youtube/Gibran Rakabuming)

Itu kan yang terjadi kemarin gitu. Dan di 2029 andaikan kemudian pertarungan menggunakan tiga level ini, yaitu uang, infrastruktur, negara dan juga aktor-aktor pertahanan keamanan, maka selesailah Prabowo masuk ke putaran kedua. Kita punya PR besar untuk perbaikan tata sistem Pemilu.

Bagaimana kemudian tidak terjadi ruang seperti ini lagi, benar-benar mekanisme free election, mekanisme luber (langsung, umum, bebas, rahasia) terjadi. Karena kalau dinamika politik Pemilu lebih didominasi oleh politik uang dan politik kekuasaan dengan menggunakan infrastruktur dan aktor-aktornya, kita tidak akan beranjak dalam dinamika demokrasi yang sehat.

Yang terjadi kalau demokrasi tidak baik, ekonominya biasanya ruwet. Buat saya ini PR, yang jauh lebih penting, bagaimana tata sistem elektoral itu harus diperbaiki. Supaya tidak ada potensi-potensi penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan plus uang di dalam pertarungan politik elektoral. Walau sebagian orang menganggap sulit sekali menghindari politik uang dalam Pemilu, pemenang Pemilu apalagi Pilpres gitu. Karena seperti kayak banjir bandang kalau politik Pemilu Pilpres gitu.

Tanpa pengawasan saya rasa demokrasi akan mengalami mati suri. Oleh karena itu, peran-peran kelompok masyarakat sipil menjadi sangat penting. Apalagi di tengah DPR yang mengalami kemandulan karena berada dalam kontrol pemerintah. Sebagian berada dalam koalisi pemerintah, nggak mau jadi oposisi gitu, ini walaupun dalam konteks PDIP, berada dalam konteks kekuasaan termasuk saat penyusunan UU TNI.

Artinya saya melihat parlemen kita mengalami stagnasi karena sebagian besar berada dalam kendali presiden. Selama mahasiswa masih ada, gerakan mahasiswa masih hidup, demokrasi tetap akan berjalan sehat. Walau ada upaya-upaya untuk melakukan kooptasi terhadap mahasiswa, tapi buat saya gerakan mahasiswa adalah satu instrumen politik penyimbang yang sangat dibutuhkan buat demokrasi di Indonesia ke depan.

Selain media, akademisi, ataupun aktivis, masyarakat sipil, percayalah demokrasi ini nggak berjalan baik kalau kekuatan masyarakat sipilnya tidak membangun sebagai kekuatan penyimbang. Jadi, hari ini Indonesia sangat membutuhkan civil society yang kuat di dalam melakukan pengawasan.

Salah satu poin dari tuntutan para purnawirawan adalah berkaitan dengan pengembalian UUD 1945, apakah hal itu baik bagi demokrasi? Apakah ada kekhawatiran jika Indonesia akan mengembalikan dwifungsi TNI seperti di era Orde Baru?

Saya tidak tahu persis apa rasionalitas kembali ke UU Dasar itu, tapi mungkin ada keresahan di mereka melihat politik dan demokrasi yang cenderung didominasi oleh politik uang. Tapi kan bukan berarti kita lari ke masa lalu. Yang harus kita lakukan adalah memperbaiki tata sistem elektoral. Bukan kembali ke undang-undang dasar. Karena memang partai politik belum bisa menjadi agregasi kepentingan rakyat. Partai politik terjebak dalam ruang oligarki yang kemudian menikmati politik kekuasan hanya untuk dirinya dan kompoknya.

Dia belum sanggup untuk menjadi representasi atau menjadi wadah aspirasi ruang rakyat. Yang kemudian akhirnya sistem politik pemilihnya dianggap penuh dengan money politic, penuh dengan penyalahgunaan. Lalu muncul ide kembali ke undang-undang dasar dengan mungkin alasan high cost. Padahal enggak juga.

Saya tidak memahami rasionalitas mereka apa, tapi mungkin ada kritik mereka terhadap dinamika politik saat ini yang membuat pilihannya kembali ke undang-undang dasar. Tapi buat saya, kritik terhadap dinamika politik demokrasi yang berjalan memang sangat relevan. Karena Indonesia hari ini dianggap mengalami regresi demokrasi, kebuntuan demokrasi, mengalami penyempitan ruang kebebasan sipil, dan lain sebagainya tadi. Tapi bukan berarti kita harus balik ke Undang-Undang Dasar 45. Itu masuk, keluar dari mulut buaya, masuk ke mulut singa gitu. Oleh karena itu, jangan gitu. Kita harus memperbaiki tata elektoralnya, bukan kembali ke Undang-undang Dasar 1945.

Sebagai orang yang pernah diajak diskusi perihal pembentukan revisi UU TNI, apa kepentingan mendasar bagi TNI sehingga aturan perundangan ini harus direvisi. Dan kenapa hal ini harus diributkan masyarakat?

Orang menganggap Undang-undang TNI ada kepentingan para jenderal untuk memperpanjang pensiun mereka. Perwira menengah mengalami ruang yang sempit untuk berkarir. Karena harus menunggu lama di dalam proses berkarir untuk menjadi orang jenderal. Nah, undang-undang TNI dianggap lebih banyak dominannya terkait dengan persoalan isu pensiun tadi.

Ada kepentingan untuk memperpanjang menjadi Panglima TNI atau menjadi kepala staf. Dan buat saya itu sah-sah saja karena memang ada perpanjangan di situ. Apalagi untuk Panglima TNI boleh diperpanjang dua periode. Melalui keputusan presiden ini syaratnya.

Nah, sehingga dianggap ada kepentingan, dominan-dominan tinggi TNI saat ini terkait undang-undang TNI. Dan itu relevan kritik itu. Jadi dalam proses pembahasan di luar itu, publik dan masyarakat menganggap undang-undang TNI sepatutnya tidak dibahas secara terburu-buru. Karena kemarin terlihat terburu-buru.

Ruang-ruang kritik yang disampaikan oleh publik, baik di luar parlemen atau di dalam parlemen ketika pertemuan-pertemuan dengan mereka, itu kan sebenarnya belum final. Masih ada beberapa catatan. Hal-hal yang prinsipil masih belum tuntas. Misalkan terkait dengan pengerahan operasi militer selain perang. Yang di dalam undang-undang TNI yang baru ini itu seolah-olah memberikan cek kosong kepada militer untuk masuk di dalam operasi di dalam negeri dalam mengatasi persoalan di masyarakat.

Yang operasi selain perangnya itu bisa beragam macam. Mulai mengatasi konflik, pemberontakan, membantu pemerintah daerah, mengatasi terorisme, dan beberapa lainnya. Nah, masyarakat menganggap ini akan memberikan ruang militer masuk jauh ke wilayah sipil.

Dalam bahasa keren studi keamanannya disebut sekuritisasi. Jadi sering akan ada terjadi ruang sekuritisasi akibat dampak undang-undang TNI ini. Akhirnya apa? TNI terlibat ngurusin makan siang bergizi gratis. Jadi ada praktik-praktik selama ini yang salah dan keliru. Di mana militer masuk ke dalam wilayah sipil. Padahal menurut undang-undang TNI kalau pengen masuk ke wilayah sipil dalam operasi selain perang itu harus melalui keputusan politik negara di Undang-undang TNI yang lama.

Di undang-undang TNI yang baru tidak perlu keputusan politik negara. Sehingga cek kosong gitu. Mereka hanya masuk saja. Nanti akan diatur lewat PP dan Perpresnya entah kapan tuh PP, Perpres dibentuknya. Masih cek kosong. Nah ini hal yang keliru dan salah.

Harusnya kalau militer itu ingin dilibatkan menghadapi masyarakatnya sendiri, dia harus melalui keputusan politik negara. Dipertegas dalam undang-undang TNI. Ya ini keputusan presiden dengan pertimbangan DPR. Kenapa? Karena di dalam pasal 7 ayat 2 nya untuk operasi perang menghadapi negara lain itu hanya bisa dilakukan melalui keputusan politik negara.

Jadi logikanya mau membunuh warga negara lain di luar negeri atau mau berhadapan dengan masyarakat lain di luar negeri itu anda harus melalui keputusan presiden dengan DPR. Apalagi kalau pengen menghadapi masyarakatnya sendiri. Pasti juga perlu pertimbangan DPR dan keputusan presiden dong. Logikanya kan begitu. Untuk operasi menghadapi perang di dalam pasal 7 ayat 2 harus melalui keputusan politik negara, presiden dan DPR.

Tapi untuk operasi selain perang dalam menghadapi masyarakatnya sendiri tidak perlu melalui keputusan politik negara. Itu kan aneh untuk menghadapi warga atau musuh di luar aja. Harus melalui keputusan presiden DPR. Masa untuk menghadapi masyarakatnya? Anda nggak mengatur lebih ketat. Harusnya jauh lebih ketat dong. Kenapa? Karena dia instrumen penggunaan senjata koersif yang memiliki penggunaan kekerasan.

Harusnya dia hanya untuk menghadapi eksternal. Nah ini ketika menghadapi internal maka anda harus membatasi. Supaya apa? Supaya tidak terjadi pelanggaran hal. Ini malah dikasih cek kosong. Itu yang saya nggak habis pikir dengan logika DPR dan pemerintah. Makanya walaupun ada pertemuan tadi saya bilang nggak bisa operasi selain perang harus keputusan presiden.

Tanpa itu kita akan memberikan uang cek kosong. Apa yang terjadi? Legalisasi terhadap praktek-praktek selama ini yang salah dan keliru. Militer terlibat dalam operasi cetak sawah. Untuk apa? Makan gizi gratis kemudian. Menangani proyek strategis nasional seperti di Rempang atau beberapa lainnya. Lalu kemudian terlibat beberapa kasus penanganan narkoba.

Yang terbaru adalah masuk ke kampus UI untuk memantau mahasiswa UI. Ini kan hal yang keliru gitu. Kenapa ini keliru? Karena tadi dikasih cek kosong di dalam menunggang Undang-undang TNI 34 Tahun 2004.

Nah, sudah kemarin keliru, sekarang dilegalisasi gitu. Dengan ngasih cek kosong tadi itu. Ini bahaya serius buat demokrasi. Ini akan mengembalikan ruang militer yang besar dalam kehidupan sipil. Sementara mas, kita ini rindu tentang tentara yang profesional. Tentara yang kuat yang perspektifnya jangan inward looking tapi outward looking. Ya, nggak melihat ke dalam mulu tapi melihatnya keluar dong. Karena tugas militer itu harusnya menjaga kedaulatan negara. Dia perspektifnya outward looking.

Kalau militer melihat ke dalam terus makanya cendungnya berpolitik. Cenderungnya dia akan terlibat dalam ruang politik. Karena dia ikut cawe-cawe terhadap urusan di dalam, proyek-proyek di dalam dan sebagainya. Sementara tentara yang profesional, militer yang kuat, dia melihatnya outward looking.

Bagaimana persoalan konflik Laut Cina selatan, bagaimana persoalan perbatasan. Nah paradigma kita perspektifnya masih inward looking, belum outward looking. Padahal kita ingin tentara yang kuat, tentara yang profesional. Kita semua, mas, saya, semuanya disini bayar pajak.

Salah satu pajak kita untuk APBN. APBN digunakan buat belanja alutsista. Belanja alutsista untuk belanja apa? Beli kapal selam, beli tank, beli pesawat jet tempur. Untuk apa tuh? Jet tempur, tank, dan lain sebagainya. Apa untuk cetak sawah? Enggak. Buat jaga kedaulatan. Dari apa? Dari kemungkinan Australia menyerang Indonesia. Dari kemungkinan perang dengan Tiongkok. Dari kemungkinan perang dengan Malaysia. Karena persoalan konflik Ambalat. Kita punya persoalan konflik dengan Malaysia loh terkait Ambalat. Dan sampai sekarang belum selesai.

Kita juga punya persoalan terkait dengan konflik Cina Selatan. Dalam konteks ke depan ini bagaimana. Jadi kita punya banyak persoalan perbatasan dengan wilayah tetangga kita. Kapasitas pertahanan kita harus ditingkatkan ke sana. Jadi kalau kita ingin menata militer, kita harus ingin menata militer mau kemana? Profesional. Profesional itu apa? Harus well paid, well trained, well equipped, well educated.

Tentaranya harus sejahtera, tentaranya harus modern, tentaranya harus terdidik, dan tentaranya harus terlatih. Itu yang kita inginkan. Supaya apa? Supaya mereka siap untuk perang.

Karena hakikat militer itu dilatih dan didik, dipersiapkan untuk perang. Kita harus mengarahkan ke sana. Maka ketika kita membayar pajak, masyarakat membayar pajak, APBN, membelikan mereka persenjataan, kita senang dan bangga kalau mereka punya kekuatan modernisasi alutsista yang kuat.

Punya tank, punya jet tempur, punya kapal selang, dan lain sebagainya. Sekarang faktanya modernisasi alutsista kita tertatih-tatih gitu. 50 persen berdasarkan data buku postur pertahanan, kementerian pertahanan, 50 persen kekuatan laut dan udara kita itu tidak layak. Artinya alutsista kita memprihatinkan untuk kondisi angkatan udara dan angkatan laut.

Kesejahteraan prajurit kita jauh dari ideal. Saya selalu bilang, tidak mungkin membangun tentara yang profesional tanpa prajurit yang sejahtera. Kenapa? Kalau mereka tidak sejahtera, tidak dipenuhi kebutuhannya. Akhirnya mereka selesai kerja, kita ngurusin kerjaan tempat lain dan sebagainya. Yang akhirnya mereka nggak fokus gitu.

Kita harus membangun kesejahteraan mereka supaya mereka memiliki rumah dinas yang layak. Sekarang kan masih banyak yang tinggal di kos-kosan, di mana mengontrolnya susah, tersebar-sebar. Kalau di negara lain mereka ditempatkan di barak. Jadi barak tentaranya dibangun yang baik.

Bagaimana membangun gajinya mereka, tunjangan pendidikan buat anak-anaknya dan lain sebagainya. Jadi kesejahteraan prajurit menjadi hal yang penting. Kebetulan karena saya anak kolong, jadi saya merasakan bagaimana sulitnya jadi anak prajurit. Mau kuliah aja susah gitu. Banyak teman-teman saya yang juga susah sebagai anak kolong. Mau kuliah susah. Kenapa? Karena bapaknya nggak punya duit, karena kesejahteraan prajurit terbatas.

Negara kemana? Mereka sudah menjaga kedaulatan, harusnya kasih mereka kejahteraannya. Duitnya habis dalam konteks pertahanan. Kenapa? Karena ada kong-kali-kong dalam pengadaan pembelian alutsista. Permainan-permainan, dugaan permainan antara parlemen dengan pemerintah dalam pembelian alutsista kan bukan hal yang baru. Akhirnya banyak dugaan-dugaan korupsi yang hilang dalam sektor pertahanan.

Nah inilah yang kemudian membuat persoalan kita susah untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit, untuk kemudian meningkatkan alutsista. Ada nggak sih duitnya? Orang selalu bilang anggaran pertahanannya nggak ada. Saya bilang selalu ada. Soalnya bagaimana membangun efektivitas dan efisiensi dalam alokasi anggaran dengan baik.

Syarat yang paling utama, jangan dikorupsi sektor pertahanan. Kenapa? Karena itu kebutuhan real yang dibutuhkan untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit dan membangun modernisasi alutsista. Jadi kalau masih ada permainan-permainan di parlemen dan pemerintah dalam anggaran untuk sektor pertahanan menurut saya mereka sebenarnya tidak sedang ingin membangun tentara yang profesional.

Dan problemnya adalah, karena sektor pertahanan tidak tersentuh oleh KPK, karena mereka merasa rezim merahasia dan punya sistem peradilan militer sendiri, akhirnya ini wilayah yang paling enak jadi bancakan. Kalau Kementerian Pertanian kan nggak bisa dalih rahasia gitu. Nggak punya peradilan militer, akhirnya kena Menteri Pertanian.

Permainan-permainan, dugaan-permainan antara parlemen dengan pemerintah dalam pembelian alutsista kan bukan hal yang baru. Akhirnya duit, banyak dugaan-dugaan korupsi yang hilang dalam sektor pertahanan. Nah inilah yang kemudian membuat persoalan kita susah untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit, untuk kemudian meningkatkan alutsista.

Ada nggak sih duitnya? Orang selalu bilang anggaran pertahanannya nggak ada. Saya bilang selalu ada. Soalnya bagaimana membangun efektivitas dan efisiensi dalam alokasi anggaran dengan baik, kita lihat aja dinamikanya. Tapi buat saya, kita ingin tentara yang profesional dan syaratnya adalah persenjataannya harus kuat, kesejahteraannya harus terjamin. Kita ingin prajurit-prajuritnya sejahtera. Rumah dinas, kesejahteraan, dan sebagainya. Itu hanya terwujud kalau anggaran sektor pertahanan tidak dikorupsi.

Oleh karena itu, memberantas korupsi di sektor pertahanan itu secara otomatis akan meningkatkan kesejahteraan prajurit dan meningkatkan alutsista. Bagaimana memberantasnya? KPK harus bisa masuk.

Alhamdulillah kemarin ada judical review di Mahkamah Konstitusi bahwa KPK boleh masuk ke sektor pertahanan. JR telah melibatkan KPK. Syaratnya KPK yang melakukan penyelidikan lebih awal. Kenapa terjadi JR? Karena ada kasus Basarnas. Ditangkap oleh KPK. Itu yang pertama. Dengan demikian bahwa mengeliminasi kemungkinan potensi korupsi di sektor pertahanan harus kita lakukan. Caranya adalah dengan memastikan reformasi sistem peradilan militer.

Agar militer tunduk dalam peradilan umum kalau terlibat tindak pidana umum. Tunduk dalam peradilan militer kalau terlibat tindak pidana militer. Jadi kalau mereka terlibat tindak pidana korupsi, KPK bisa masuk dan bisa diadili di peradilan korupsi. Supaya tidak terjadi kejadian kasus Basarnas. Gitu loh.

Kenapa ada kasus Basarnas? Karena undang-undang peradilan militer belum diubah. Karena undang-undang TNI belum diubah. Karena reformasi peradilan militer belum berubah. Harusnya begitu juga sama dengan militer. Kalau terlibat dalam korupsi, dia di peradilan tindak pidana korupsi. KPK bisa masuk. Itu hanya bisa terjadi kalau reformasi peradilan militer bisa dilakukan.

Jadi untuk menghindari kongkalikong yang seperti Mas sampaikan tadi, agar kemudian anggaran pertanahan benar-benar untuk kesediaan para prajurit dan pembangunan modernisasi alutsista. Reformasi peradilan militer wajib dan perlu dilakukan dengan melakukan revisi Undang-Undang No. 397 tentang peradilan militer atau dengan jalan menghapus pasal peralihan di dalam Undang-Undang TNI yang menjadi hambatan untuk implementasi pasal 65 Undang-Undang TNI.

Aksi Menolak RUU TNI

Ratusan mahasiswa yang berkumpul di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Barat, Kamis (20/3/2025). tirto.id/Dini Putri Rahmayanti

Dari tadi Mas Araf menyebut ada kongkalikong, kongkalikong, dan kongkalikong. Di dalam internal TNI itu sendiri, apakah ada faksionalisme dan politik, Mas di dalam internal TNI?

Di dalam internal TNI faksionalisasi tentu akan selalu terjadi. Karena kan kelompok-kelompok itu berbeda. Misalkan sekarang panglima TNI-nya dulu eranya Pak Gatot. Nanti Pak Gatot turun, diganti eranya Pak Hadi, geser Pak Hadi. Nanti eranya siapa? Yang akhirnya era yang mereka yang dulu era Gatot kegusur di era Pak Hadi.

Sekarang eranya apa namanya? Pak Agus. Jadi gerbong-gerbongan gitu selalu ada. Nah, buat saya politik seperti itu di dalam internal TNI memang sulit dihindari. Tapi yang harus dibangun adalah membangun mekanisme meristokrasi yang baik. Sehingga sistem mutasi itu harus berjalan dengan baik. Proses regenerasi berjalan dengan baik. Jangan ada orang belum saat jadi mayor, diangkat jadi mayor. Belum saatnya letkol, kemudian diangkat menjadi letkol.

Siapa itu? Letkol Teddy. Itu menurut saya menyakitkan buat mereka-mereka di dalam internal TNI. Yang mungkin seangkatannya dia baru pangkat mayor. Ini sudah lompat ke Letkol. Atau bahasa sederhananya politisasi terhadap internal TNI terjadi. Dan ini menjadi tidak sehat. Apalagi sampai diangkat jadi Seskab.

Luar biasa. Sehingga orang bertanya, siapa sih dia sampai kayak begitu? Kenapa sampai seperti itu? Dan tentu buat saya ini beban, tidak baik buat Pak Prabowo sendiri. Karena di dalam internal TNI akan menganggap, oh berarti begini ya pemimpin sipilnya justru melakukan politisasi terhadap kami.

Kan pasti akan ada resistensi di dalam. Orang belum saatnya Letkol, diangkat Letkol. Ini dengan sederhana boleh anggap ada ruang politisasi dalam konteks misalkan Mayor Teddy, Letkol Teddy. Nah yang akhirnya akan menganggap pola meritokrasi. Organisasi menjadi tidak sehat karena konteks subjektif.

Setelah itu muncul lagi misalkan dalam mencobotan Pak Kunto gitu ya. Sebelumnya kita beri konteks terlebih dahulu siapa itu Kunto Arief Wibowo yang akan dicopot dari Pangkogabwilhan? Putra dari Try Sutrisno. Yang menandatangani sejumlah pakta yang yang tadi kita bahas dari awal. Apa namanya karena Pak Try ikut menandatangani dicopot Pangkogabwilhan, maka orang berpikir ada keterlibatan. Ada korelasi cepat bener tuh. Tandatangan petisi tanggal berapa Pak Kunto kemudian dicobot.

Tapi karena menimbulkan kritik dan penilaian-penilaian di publik akhirnya dibalikin lagi kan. Pengangkatannya. Ini ini organisasi bagaimana sih? Dicopot dalam waktu cepat. Dikembalikan lagi sebagai posisinya itu. Yang akhirnya kita menganggap apakah intervensi eksternal terhadap TNI, sehingga TNI tidak memiliki otonomi di dalam tata mutasinya. Dan ini mungkin terjadi sejak era periode Jokowi bagaimana politisasi terhadap TNI terjadi sampai ruang-ruang Pangdam dan lain sebagainya.

Yang terjadi bukan demokratic civilian control, bukan objectif civilian control tapi subjectif civilian control. Di mana pemimpin sipil tidak menghormati otonomi di dalam tubuh militer tapi jauh melakukan intervensi ke dalam internal militer. Padahal dalam negara demokrasi pemimpin sipil harusnya cukup mengangkat Panglima kepala staf.

Tapi Pangdam dan lain sebagainya itu tidak perlu sampai ke level itu. Itu biarkan meritokrasi berjalan. Itu udah jauh sekali gitu ruang intervensinya. Sulit lah buat publik untuk tidak apa namanya, untuk bisa menerima bahwa itu terjadi normal normal saja. Rasanya akan menganggap ada ruang intervensi politik kekuasaan sampai dia mengangkat sampe dia jadi Letkol begitu kan.

Ada sistem organisasi yang nggak berjalan. Karena apa? karena intervensi politik kekuasaan itu terjadi. Sehingga ini tidak menjadi sehat gitu. Nah saya harap harusnya DPR lah mengambil peran untuk melakukan koreksi terhadap hal ini. Ya ada 1-2 anggota Dewan yang mengambil sikap cukup mengkritisi terkait ini. Misalnya Pak T.B. Hasanuddin yang mengkritisi pengangkatan Letkol Teddy. Itu baik gitu menurut saya.

Tapi pertanyaan saya anggota Komisi I lain pada kemana gitu loh. Seharusnya ini menjadi persoalan bagi komisi I untuk mengkoreksi bahwa ada sistem proses pengangkatan perangkat yang berlebihan gitu. Dalam konteks mayor ke Letkol tadi. Lalu kemudian dalam konteks pengangkatan pencopotan bolak-balik Pangkogabwilhan ini bagaimana sih gitu prosesnya.

Ingat loh program RERA di era order lama reorganisasi dan rasionalisasi militer pada tahun (19) 48 ketika militer ditata organisasinya. Itu menimbulkan gejolak dan kemudian terjadilah secara tidak langsung problem-problem pemberontakan di beberapa wilayah. Karena program reorganisasi dan rasionalisasi yang tidak berjalan dengan baik.

Poin saya katakan adalah hari ini penataan organisasi TNI tidak berjalan dengan baik. Penuh dengan politisasi, akhirnya adalah mungkin banyak perwira-perwira yang berkompetensi, bagus, nggak dapat ruang karena dianggap tidak masuk dalam gerbong politiknya. Jadi soal akhirnya semua berpikir kalau sudah pangkat kolonel wah nggak usah mikirin bekerja dengan baik, tapi mikirin kenal siapa di DPR sama kenal siapa, kenal Pak Prabowo atau enggak.

Jadi nggak sehat. Harusnya yang dipilih oleh bagaimana bekerja dengan baik. Nah ini harus ditata dan diperbaiki. Bukan buat siapa-siapa. Justru karena kita sayang dan cinta sama TNI supaya mereka kuat dan profesional.

Baca juga artikel terkait GIBRAN RAKABUMING RAKA atau tulisan lainnya dari Irfan Amin

tirto.id - News Plus
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Anggun P Situmorang