Menuju konten utama

Uya Kuya dan Reality Show: Drama, Drama, dan Laba

Kendati bertajuk acara realitas, program televisi seperti ini perlu gimmick dan rekayasa demi drama dan mendatangkan laba.

Uya Kuya dan Reality Show: Drama, Drama, dan Laba
Ilustrasi HL Reality Show. tirto.id/Lugas

tirto.id - “OK. Dua menit menuju live. Suaranya yang kenceng, ya!” Koordinator penonton memberi aba-aba.

Dua menit berikutnya di Studio 1 G7 Trans7 para penonton bertepuk tangan dan melontarkan teriakan. Surya Utama, yang lebih dikenal dengan nama panggung Uya Kuya, memasuki studio dengan penuh gaya. Jalannya sengaja dilebih-lebihkan agar terlihat perlente dan mengundang tawa. Pakaiannya dibalut Gucci dari kepala hingga kaki. Tabrak sana sini.

Uya membuka program sebuah acara realitas atau reality show bernama Rumah Uya pada satu Kamis sore dengan memperkenalkan narasumber bernama Kiran. Perempuan ini datang bersama sahabatnya, Angga, yang duduk di kursi roda. Setelah memperkenalkan diri, Kiran mulai bercerita. Sebuah drama.

Konon, sang kekasih yang bernama Umar dikabarkan meninggal setelah hilang berbulan-bulan. Tapi belakangan ada pesan singkat yang mengabarkan Umar masih hidup. Kiran bermaksud mencarinya.

“Kamu ngapain sih masih nyariin Umar? Dia tuh udah meninggal,” seru Angga.

Tensi mulai meningkat. Sebuah band studio memainkan musik latar yang menciptakan ketegangan. Penonton tersirap.

Cerita berlanjut. Umar diduga mengikuti ajaran yang bersekutu dengan setan. Di dalam kamar kosnya ditemukan sebuah buku kuno: Bersekutu dengan Setan—demikian yang tertulis dalam sampul buku berwarna merah-hitam itu.

Dalam penelusuran tim Rumah Uya ke salah satu rumah tua di Semarang, Jawa Tengah, Umar dikabarkan pernah terlihat di sini. Bobby, salah satu kru, memasuki rumah tua tersebut. Mereka menemukan sebutir mustika berwarna merah. Kamera zooming in ke arah mustika, lalu benda ini dibawa tim dari Semarang ke studio untuk ditunjukkan kepada pemirsa.

Penonton di baris belakang saya terkikik. Saya mencoleknya, “Mas, percaya enggak?”

“Ya enggaklah,” katanya sambil terkekeh. “Ini, kan, settingan."

Kembali ke lakon di atas panggung studio, melihat mustika itu, Kiran mengaku memiliki mustika serupa pemberian Umar dan menunjukkannya kepada Uya.

“Batu ini aneh kalau dimasukkan ke dalam air.”

Adegan berikutnya: kedua batu merah seukuran akik itu ditaruh ke wadah air. Dan benar, keduanya menyala. Musik menegangkan lagi. Kamera jimmy jib diarahkan kepada batu dan lampu studio diredupkan agar cahaya dari batu semakin jelas.

“Beneran nyala ini,” seru Uya.

Penonton di belakang saya kasak-kusuk, “Eh, iya lho, bisa nyala gitu, ya.”

Penonton di sebelah saya menyenggol saya sembari menunjukkan ponsel pintar. Rupanya ia baru saja googling dengan kata kunci "batu menyala dalam air".

“Harganya Rp25 ribu." Ia terkekeh.

Beberapa akun marketplace menunjukkan gambar batu merah serupa. Deskripsi barang yang tertera: batu merah delima untuk gimmick.

Saat jeda iklan, Kiran yang tadinya sesunggukan mendadak berhenti menangis. Bobby, salah satu kru Rumah Uya, menghampiri Kiran dan Angga, tampak memberi arahan. Kiran terlihat mengangguk. Wajah Angga yang semula tegang lalu mengendur dan mengobrol santai dengan Kiram.

Usai berbicara pada Kiran, Bobby meninggalkan mereka dan kembali ke depan laptop. Kiran dan Angga masih stand by di panggung. Di sampingnya, rekan presenter Rumah Uya asyik dengan ponsel pintarnya. Tidak ada upaya untuk menenangkan Kiran seperti yang ia lakukan saat di depan kamera.

Pariwara selesai. Kamera stand by. Kiran bersiap dengan ekspresi sedihnya kembali.

“Aku ingin ketemu Umar, Mas Uya. Pokoknya aku ingin ketemu. Aku enggak percaya sebelum ketemu Umar!” Kiran berlagak histeris.

Kami fokus menonton lagi. Kali ini ada tokoh baru. Namanya Anggi. Ia mengaku pacar Umar dan menjadi tumbal ritual sesat yang dilakukan Umar. Pada saat bertemu kru Rumah Uya di Semarang, Anggi sempat mimisan. Kamera zooming in lagi.

Singkat cerita, Umar berhasil didatangkan ke studio. Ia tidak ikut ajaran sesat melainkan hanya menghindari Kiran karena bingung. Angga, sahabatnya, mengaku menyukai Kiran. Di satu sisi, Anggi, mantan kekasih Umar, masih menyukai Umar. Maka ia merancang cerita bohong soal persekutuan dengan setan agar Umar kembali ke pelukannya.

Cerita berakhir dengan Kiran yang meninggalkan studio sembari diikuti Umar yang mengejar di belakangnya. Angga sempat jatuh dramatis dari kursi roda setelah pengakuan dari Anggi. Credit title muncul. Acara berakhir.

Sepanjang acara, Uya mengambil peran sebagai presenter rasional dengan mempertanyakan cerita-cerita dari setiap narasumber. Sesekali ia berusaha melemparkan guyon agar bisa mencairkan dan mengidupkan suasana.

Irfa Dania, produser Rumah Uya, memilih Uya Kuya sebagai pembawa acara bukan tanpa alasan. Selebritas satu ini sudah gaek dalam dunia reality show. Selain itu ia bisa menghadapi pelbagai macam karakter orang.

“Dia tahu kapan harus bercanda, kapan harus serius. Tidak semua host bisa begitu. Dan karakter seperti itu yang kami butuhkan di program ini,” kata Irfa.

Uya Kuya mulai dikenal di dunia reality show sejak mengampu program Playboy Kabel bersama Yulia Rachman dan Joe Richard pada 2005. Setelahnya ia memegang sejumlah reality dan variety show mulai dari Uya Memang Kuya, Jebakan Betmen, Eat Bulaga! Indonesia, Buaya Show, hingga Suka-Suka Uya.

Reality Show dan Bumbu Eksploitasi Kemiskinan

Beberapa bulan lalu, Sarinah kedatangan Putri dan tim Bedah Rumah, program acara realitas di GTV yang merenovasi rumah tak layak huni. Waktu itu Putri berperan sebagai bintang tamu merangkap pembawa acara pendamping yang mengabarkan bahwa rumah dari anyaman bambu milik Sarinah akan direnovasi.

Sarinah menceritakan pengalamannya kepada saya dengan menggebu-gebu di pinggir jalan raya kawasan Tangerang saat kami menonton syuting Rombak Warung, acara televisi di GTV yang menayangkan aktivitas renovasi warung milik seorang pedagang, Selasa terakhir Agustus lalu.

Bukannya fokus menonton syuting, Sarinah justru makin semangat bercerita. Ibu enam anak ini berulang kali menceritakan pengalamannya ketika diminta kru untuk pergi memetik timun di kebun dengan menggunakan busana paling lusuh. Setelah itu, Sarinah tampak tersipu saat mengenang momen dirinya diminta menyuapi sang suami. Tapi, sebentar kemudian, ia berkata sedikit kecewa saat tahu adegan anaknya yang memijat kaki sang ayah tidak ditampilkan dalam tayangan program tersebut.

Sarinah berpikir, segala sesuatu yang disuruh oleh kru akan ditampilkan di televisi. Meski demikian, ia tetap bangga karena rumahnya sekarang sudah berdinding tembok, berlantai keramik, dan punya beberapa kamar tidur yang dilengkapi kasur. Sebelumnya, dinding rumah Sarinah terbuat dari rangka dan anyaman bambu yang telah rapuh.

Pekerjaan sebagai petani timun dengan penghasilan Rp35 ribu per hari tak memungkinkan Sarinah untuk memperbaiki rumah. Pikirannya pun sudah terpecah untuk mengurus ibu yang buta, anak-anak yang masih sekolah, dan seorang cucu balita yang diabaikan ayahnya.

Bangunan rumah seperti tempat tinggal Sarinah masih wajar ditemui di kawasan Rejeg, Sukatani, Tangerang. Lokasi ini berada sekitar 50 kilometer dari Jakarta Selatan. Tempatnya gersang dan jauh dari keramaian, sulit dari transportasi umum. Untuk sampai ke stasiun kereta api terdekat, kita butuh waktu setidaknya 45 menit. Dan jangan harap bisa mendapatkan jasa ojek online dengan mudah.

Sore itu, di hadapan kamera, Putri yang bertugas sebagai desainer interior, berdiskusi dengan kontraktor tentang konsep baru warung. Pengambilan gambar dilakukan beberapa saat setelah Putri mendapat arahan dari tim kreatif soal skenario perbedaan pendapat dalam dialog.

Fahmi, asisten produser Rombak Warung, berkata kepada saya bahwa timnya memang sengaja mencari pedagang di lokasi terpencil. Tim memilih warung milik Iyah; sebuah warung kecil, terlihat paling mengenaskan, di mana pedagang seperti Iyah hanya memperoleh penghasilan harian sekitar Rp20-30 ribu.

Sebelum Putri memulai syuting, seorang gadis bernama Dara mengunjungi warung dan berbincang dengan Iyah. Dara berperan sebagai pembeli sekaligus sosok yang menggali kisah hidup dramatis narasumber. Tim kreatif telah memasang alat komunikasi pada Dara sehingga mereka harus menekankan aspek melankolis dari cerita pemilik warung.

Namun, Iyah bukanlah orang yang ekspresif. Jawabannya selalu singkat. Tim mesti memutar otak. Cerita harus sedramatis mungkin. Cerita harus menampilkan si pemilik warung adalah orang yang baik hati. Adegan perlu diatur demi menangkap sisi drama senatural mungkin.

Dalam syuting itu, seorang pria yang berperan sebagai intruder menyela pembicaraan Iyah dan Dara. Pria ini menawarkan sayuran dengan memelas dan memaksa. Tugasnya menguji mental Iyah. Tapi adegan masih berjalan lempang. Bahkan sewaktu tim mengabarkan warung Iyah akan direnovasi secara gratis, Iyah bersikap biasa saja. Ia tak girang ataupun menangis terharu. Wajahnya tetap saja minim ekspresi.

Mau tak mau adegan diulang. Iyah dibujuk secara halus agar bisa mengekspresikan perasaan bahagia. Entah dengan tangis, sikap sujud, teriakan, atau pelukan. Maka, Iyah, Dara, dan Billy Kalangi, presenter Rombak Warung, mengulang adegan tersebut. Tim puas setelah melihat adegan pengambilan gambar kedua.

Tak lama setelahnya, saya tak lagi melihat Iyah. Kru berkata Iyah "disembunyikan" agar tak melihat aktivitas syuting yang mulai beralih mengatur bentuk fasad baru warung.

Beberapa saat sebelum syuting dimulai, Putri memegang kertas yang memuat gambar desain tiga dimensi dari warung baru. Dalam gambar itu, warung terlihat seperti kafe dengan beberapa kursi tinggi dan lampu-lampu gantung. Dindingnya didominasi warna cokelat tua. Beberapa rangka bangunan dilapisi keramik abu-abu yang bentuknya serupa bata.

Desain itu dibuat oleh tim acara. Putri bertanggungjawab menangani interior warung dengan memberi saran soal konsep dekorasi seperti warna cat dan material yang baiknya digunakan di dalam ruangan. Untuk warung Iyah, ia membayangkan nuansa pastel yang bisa memberi kesan mencerahkan seperti hijau atau biru. Agak sulit memang bila Putri harus memikirkan seluruh desain warung bila ia baru diinformasikan tentang kondisi warung sehari sebelum syuting.

Infografik HL Indepth Reality Show

Rekayasa dalam Reality Show

Sudah jadi rahasia umum bahwa program reality show seperti Rumah Uya atau Rombak Warung dituding settingan belaka atau penuh dengan gimmick. Artinya, tidak benar-benar menampilkan realitas.

Beberapa waktu lalu, warganet membicarakan program yang diampu Uya Kuya lantaran sempat terjadi keteledoran. Clip on yang dipakai salah satu narasumbernya jatuh. Padahal, seharusnya, jika sesuai jalan cerita, narasumber yang baru ditemui saat itu juga tak seharusnya menggunakan clip on.

Uya Kuya, presenter progam Rumah Uya, enggan mengomentari serius soal tudingan itu. Menurutnya, tak ada yang perlu diklarifikasi.

“Silakan masyarakat saja yang menilai. Orang menonton TV itu, kan, macam-macam. Ada yang niatnya mencari hiburan,” kata Uya kepada saya saat acara Rumah Uya di studio Trans7.

Irfa Dania, produser Rumah Uya, berkata tidak terlalu ambil pusing atas tudingan settingan itu. Tujuan program ini, ujar Irfa, untuk menyelesaikan persoalan pribadi dengan cara kekeluargaan.

Irfa menolak program yang diasuhnya disebut rekayasa. Ia menjelaskan bahwa narasumber yang hadir dalam acara Rumah Uya mengirimkan email terlebih dulu. Kemudian, kru Rumah Uya melakukan "riset dan verifikasi fakta" atas kebenaran dari cerita klien tersebut. Jika sudah lengkap, klien akan diundang ke studio untuk live atau menjalani taping.

“Tidak ada casting. Mereka juga tidak dibayar,” ujar Irfa.

Irfa menambahkan bahwa klien yang datang ke acara realitas ini atas kemauan sendiri sesuai disebutkan dalam kontrak dengan Trans7, stasiun televisi yang menjadi rumah produksi Rumah Uya.

Meski begitu, Irfa enggan memberikan atau menunjukkan format surat kontrak tersebut saat kami memintanya.

Namun, Irfa tidak menampik jika ada beberapa klien yang pernah muncul pada program reality show lain ataupun ada cerita bohong dari klien. “Mungkin mereka ingin terkenal. Kalau yang bohong itu justru kami ambil saja gambarnya. Kami buktikan itu bohong.”

Sementara untuk acara taping seperti Rombak Warung, kendati mengambil klien yang memang memiliki warung yang dianggap "kumuh"—apa pun definisinya, tapi dalam prosesnya tetap ada bumbu gimmick agar saat tayang di televisi bisa menyuguhkan adegan dramatis sehingga menarik ditonton.

Bagaimanapun, format acara realitas, seperti namanya, tetap membutuhkan show. Ia menjadi nilai jual untuk menggaet hati pemirsa dan tentu mendatangkan keuntungan.

Sejak tayang sekitar tiga tahun lalu, Rumah Uya hampir selalu menjadi urutan pertama program dengan share tertinggi di Trans7. Rumah Uya mengalahkan Hitam Putih dan Opera Van Java, dua program variety show Trans7 menggaet pemirsa.

"Share kami bisa berada pada kisaran 7 sampai 9. Pencapaian yang lumayan untuk sekelas reality show. Meski angka ini masih jauh di bawah sinetron-sinetron Indosiar atau SCTV,” ungkap Irfa.

Di Belakang Layar Rumah Uya

Usai menonton siaran langsung Rumah Uya, saya keluar studio dan menunggu Uya Kuya untuk wawancara. Namun, Uya tak kunjung muncul. Sembari menunggu host kondang itu, saya melihat satu per satu narasumber program yang baru saja saya tonton keluar studio.

Yang pertama terlihat adalah Kiran. Ia menuju parkiran mobil. Kemudian Angga, yang bisa berjalan normal tanpa kursi roda, menuju parkiran motor.

“Dengan Angga, ya? Bukannya tadi di kursi roda? Kakinya kenapa?”

“Ya, agak sedikit sakit.”

“Anda bersahabat dengan Kiran?”

“Ceritanya panjang,” ujarnya, terburu-buru, meninggalkan saya di tempat parkir.

Tak lama kemudian saya melihat Umar keluar dari studio dengan menggeret dua koper.

Ketiga narasumber yang mengaku bersahabat di acara Rumah Uya ini pulang sendiri-sendiri. Tidak ada tanda-tanda keakraban seperti pengakuan mereka saat disorot kamera.

Baca juga artikel terkait ACARA TELEVISI atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Joan Aurelia & Restu Diantina Putri
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam