tirto.id - Penggerebekan dan penangkapan yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) terhadap tiga terduga pengedar narkotika di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, Kamis (1/5/2025) pekan lalu, memantik kontroversi. Sejumlah pihak mempertanyakan kewenangan TNI melakukan penegakan hukum dan pemberantasan narkoba. Dari tangan para tersangka diperoleh 32 paket sabu dengan total berat 38,68 gram, 3 unit ponsel, 5 dompet, beberapa tas berisi alat penggunaan sabu, hingga uang tunai.
Lewat rilis Puspen TNI, disebutkan bahwa Kodim 1608/Bima melalui Koramil 1608-04/Woha bersama Unit Intelijen berhasil menggagalkan peredaran narkoba di kawasan tambak Desa Penapali, Kecamatan Woha, Kabupaten Bima. Penggerebekan disebut sebagai respons atas laporan masyarakat yang mencurigai aktivitas ilegal di lokasi tersebut.
Operasi dipimpin langsung Danramil Kapten Cba Iwan Susanto dan Pasi Intel Kapten Inf Bambang Herwanto, dengan melibatkan unsur masyarakat sebagai saksi di lapangan. Usai TNI menangkap ketiga terduga pengedar narkoba, mereka beserta barang bukti diserahkan kepada Polres Bima untuk diproses hukum lebih lanjut.
Langkah TNI menggerebek dan menangkap terduga pengedar narkotika dianggap sebagai tafsir kebablasan dari tugas pokok dan fungsi tentara di ranah sipil. Usulan TNI berwenang mengurus penyalahgunaan narkoba memang sempat mencuat dalam draf revisi UU TNI. Usul itu tadinya masuk dalam draf revisi UU TNI di Pasal 7 sebagai salah satu tugas operasi militer selain perang (OMSP).
Namun, usai resmi disahkan Presiden Prabowo Subianto pada Maret lalu, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, menghapus usulan kewenangan tersebut. Perluasan tugas TNI dalam OMSP hanya tambah dua: penanganan ancaman siber dan evakuasi WNI di luar negeri dalam situasi konflik atau darurat.
Selain itu, pengaturan OMSP tidak perlu memerlukan persetujuan DPR dan hanya mengacu pada keputusan politik negara. Maka, hasil revisi UU TNI yang sudah disahkan menjadi UU Nomor 3/2025 memang tidak mengakomodir kewenangan militer mengurus penyalahgunaan narkoba. Hal tersebut yang kini menjadi sorotan sebab penegakan hukum pemberantasan narkoba yang dilakukan TNI berpotensi melangkahi kewenangan lembaga atau instansi lain.
Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, menegaskan TNI memang tidak memiliki kewenangan dalam penyelidikan, penyidikan, dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba dalam ranah sipil. Dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, instansi/lembaga yang punya kewenangan tersebut hanya Kepolisian RI alias Polri dan Badan Narkotika Nasional (BNN).
Selain itu, kewenangan TNI melakukan penyidikan atau pemberantasan narkoba juga tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam KUHAP, untuk melakukan penangkapan, Pasal 16 menyatakan hal itu dilakukan oleh penyidik dan penyidik pembantu sebagai yang berwenang.

Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Pasal 18 ayat (1) dalam KUHAP juga dinyatakan bahwa pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan.
Dalam kasus tindak pidana tertangkap tangan, penangkapan dilakukan tanpa surat perintah dengan ketentuan penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu terdekat.
Dina menyatakan, regulasi hukum memang memandatkan penyidikan dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba dilakukan oleh polisi dan BNN. Apabila dilakukan penangkapan, hanya kasus tertangkap tangan yang dapat dilakukan selain polisi dan BNN.
“TNI tidak bisa melakukan penangkapan dalam KUHAP. Kalau dilakukan, dampaknya tidak sesuai UU. Kalau praperadilan, lantas gugat ke siapa kalau tak sesuai KUHAP,” jelas Dina.
Bisa Timbulkan Masalah Hukum?
Langkah TNI di Bima, NTB, melakukan penggerebekan dan penangkapan terduga pengedar narkoba juga dikeluhkan oleh Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Adang Daradjatun, ketika rapat dengar pendapat umum bersama BNN, pada Senin (5/5/2025) lalu.
Mantan Wakil Kapolri ini menyatakan bahwa penggerebekan narkotika oleh TNI bisa menimbulkan masalah hukum ke depannya. Pasalnya, pelaku bisa mengajukan gugatan hukum sebab prosedur penegakan hukum yang tidak dilakukan sesuai kewenangan dan landasan hukum.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono, menegaskan bahwa pelibatan TNI dalam penggerebekan pengedar narkoba di Bima, NTB, merupakan bentuk dukungan kepada aparat penegak hukum. Dave menekankan proses penyidikan dan penindakan tetap akan menjadi kewenangan Polri.
Dave menjelaskan, keterlibatan TNI dalam penangkapan kasus narkotika di Bima tidak dapat dipandang sebagai tumpang tindih kewenangan. Ia berdalih dalam kasus ini peran TNI yakni bersifat bantuan dan mendukung proses penegakan hukum oleh aparat kepolisian.

Politisi Partai Golkar itu menegaskan bahwa Komisi I akan tetap mengawasi keterlibatan TNI dalam persoalan sipil agar berada dalam koridor hukum. Hal ini agar TNI tidak keluar dari tugas pokok dan fungsi sebagaimana diatur dalam undang-undang.
“TNI di sini sifatnya mendukung penegakan hukum, memberantas narkoba yang jelas-jelas telah meresahkan dan mengganggu bangsa,” kata Dave ketika dikonfirmasi.
Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI, Mayjen Yusri Nuryanto, turut buka suara soal kontroversi TNI menangkap terduga penyalahgunaan narkotika di Bima. Ia menyatakan aksi penangkapan tersebut merupakan suatu hal yang wajar. Menurut dia, apabila anggota TNI melihat ada tindak pidana di depan matanya, maka tidak mungkin tindakan itu dibiarkan saja.
Meski begitu, Yusri menyebut, apabila pelaku yang ditangkap warga sipil, maka pihak TNI harus tetap menyerahkan para pelaku kepada pihak kepolisian. Yusri mengeklaim selama mendapatkan laporan dari masyarakat atas tindak pidana yang terjadi di lingkungan, maka anggota TNI berhak saja untuk menindak.
Merespons polemik ini, Kepala BNN, Marthinus Hukom, mengajak agar semua pihak untuk memahami tugas dan fungsi masing-masing instansi. Hukom mengingatkan bahwa proses penegakan hukum tidak dapat dilakukan secara sepihak karena perlu kerja sama dengan aparat penegak hukum. Namun, TNI bisa melakukan penangkapan jika kasusnya tertangkap tangan.
“Kita kembalikan lagi kepada tugas dan fungsi masing-masing. Jadi itu kan perlu kita, apa ya, memahami tugas kita, tugas TNI,” ucap Marthinus di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/5/2025).
Terang, jika dilihat kembali dalam aturan KUHAP, penangkapan merupakan salah satu dari kewenangan penyelidik dan penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan 7. Lebih lanjut, dalam urusan penyalahgunaan narkotika, kewenangan untuk penyelidikan dan penyidikan hanya dapat dilakukan oleh Polri dan BNN.
Kewenangan Polri dalam penyidikan narkotika diatur di Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Misalnya pada Pasal 81, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 87, Pasal 88, Pasal 90, Pasal 91, dan Pasal 92.
Sementara itu, BNN juga memiliki kewenangan penyidikan dalam UU Narkotika, seperti ada di Pasal 71, Pasal 75, dan Pasal 81. Dalam Pasal 81 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ditegaskan bahwa penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN berwenang melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika berdasarkan Undang-Undang ini.
Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, menilai apabila TNI menganggap tindakan mereka melakukan penangkapan dalam kasus penyalahgunaan narkotika bukan masalah, justru di situlah letak masalahnya. Halili menilai pandangan TNI itu berpotensi merusak tertib hukum (legal order) di dalam negara hukum.
Halili menegaskan, dalam KUHP, KUHAP, hingga UU 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak memberikan kewenangan pemberantasan narkoba oleh TNI. Menurutnya, penanganan kasus hukum oleh lembaga yang tidak berwenang merupakan tindakan tidak sah (illegal), di luar hukum (extra judicial), dan tidak memberikan jaminan kepastian hukum (legal certainty) serta keadilan.
“Tindakan yang dilakukan TNI tersebut berpotensi melanggar hukum, sebab pemberantasan narkoba secara yuridis bukanlah yurisdiksi TNI,” lanjut Halili.

Sementara itu, Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, menegaskan bahwa TNI hanya bisa melakukan penangkapan urusan narkoba dalam situasi tertangkap tangan. Dan bukan cuma tindak pidana narkotika, dalam keadaan tertangkap tangan bisa kasus apa saja.
Namun, apabila TNI menerima laporan atau aduan dari masyarakat, maka mereka wajib meneruskan laporan tersebut kepada kepolisian atau BNN. Dan jika Kepolisian atau BNN merasa tidak mampu bertindak cepat sebab kurang personil atau petugas lapangan, maka mereka bisa meminta bantuan dari TNI melakukan penangkapan secara bersama-sama.
Perlu ditegaskan, kata Ardi, TNI bukanlah aparat penegak hukum. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 30 ayat 3 dan 4 UUD 1945 tentang perbedaan tugas pokok dan fungsi TNI dan Polri. Maka pemisahan kewenangan ini sebetulnya merupakan mandat dari reformasi.
Maka, jika penangkapan yang TNI lakukan bukan dalam situasi tertangkap tangan, hal ini tidak sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana di Indonesia. Imbasnya, menurut Ardi, penangkapan yang dilakukan oleh TNI tersebut rentan digugat di pengadilan dan berpotensi melanggar ketentuan hukum acara pidana.
“Jika ini terus dibiarkan, maka tentunya akan merusak criminal justice system di Indonesia. Kritik terhadap BNN ataupun Kepolisian yang dianggap belum optimal dalam menangani persoalan narkotika di Indonesia tidak bisa dijadikan alasan keterlibatan TNI,” tegas Ardi kepada wartawan Tirto, Kamis.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang
Masuk tirto.id

































