tirto.id - Militer India menembakan sebuah rudal ke arah Muzaffarabad, wilayah Kashmir yang menjadi bagian dari Pakistan pada Rabu (7/5/2025). Serangan itu menghantam empat masjid dan sebuah klinik medis. Konflik India-Pakistan memanas.
Di waktu yang sama, serangan rudal menyasar Muridke, sebuah kota yang berada dekat dari Lahore, kota penting di Pakistan. Selain itu, rudal India juga menghantam enam lokasi lain di Pakistan, dalam rangkaian yang masuk Operasi Sindoor tersebut. Pemerintah Pakistan menyebut terdapat 31 warga sipil yang tewas akibat serangan rudal dari India, mengutip Al Jazeera.
Pihak India membantah jika serangan itu sengaja mereka arahkan ke warga sipil. Berdasar keterangan dari pemerintah, termasuk dari Kedutaan Besar India untuk Indonesia, militer India secara presisi telah mengarahkan rudal mereka ke milisi Lashkar-e-Taiba (LeT), yang mereka anggap bertanggungjawab pada aksi pembunuhan di Kashmir wilayah India.
Dalam keterangan yang sama, India mengklaim bahwa mereka hanya menyerang LeT, karena tidak ada rudal yang diarahkan ke area ekonomi dan militer. India mengklaim hal itu sebagai bentuk penegasan bahwa mereka tidak memiliki niatan untuk melakukan perang terhadap Pakistan.
Dikutip dari Reuters, Perdana Menteri Pakistan, Shehbaz Sharif, telah melakukan serangan balasan dengan menembak jatuh lima pesawat jet tempur dan drone milik India. Pihak India hingga kini tak mengkonfirmasi penembakan tersebut, sejumlah warga di Kashmir menyaksikan tiga jet tempur milik India jatuh di wilayah Himalaya pada Rabu (7/5/2025) malam.
Sebelum peristiwa saling menyerang ini, eskalasi konflik India-Pakistan kembali meletup. Berawal dari serangan kelompok bersenjata kepada 26 wisatawan asal India di Pahalgam, Kashmir, wilayah India, pada Selasa (22/4/2025). Dikutip dari laporan lain Al Jazeera, para korban tersebut merupakan warga sipil dan seorang di antaranya prajurit angkatan laut India.

Sebagai bentuk reaksi, Perdana Menteri India, Narendra Modi, mengancam akan melakukan segala hal demi mencari dan menghukum pelaku pembunuhan warganya. Modi menyebut kelompok bersenjata tersebut sebagai teroris dan aparat keamanan India kemudian menuding LeT menjadi pihak yang bertanggungjawab atas serangan tersebut.
Tak lama, usai tudingan pemerintah India kepada LeT, sebuah grup bernama The Resistance Front (TRF) mengaku bertanggung jawab atas tewasnya 26 turis India di Kashmir. Dikutip dari Al Jazeera, TRF merupakan kelompok bersenjata yang muncul sejak 2019. Mereka hadir setelah India mencabut status otonomi Kashmir dan melakukan pembatasan terhadap sejumlah akses hingga berbulan-bulan.
Meski, TRF telah mengklaim bertanggung jawab atas peristiwa penembakan, namun Modi dan aparatur pemerintahannya masih getol menarget LeT. Sebab menurut Modi TRF hanyalah percabangan dari operasi LeT.
Selain menuduh LeT dan mengancamnya, Pemerintah India juga menyebut Otoritas Pakistan ikut terlibat dalam penyerangan para turis di Kashmir. Tuduhan tersebut langsung dibantah oleh Pemerintah Pakistan. Pihak Pakistan kemudian meminta India untuk membeberkan bukti jika mereka terlibat dalam serangan Kashmir.

Ketegangan antara dua negara Asia Selatan itu bukanlah hal baru, meski keduanya adalah tetangga dekat, bahkan sempat menjadi satu negara. Polemik keduanya tergolong pelik, dari perebutan wilayah Kashmir –yang memiliki julukan sebagai ‘Swiss Kecil’ karena keindahan alamnya– hingga isu agama antara Hindu dan Islam. Apabila merunut pada sejarah, India dan Pakistan telah mengalami segregasi sejak 1947, tepatnya usai merdeka dari Kerajaan Inggris.
Di tengah konflik yang tengah berlangsung, Modi juga menerapkan kebijakan untuk membatalkan perjanjian pembagian sumber air dengan Pakistan, Akibatnya, sebagian wilayah Pakistan yang berbatasan dengan India mengalami kesulitan akses terhadap air.
"Saat ini, air India akan mengalir untuk kepentingan India, air akan dilestarikan untuk kepentingan India, dan air akan digunakan untuk kemajuan India," kata Modi tanpa menyebut secara spesifik mengenai Pakistan, dikutip BBC, Selasa (6/5/2025).
Indonesia Sebaiknya Ambil Inisiatif Juru Damai India-Pakistan
Konflik antara India-Pakistan menyeret negara lain, hingga PBB untuk terlibat. Mereka memiliki kekhawatiran yang sama bahwa eskalasi konflik akan meluas dari regional menjadi global.
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres mengutuk setiap aksi kekerasan yang dilakukan oleh kedua negara. Dia meminta agar kedua negara menghentikan aksi saling serang, karena pendekatan militer tidak bisa menjadi solusi penyelesaian masalah.
“Dunia tidak mampu menanggung konfrontasi militer antara India dan Pakistan,” kata Guterres, Selasa (6/5/2025), mengutip keterangan resmi PBB.

Pengajar Hubungan Internasional Universitas Darussalam Gontor, Ida Susilowati mengungkapkan bahwa konflik dan pasang surut hubungan India-Pakistan masih sangat terbuka untuk berkembang lebih lanjut.
"Tapi dinamika konfliknya bisa berubah karena dalam security dilemma, selalu ada 'ketidakpastian', wait and see kejadian-kejadian berikutnya, tapi untuk saat ini terlalu terburu-buru jika menyimpulkan akan terjadi perang," kata Ida saat dihubungi Tirto, Kamis (8/5/2025).
Ida mendorong agar Indonesia terlibat aktif dalam proses perdamaian India-Pakistan. Hingga saat ini belum ada langkah konkret dari pemerintah Indonesia untuk mendamaikan kedua mitranya tersebut.
Sejauh ini, hanya ada keterangan resmi sebagai bentuk sikap Indonesia melalui akun X oleh Kementerian Luar Negeri. Narasinya pun cenderung diplomatis.
Pemerintah Indonesia terus mengamati perkembangan situasi antara India dan Pakistan. Indonesia mendorong kedua pihak dapat menahan diri dan mengedepankan dialog dalam menyelesaikan krisis.
— MoFA Indonesia (@Kemlu_RI) May 7, 2025
Menurut Ida, Indonesia dapat ikut ambil andil dalam proses perdamaian antara India dan Pakistan. Keterlibatan Indonesia dalam kelompok ekonomi negara berkembang BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan), jadi salah satu modal.
Sementara dengan Pakistan, Indonesia punya kesamaan sebagai sesama anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Melalui kesamaan forum, Indonesia diharapkan dapat memulai komunikasi dengan kedua negara.
"Indonesia bisa masuk lewat BRICS ya, karena ada juga India di situ. Karena Indonesia kan berusaha untuk bisa netral antara dua negara ini," kata Ida.
Meski demikian, Ida belum melihat adanya itikad atau kesungguhan Indonesia dalam berkontribusi untuk menghentikan eskalasi konflik India-Pakistan. Beragam permasalahan pelik dalam negeri bisa jadi penghambatnya.
"Tapi belum terlihat sampai saat ini, mungkin karena masih disibukkan dengan permasalahan negara dan perekonomian negara," katanya.
Sampai Kamis (8/5/2025), sejumlah kelompok masyarakat internasional telah berupaya mendamaikan kedua negara Asia Selatan itu. Terakhir, Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Aragachi tiba di New Delhi dengan maksud meredakan tensi antara kedua negara.
Di negeri seberang, Menteri Luar Negeri Pakistan, Ishaq Dar telah berkorespondensi dengan sejumlah negara untuk menemukan solusi damai. Beberapa di antaranya; Menteri Luar Negeri Spanyol, Jose Manuel Abares Bueno dan Sekretaris Jenderal Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Hissein Brahim Taha.
Sementara itu Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan pengaruh dari sisi ekonomi akan terasa bagi Indonesia. Konflik kedua negara akan berdampak, salah satunya bagi aktivitas ekspor-impor Indonesia.
"India dan Pakistan merupakan mitra yang cukup strategis terutama soal minyak kelapa sawit dan barang-barang komoditas lainnya, Jadi kalau eskalasi konfliknya kemudian meningkat, permintaan dari produk-produk ekspor asal Indonesia ke Asia Selatan akan menurun," kata Bhima saat dihubungi Tirto, Kamis (8/5/2025).
Selain itu, stabilitas kurs rupiah juga akan berdampak jika wilayah Asia Selatan itu memanas. Karena investor akan semakin hati-hati dalam menempatkan uang mereka tak hanya di Asia Selatan namun juga Asia Tenggara.
"Jadi kalau Asia Selatannya kemudian performanya kurang baik, akan mempengaruhi sentimen juga ke negara-negara Asia Tenggara dalam memutuskan investasi," kata dia.

Di lain sisi, ada sejumlah peluang untuk mengambil untung dengan mengeruk pasar dan industri dari India agar dialihkan ke Indonesia. Namun, menurut Bhima perlu ada kerja keras dari Indonesia jika ingin mendapat pasar dan komoditas yang selama ini dikelola oleh India.
"Meskipun itu bukan hal yang cukup mudah karena India banyak industri yang sudah berteknologi tinggi, sementara Indonesia masih pengolahan komoditas basisnya, jadi perlu kerja ekstra untuk menarik peluang relokasi dari India," kata Bhima.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































