Menuju konten utama

200 Hari Prabowo-Gibran Memimpin: Komunikasi Masih Jadi PR Utama

Selama 200 hari masa kerja Kabinet Merah Putih, sejumlah kebijakan telah dikeluarkan dan mengundang berbagai respons masyarakat.

200 Hari Prabowo-Gibran Memimpin: Komunikasi Masih Jadi PR Utama
Presiden Prabowo Subianto (tengah) didampingi Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka (ketiga kanan), Menko Polkam Budi Gunawan (ketiga kiri), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (kedua kiri), Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin (kempat kiri), Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo (kanan), Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto (kedua kanan) serta Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya (kiri) menyampaikan keterangan kepada media sebelum kunjungan ke luar negeri di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusama, Jakarta, Selasa (17/12/2024). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/rwa.

tirto.id - The Indonesian Institute (TII), Center for Public Policy Research meluncurkan hasil laporan evaluasi Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang genap menjabat selama 200 hari pada Kamis (8/5/2025). Laporan TII berfokus terhadap evaluasi kinerja 48 menteri di Kabinet Merah Putih. Penilaian itu mencakup aspek komunikasi publik, partisipasi publik, kolaborasi lintas sektor, konsistensi kebijakan, serta beberapa Key Performance Indicators (KPI).

Laporan evaluasi ini disusun dengan pendekatan mixed methods yang memadukan skoring kuantitatif dengan analisis kualitatif melalui desk research dan wawancara mendalam semi-struktur bersama para ahli. Mereka yang diwawancarai berasal dari unsur pengamat kebijakan publik, aktivis, akademisi, pengusaha, dan praktisi. Ini penting untuk memberikan konteks dan pandangan yang lebih mendalam terhadap hasil analisis evaluasi dan skoring. TII juga menggunakan teori multiple stream dan teori jaringan kebijakan.

Selama 200 hari masa kerja Kabinet Merah Putih, sejumlah kebijakan telah dikeluarkan dan mengundang berbagai respons masyarakat. Seperti pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG), pembentukan Badan Pengelola Investasi Danantara, pendirian bank emas, hingga mengesahkan revisi UU TNI. Evaluasi menjadi hal yang urgensi agar kebijakan ke depan bisa diambil lebih matang oleh pemerintah.

Hasil evaluasi TII, indikator komunikasi publik mendapatkan nilai tertinggi dengan skor 77,60 persen. Jika dirinci, hasil cukup baik ini ditunjang dari pemanfaatan beragam platform seperti media sosial dalam menyalurkan informasi publik. Namun, sub-indikator dalam komunikasi yang menjadi sorotan, keterampilan komunikasi dan kecepatan merespons persoalan untuk menciptakan stabilitas keadaan masih perlu perbaikan.

Direktur Eksekutif TII, Adinda Tenriangke Muchtar, menyatakan memang komunikasi publik Kabinet Merah Putih mendapat skor paling tinggi, tetapi poin tersebut masih meninggalkan banyak catatan di sub-indikator. Salah satu yang disoroti adalah kemampuan penyampaian komunikasi yang tidak konsisten dan sentralistik. Prabowo masih sering kali mengemukakan pendapatnya terhadap suatu isu dan berakhir membuat persoalan menjadi tidak terang.

Misalnya, teranyar Prabowo menyampaikan program MBG berhasil 99,99 persen karena yang mengalami dugaan keracunan hanya 200 orang dari tiga juta penerima program. Hal seperti seharusnya mampu lebih diantisipasi terutama saat situasi komunikasi krisis agar menunjukkan sikap yang tidak defensif dan lebih empatik terhadap rakyat. Selain itu, hasil 4 indikator evaluasi lainnya yakni: capaian kerja sebesar (60,9%), kolaborasi (55,7%), konsistensi kebijakan (44,7%), dan yang paling rendah, partisipasi publik (42,7%).

“Politik terlalu sentralistik dan transaksional, jabatan banyak diisi atas dasar akomodasi politik dan kepentingan, sehingga seringkali mengaburkan partisipasi publik yang bermakna dan inklusif,” kata Adinda dalam keterangannya kepada Tirto, Kamis (8/5/2024).

Adinda mendorong pemerintah membuka akses terhadap pelaporan capaian kinerja kepada publik untuk mengukur capaian kebijakan secara objektif dan akuntabel. Itu perlu dilakukan sebagai bagian dari komitmen pemerintah untuk transparansi dan tata kelola pemerintahan yang baik. Selain itu, pemerintah diminta memperbaiki komunikasi publik, dengan menetapkan masalah prioritas nasional secara terbuka. Perlu juga menyampaikan peta jalan kerja jangka pendek (6–12 bulan) agar publik dan aktor kebijakan memiliki orientasi yang sama.

Evaluasi menteri perlu dilakukan berkala dengan indikator yang transparan dan akuntabel. Meliputi kapasitas profesional, urgensi peran menteri, dan prinsip asas-asas pemerintahan yang baik.

“Termasuk memastikan mekanisme partisipasi publik secara bermakna, mengakomodir aspirasi publik, menindaklanjuti kritik kebijakan secara jelas, efektif, transparan, akuntabel, dan inklusif,” lanjut Adinda.

Sementara itu, Manajer Riset dan Program TII, Felia Primaresti, memandang performa para menteri yang punya latar belakang dari aparat keamanan dan pertahanan (Polri dan TNI) cenderung tidak inisiatif dan lebih mengedepankan pendekatan top-down. Felia menyatakan, keterampilan komunikasi yang lebih baik dari para menteri akan sangat berpengaruh dalam membangun hubungan dengan publik.

Ia mengingatkan, dalam menjalankan pemerintahan yang efektif, kolaborasi antar sektor dan transparansi terhadap publik merupakan kunci mempercepat pemulihan dan pembangunan nasional.

“Politik dan kebijakan publik itu soal persepsi, dan persepsi yang baik bisa dibangun jika masyarakat percaya kepada pemerintah,” ujar Felia.

Kabinet Merah Putih di Akmil Magelang

Segenap jajaran Kabinet Merah Putih yang terdiri dari para menteri, wakil menteri, kepala badan, utusan khusus hingga penasihat khusus menjalani latihan berbaris di Lapangan Sapta Marga, Akademi Militer Magelang, pada Jumat pagi (25/10/2024). Foto/ Kantor Komunikasi Kepresidenan

Berdasarkan laporan TII, lima menteri yang memiliki skor evaluasi tertinggi meliputi Menteri Ketenagakerjaan Yassierli (18), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (17), Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (16), Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Viada Hafid (16), dan Menteri Ekonomi Kreatif Teuku Riefky Harsya (16).

Sementara lima menteri dengan skor evaluasi terendah yakni, Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai (6), Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin (6), Menteri Koordinator Pangan Zulkifli Hasan (6), Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi (4), dan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Yandri Susanto (4).

Evaluasi TII terhadap para menteri dilakukan dengan lewat skoring 5 indikator evaluasi yaitu komunikasi publik, partisipasi publik, kolaborasi lintas sektor, konsistensi kebijakan, dan key performance indicator. Tiap indikatornya terdapat 4 sub-indikator, dengan total skor final 20.

Tirto sudah mencoba meminta tanggapan Istana Presiden terkait hasil laporan evaluasi TII ini lewat Mensesneg sekaligus Juru bicara presiden, Prasetyo Hadi, dan jajaran Kantor Komunikasi Presiden (PCO). Namun, permintaan wawancara Tirto belum mendapat respons.

Perbaikan Komunikasi dan Konsistensi Kebijakan

Pengamat komunikasi politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, menilai aspek komunikasi pemerintah memang masih banyak kekurangan dan cenderung belum efektif. Ini dapat dilihat dari pola komunikasi yang justru membingungkan dan membuat situasi gaduh.

Menurut Kunto, konsistensi komunikasi dari pejabat kabinet juga perlu dibenahi. Komunikasi yang reaktif dan mengundang kegaduhan hanya menciptakan situasi kontraproduktif.

“Yang satu bilang A, yang satu bilang B, yang satu bilang C,” kata Kunto kepada wartawan Tirto, Kamis.

Menurut Kunto, inkonsistensi merupakan ciri bahwa pemerintah belum mumpuni mengelola krisis. Hal ini dapat terlihat dalam sikap pemerintah mengelola kebijakan yang mendapatkan protes dari publik. Misalnya, ketika pelaksanaan kebijakan PPN 12 persen, pembatasan gas LPG 3kg, sampai penundaan pengangkatan CPNS yang semuanya baru dibatalkan usai diumumkan dan mendapatkan gelombang protes.

Bahkan, sudah ada menteri-menteri kabinet yang membicarakan akan mendukung Prabowo lagi di Pemilu 2029. Kunto menilai sikap itu seakan-akan para menteri tidak memiliki prioritas dalam melakukan tugas.

“Jadi ini seperti kebijakan tidak dipikirkan secara matang, tidak diberikan skala prioritas yang baik sehingga sense urgensinya tidak kelihatan,” ucap Kunto.

Kunto Adi Wibowo

Kunto Adi Wibowo. tirto.id/Andhika

Sementara itu, Analis Sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, melihat dalam banyak kesempatan komunikasi Istana ke publik seperti tidak disiapkan dengan baik. Seolah-olah ada sekat antara para pejabat negara, sehingga terjadi pernyataan yang kontradiksi.

Belakangan ini, kata dia, bahkan mencuat isu kalau para menteri tidak dapat berkomunikasi langsung dengan presiden. Jika isu ini benar, ini sangat berbahaya. Musfi menilai masalah ini akan menjadi gerbang atas kekacauan kebijakan.

“Kemungkinan besar isu soal sekat ini yang jadi jawaban kenapa komunikasi Presiden cenderung reaktif dan defensif. Karena tidak ada update info berkala, Presiden menjadi kurang siap ketika tiba-tiba ada isu besar,” ungkap Musfi kepada wartawan Tirto, Kamis.

Untuk itu, harus ada SOP dan panduan terkait siapa dan bagaimana Istana menyampaikan dan merespons persoalan publik. Kemudian, harus ada perhatian khusus terhadap mereka yang ditunjuk sebagai Juru Bicara Presiden. Secara logis, kata Musfi, juru bicara Presiden adalah mereka yang mengetahui pikiran Kepala Negara sehingga dapat menyampaikannya dengan baik.

Maka, Musfi menilai rendahnya konsistensi kebijakan memang disebabkan terjadinya sekat komunikasi di lingkaran pemerintah. Hal ini perlu segera diperbaiki agar kebijakan publik jadi berjalan dengan sinergis dan tidak terkesan dilakukan secara reaktif.

“Rendahnya konsistensi ini kembali pada sekat komunikasi yang tadi. Jika ada sekat antarmenteri dan sekat antara menteri dengan presiden, bagaimana caranya bisa membuat kebijakan yang konsisten,” ucap Musfi.

Baca juga artikel terkait PEMERINTAHAN PRABOWO-GIBRAN atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News Plus
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang